Tiga

2084 Kata
Di hari sabtu yang cerah ini, Calvin mengunjungi kediaman Anggita. Dia telah berjanji untuk mengajak Bella pergi. Sayangnya Anggita tidak bisa ikut. Dia hanya menyiapkan satu tas kebutuhan Bella untuk seharian ini. “Ini s**u yang bisa dikonsumsi Bella,” tutur Anggita membuka tas itu dan menunjukkan beberapa kotak s**u UHT dengan merk tertentu. “Ini air mineral untuk Bella, kamu harus ingat dia hanya bisa minum yang merk ini, tissue basahnya juga hanya boleh merk ini, ada beberapa potong baju ganti. Jangan biarkan dia nangis terlalu lama atau dia bisa muntah,” tutur Anggita kemudian menutup tas itu. Bella sudah berada di pelukan sang ayah. “Mama enggak ikut?” tanya Bella dengan wajah memelas. Anggita yang semula berdiri itu kemudian menghampiri Bella dan berjongkok karena posisi Calvin yang masih duduk di sofa. “Enggak bisa Sayang, mama harus rapat di perusahaan penerbit,” tutur Anggita. Bella tak bisa membantah, meskipun dia sangat ingin ibunya ikut serta. “Ya sudah, nanti setelah rapat kamu kan bisa bergabung dengan kita,” tutur Calvin, Anggita menarik napas panjang dan menggeleng hingga dia melihat isyarat mata Calvin yang memintanya berbohong. “Ya nanti mama usahakan ya, ingat untuk jadi anak baik. Oke?” tutur Anggita pada Bella yang kemudian tersenyum lebar. Calvin memanggil asisten rumah tangganya yang memang sengaja dia bawa untuk membantu menjaga Bella nanti. Asisten itu membawakan tas Bella. Calvin pun meminta Bella berpamitan pada ibunya kemudian membawa putri kecilnya itu menuju basement tempat dia memarkirkan mobil mewahnya yang tampak mencolok. Bella duduk di kursi belakang bersama asisten rumah tangga Calvin yang bernama Ria itu. Ria belum terlalu tua, mungkin usianya tak jauh beda dengan Anggita, namun dia telah menikah dan memiliki anak sehingga Calvin bisa mengajaknya karena yakin Ria bisa membantunya dibandingkan asisten rumah tangga yang lainnya. Calvin membawa Bella menuju mall besar, dia akan mengajak Bella bermain dan belanja beberapa hal, ada play ground paling besar di mall itu. Bella tentu akan suka. Mereka datang cukup pagi sehingga belum terlalu ramai di playground tersebut, Calvin membayar biaya masuk, tentu saja untuk Ria juga sebagai pendamping tambahan. Dia mengambil kunci loker dan memasukkan sepatu serta tasnya di sana. Lalu Bella langsung berlarian bermain di wahana tersebut. “Hati-hati Bella, jangan hilang,” ucap Calvin setengah berteriak karena putrinya itu sudah berlari dikejar oleh Ria. “Calvin? Hai!” sapa seorang perempuan cantik bertubuh tinggi langsing semampai, berkulit putih. Calvin menoleh ke arahnya berusaha mengingat nama perempuan yang pernah menjadi teman sekolahnya dulu. “Oh, hmm hei. Sama anak ke sini?” tanya Calvin berbasa basi. Perempuan cantik itu menggeleng. “Keponakan. Aku belum menikah.” Calvin akhirnya berhasil mengingat namanya, Alexa ... padahal mereka sempat dekat dulu. “Oh.” Hanya itu kata yang keluar dari mulut Calvin, karena matanya tak lepas memandang putrinya yang kini bermain perosotan. “Apa kabar?” tanya Alexa. “Baik,” jawab Calvin. “Ibunya, itu?” tanya Alexa merujuk pada asisten rumah tangga Calvin meskipun dia tidak yakin Calvin menikah dengan wanita tersebut mengingat hampir semua mantan Calvin setipe dengan dirinya. Calvin menggeleng. “Itu pengasuhnya, ibunya sedang ada rapat di tempat kerjanya.” “Oh, aku enggak menyangka pengusaha sesukses kamu membiarkan istri kamu tetap bekerja,” kekeh Alexa. Calvin menoleh ke arahnya dengan kening berkernyit. “Aku enggak pernah melarang dia melakukan hal yang disukainya, aku ke sana dulu ya,” tutur Calvin yang merasa tak nyaman. “Hei aku boleh minta nomor telepon kamu?” tanya Alexa. Calvin hanya tersenyum. “Sorry, aku membatasi pertemanan.” “Hehehe sudah kuduga, banyak yang bicara seperti itu. Pantas kamu hampir enggak pernah datang setiap acara reuni. Ya sudah take your time,” tutur Alexa sambil tersenyum menutupi rasa kecewanya. Calvin hanya mengangguk dan berjalan meninggalkannya. Dia mengambil ponselnya dan merekam kegiatan Bella bermain, sesekali dia mengirim video tersebut ke Anggita untuk mengabarkan bahwa putrinya baik-baik saja. Anggita berbohong dengan mengatakan bahwa dia harus rapat, karena dia yang sebenarnya hanya ingin me time ke salon. Dia sangat penat, mungkin spa bisa membuatnya rileks. *** Bella diantar pulang di malam hari dengan wajah ditekuk, dia menunggu Anggita namun wanita itu tak kunjung datang. Akhirnya dia merajuk dan langsung masuk ke kamarnya. “Aku bujuk Bella dulu ya?” tutur Calvin. Anggita menggeleng. “Enggak perlu, nanti juga dia anteng sendiri.” “Yakin?” tanya Calvin. Anggita bisa melihat Calvin yang beberapa kali kedapatan melihat jam tangannya. Dia tahu pasti pria itu sangat sibuk, mungkin dia telah janjian dengan seseorang. “Kamu pulang saja, kamu sudah janjian dengan seorang kan? Dari tadi aku lihat kamu perhatikan jam terus?” tutur Anggita. “Sebenarnya malam ini aku mau terbang ke Perancis, ada urusan besok pagi, selama beberapa hari aku akan di sana,” tutur Calvin. “Ya sudah pulang saja, jangan khawatirkan Bella,” ucap Anggita. “Maaf.” “Enggak apa-apa, pulanglah,” tutur Anggita yang sebenarnya juga tidak nyaman berduaan dengan Calvin seperti ini. Calvin hanya tersenyum tak enak, menyerahkan tas yang diberikan Anggita pagi tadi. Lalu dia berjalan meninggalkan apartmen itu. Anggita masuk ke kamar Bella, putrinya sudah tertidur. Anggita tahu Bella tadi di ajak ke rumah Calvin dan mandi di sana. Dia pun menarik selimut menutupi tubuh Bella. Dia mengecek suhu tubuh, detak jantung dan saturasi oksigen di smart watch yang dipakai putrinya itu. Semuanya normal. Anggita memutuskan untuk mengetik artikel yang menjadi PRnya. Dia juga ingin membuat cerita baru sehingga dia harus lembur menyelesaikannya agar besok bisa mengajukan kontrak untuk cerita yang idenya baru saja tercetus tadi saat dia di salon. *** Sepertinya Bella masih merajuk, dia tidak mau meminum s**u yang diberikan Anggita. Meletakkan s**u itu di kamarnya saja. Dia tak mau makan apa-apa. Hingga Anggita tak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah menelepon ibunya agar datang dan membujuk Bella untuk makan, namun ibunya berkata dia harus arisan dan bisa datang siang hari. Anggita hanya meletakkan makanan di kamar Bella, lalu dia keluar lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Dia tidak bisa mendapat ide untuk artikelnya, yang berjudul dampak psikologis dari perceraian. Tepatnya dia menolak setiap informasi yang dia dapatkan. Dia terlalu mengutamakan perasaannya dalam kepenulisan ini. Anggita sempat mengintip kamar Bella, syukurlah anak itu memakan sedikit buah potongnya. Di siang hari, Anggita akhirnya mendapat telepon dari Risma, editornya. “Mbak, sepertinya aku enggak bisa membuat artikel itu. Aku menyerah mbak.” “Kamu bagaimana sih? Kalau menyerah bilang dari kemarin. Ini deadlinenya malam ini! Senin harus sudah tayang. Masa kamu enggak bisa membuatnya?” “Mbak, aku ... aku adalah seorang yang bercerai, aku punya anak balita, enggak bisa aku menulisnya. Aku enggak bisa memasukkan perasaan dan penilaian pribadiku.” “Mama, mau s**u,” tutur Bella menarik ujung kaos ibunya. Anggita menutup microphone ponselnya. Risma masih terdengar misuh-misuh. Dengan tangan sebelah Anggita menyeduhkan s**u untuk putrinya, dia masuk kamar dan meletakkan s**u itu di atas nakas. Bella sedang bermain dengan ponselnya. “Bella susunya di sini,” tutur Anggita yang masih meletakkan ponsel di telinganya, lalu dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu itu. “Mbak!” ujar Anggita yang merasa kata-kata Risma cukup keterlaluan. Dia tahu tekanan editor pun cukup berat. “Apa? Kamu tidak suka saya bilang tidak kompeten??? Padahal saya menaruh harapan besar pada kamu untuk menulis tajuk utama!” “Mbak saya enggak bisa menuliskan sesuatu yang saya pun mengalaminya. Apa kata orang jika saya menulis tentang dampak perceraian tapi saya sendiri bercerai!” “Justru itu, kamu harusnya bisa menuliskannya karena memiliki pengalaman. Apa kamu terlalu takut menyadari bahwa putri kamu sudah menjadi korban?” “Cukup mbak. Tidak ada yang menjadi korban di sini. Putri saya baik-baik saja!” “Saya kecewa sama kamu Anggita. Sebaiknya kamu berhenti menulis di tempat saya.” “Baik jika itu mau mbak saya berhenti!” “Jangan lupa kirim biaya finaltinya!” “Oke!!” tutur Anggita seraya menekan tombol merah di layar ponselnya. Dia sangat kesal. “Arrrhgggttt sialan!!!” jerit Anggita seraya membanting ponsel itu ke sofa. Lalu dia duduk di sofa. Biaya finalty cukup besar. Dia terbawa emosi mengatakan hal itu. Anggita memejamkan mata dan menutup mata dengan lengannya, hingga dia merasakan seorang berdiri di hadapannya. Bella. “Ada apa sayang?” tanya Anggita. “Mama, perut aku sakit. Aku sudah pup tapi mau pup lagi,” ucap Bella. Anggita memegang pipi putrinya, wajahnya memerah dan dia merasakan anaknya agak demam. “Kamu kenapa? Apa kemarin salah makan?” tanya Anggita. Bella menggeleng, perutnya terdengar berbunyi lalu dia berlari ke toilet kamarnya. Anggita mengejarnya, Bella kembali membuang air. Terdengar suaranya, sepertinya sangat cair. Anaknya diare. Lalu anggita menoleh ke arah botol s**u Bella. Dia terduduk lemas. Bella salah minum s**u. Yang diminum adalah susunya yang tadi pagi yang jelas sudah berubah rasanya. “Astaga, bodoh banget Anggita!!!” ujar Anggita seraya menampar pipinya sendiri. Harusnya tadi dia membawa botol s**u yang pagi itu. Dia merutuki nasibnya. Bella keluar dengan tubuh lemas. Anggita menangis memeluknya hingga Bella kemudian muntah. “Kita ke rumah sakit ya, Nak,” tutur Anggita membersihkan tubuh putrinya. Mata Bella sudah tampak cekung. Dia memang tidak seperti anak normal lainnya, jika dia sakit tubuhnya akan sangat cepat drop. Dengan segera Anggita menyiapkan perlengkapan dan mengganti baju Bella. Bertepatan dengan ibunya yang datang. “Git ada apa?” tanya ibunya melihat putrinya yang menangis sambil membereskan pakaian Bella. Bella terbaring lemah di ranjang. “Gita bodoh Bu, Gita bodoh. Bella harus dirawat,” ucap Anggita. Ibunya menyeruak ke dalam dan memegang tubuh Bella yang demam. “Astaga, ayo cepat,” tutur ibu Anggita. Anggita menggendong Bella dan ibunya membawa tas dan keperluan Bella. Padahal ini hari minggu, dokternya mungkin sedang libur. Dengan kecepatan tinggi Anggita membawa mobil menuju rumah sakit. Sesampainya dia segera membaringkan Bella di brankar UGD. “Maafin mama sayang, maafin mama,” tutur Anggita terus menangis karena Bella hanya terdiam lemas. Bella memegang tangan ibunya mungkin berusaha menguatkannya. Dokter anak datang, Anggita tahu itu dokter Raiz. Dia sangat tampan dengan snelli dokternya namun Anggita tidak terpesona seperti kala itu. Kesehatan anaknya yang paling penting sekarang. “Dokter infus ya namanya siapa?” tanya dokter Raiz ramah. “Bella,” jawab Bella pelan. “Nah Bella, pinjam tangannya sebentar ya, dokter sudah lihat catatan medis kamu, mulai sekarang Bella jadi teman dokter ya,” tutur dokter Raiz dengan senyumnya yang lembut. Bella memberikan tangannya, dokter Raiz memasang infus di tangan kecil itu. Dia mengatur aliran air infusnya. “Bisa saya bicara dengan ibu sebentar?” tanya dokter Raiz pada Anggita. Mata Anggita sembab karena dia terlalu lama menangis tadi. Ibu Anggita menggantikan posisi Anggita duduk. Anggita mengikuti dokter Raiz hingga ke kursi khusus di ruang UGD, tepat di depan para perawat. Ada meja memanjang dengan kursi tinggi, ada seperangkat alat komputer dan beberapa berkas. Biasanya tempat itu menjadi tempat pendaftaran untuk pasien yang masuk UGD. “Saya sudah bicara dengan dokter yang menangani Bella sebelumnya, kebetulan dokter tersebut memang sudah tidak bertugas di sini sejak hari ini, jadi saya yang menggantikannya. Apakah ibu tetap mau Bella dirawat di sini? Atau saya rujuk ke rumah sakit tempat dokter sebelumnya bekerja?” tanya dokter Raiz. Anggita menatap brangkar Bella. Gadis mungil itu tampak sudah tertidur, dibuai kepalanya oleh ibunya. “Dokter sebelumnya bertugas di mana?” tanya Anggita. “Di rumah sakit X, namun jika boleh saya menyarankan Bella untuk tetap berada di rumah sakit ini, karena rumah sakit ini fasilitas medisnya lebih lengkap. Ibu dapat mempercayakan ke saya untuk menjaga Bella,” tutur dokter Raiz. Anggita tahu dia akan selalu berhubungan dengan dokter yang menangani Bella, akan sangat sulit jika dia pindah rumah sakit yang jaraknya justru cukup jauh dari rumahnya. “Baik dokter, saya akan mempercayakan Bella di tangan Dokter, jika boleh saya minta nomor telepon dokter agar lebih mudah ke depannya, karena seperti yang dokter tahu, Bella mengidap penyakit yang cukup langka dan harus dikontrol sebulan dua kali,” tutur Anggita. “Ya saya tahu itu, ini kartu nama saya,” ucap dokter Raiz mengeluarkan kartu nama dari saku snellinya. Anggita menyimpan nomor itu dan mengirim pesan pada dokter Raiz. “Itu nomor saya dokter, untuk selanjutnya bagaimana dengan Bella?” “Kami harus melakukan observasi dulu, apakah diare yang dialaminya saat ini berbahaya bagi kondisinya. Karena itu Bella harus dirawat minimal tiga hari, silakan ibu mendaftar untuk mendapat kamarnya,” tutur dokter Raiz. Anggita hanya mengangguk pelan. Kesehatan anaknya tetap menjadi prioritasnya, dia pun mendaftar untuk perawatan Bella. Dia menyodorkan kartu asuransi yang diberikan Calvin untuk Bella. Dengan kartu itu, biaya rumah sakit Bella sudah tertanggungnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN