5. Bukan Kencan

1748 Kata
Hari ini adalah hari libur. Hari libur harusnya identik dengan bangun siang atau sekedar malas-malasan di tempat tidur. Sayangnya, libur kali ini justru sebaliknya. Sejak tadi, Ken sudah merecoki tidurku. Dia terus memaksaku bangun dan mandi. Dia ingin menemui Dila, tidak bisa tidak. Akhirnya, untuk pertama kalinya aku mengirim pesan lebih dulu ke nomor Dila. Pesanku sudah centang dua tapi belum centang biru. Entah Dila menyalakan notifikasi atau tidak, tetapi aku harap dia memang belum membacanya. “Pa, Tante Dila udah balas pesan Papa atau belum?” Lagi dan lagi, Ken yang sudah rapi menanyaiku. “Belum, Sayang. Mungkin Tante Dila masih tidur. Kan ini hari libur.” “Tapi udah hampir jam sembilan, Pa. Ken aja udah mandi dari tadi sama Mbak Iin.” Ngomong-ngomong Mbak Iin, dia adalah baby sitter yang aku sewa untuk mengurus keperluan Ken. Meski Ken perlahan mulai bisa apa-apa sendiri, tetapi di beberapa bagian dia masih perlu bantuan orang lain. “Sabar, ya...” Ken mengangguk, meski ekspresinya tampak sedih. Aku sendiri saat ini sudah rapi, padahal belum tahu apakah Dila akan membalas pesanku atau tidak. Aku mandi dan ganti baju karena Ken terus saja merecokiku tanpa henti. Benar-benar tidak membiarkan aku tidur lebih lama. Drrrt! Aku langsung meraih ponselku begitu merasakan benda itu bergetar. Adila: Bisa, Pak... Tapi satu jam lagi, ya? Aku mendelik. Satu jam lagi? Dia memang baru bangun, atau bagaimana? Aku buru-buru mengetik balasan : ‘Setengah jam lagi, tidak perlu dandan cantik.’ Kali ini aku lihat Dila langsung mengetik, karena dia memang sedang online. Adila: :’) Entah kenapa senyumku terbit begitu membaca balasannya. Dia senyum, tapi air matanya menetes. Apa maksudnya? “Papa kok senyum-senyum lihat apa?” pertanyaan Ken membuatku reflek menutup kotak pesan. “Hah? Apa, Ken?” “Papa barusan senyum-senyum. Ada apa, Pa?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, barusan Papa lihat video lucu.” “Video apa, Pa?” Ya ampun, aku lupa kalau anakku ini memiliki tingkat penasaran yang luar biasa. “Video orang jatuh.” “Ken lihat, Pa. Mana?” “Bentar.” Aku membuka YouTube dan mencari video lucu di sana. “Ini, Sayang.” Ken meraih ponselku dan mulai cekikikan melihat video yang ada. Aku mengusap rambut Ken yang lembut, lalu menariknya ke pangkuanku. “Pa, Tante Dila itu cantik, ya?” Ken menutup YouTube, lalu meletakkan ponselku di pangkuannya. “Cantik. Kan Tante Dila cewek.” Ken mendongak, lalu meringis. “Pipi bolongnya lucu, Pa.” “Pipi bolong? Lesung pipi, maksudnya?” Ken mengangguk. “Iya. Papa kan enggak ada, Ken juga.” Aku diam, bingung harus membalas apa lagi. Aku hanya terus mengusap-usap kepala Ken, dan sesekali menciumi pucuk kepalanya. Kadang aku berpikir, apa aku mampu membesarkan Ken sendirian? *** “Yeay! Aku menang, aku menang!” aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Ken dan Dila dari kejauhan. Mereka berdua sedang bermain di timezone, sementara aku ogah bergabung. Kalau saja bukan demi Ken, aku malas sekali pergi ke mall untuk bersenang-senang. Dulu, liburanku bersama Ken dan Syafa lebih sering ke alam atau objek wisata yang jelas. Jarang sekali aku mau ke mall. Mall itu terlalu ramai dan berisik! Sejujurnya, aku merasa tak enak hati pada Dila. Gara-gara anakku, weekend-nya jadi terganggu. Ingin rasanya aku memberi bonus lembur, tetapi rasanya kurang etis kalau aku mengaitkan permintaan Ken dengan pekerjaan. Mungkin lain kali aku perlu memberinya bonus entah apa, secara pribadi. “Pa...” lamunanku buyar begitu Ken tiba-tiba sudah menabrak kakiku dan memeluknya. “Kenapa, sayang?” “Ken lapar.” “Udah selesai mainnya?” Ken mengangguk. “Udah.” Aku mendongak ketika melihat kaki putih terbalut sepatu sendal berwarna biru laut. Aroma lembut yang sudah kukenal juga ikut menyerang indra penciumanku. “Pak, saya pulang dulu, ya?” “Kamu tidak mau ikut makan?” Dila menggeleng. “Daripada makan, saya lebih butuh tidur.” Entah ini sindiran atau bukan, tetapi aku agak tersinggung mendengarnya. Bukan tersinggung yang akan membuatku marah, tetapi justru tersinggung yang membuatku semakin tak enak hati karena sudah mengganggu waktu liburnya. “Saya minta maaf.” “Tidak apa-apa, Pak. Kalau begitu saya permisi—“ “Tante, jangan pulang dulu!” Ken anakku yang hari ini super aktif, kini sudah menahan tangan Dilla kuat-kuat. “Kenapa, Ken?” “Makan dulu, ayo!” Dila menatapku, dan aku mengangguk, mengisyaratkan agar dia ikut. Namun, tampaknya dia yang sedang tak selera makan. Matanya agak sayu, mungkin dia memang butuh tidur. Memangnya dia lembur atau apa, sampai matanya begitu? “Lain kali gimana, Ken?” Ken tidak menjawab, tetapi wajahnya langsung terlihat sangat sedih. Tangannya yang menahan tangan Dila seketika mengendur, kepalanya menunduk, lalu balik badan dan menabrak kakiku lagi. Perlahan tapi pasti, aku melihat mata Ken berair. Aku tidak bisa memaksakan kehendak pada Dila, tetapi aku juga tidak tega melihat anakku bersedih seperti ini. “Hanya makan siang, kan?” Dila tiba-tiba jongkok dengan tangan terulur menyentuh pundak Ken. Ajaib sekali, Ken langsung tersenyum dan mengangguk antusias. Dila menatapku dengan ekspresi yang kurang enak dipandang. Aku semakin tak enak melihatnya begitu. “Ya udah, ayo. Hanya makan siang, ya, Ken? Tante Dila butuh istirahat mumpung libur.” “Iya, Pa!” Aku segera membawa Ken ke gendongan, lalu pergi dari area itu. Dila menyusul beberapa langah di belakangku. “Jangan berjalan di belakang. Kalau tidak mau bersebalahan, setidaknya jalan lebih dulu. Silahkan kamu pilih mau makan apa,” kataku akhirnya. “Saya mau makan yang berkuah.” Aku mengangguk. “Ya, kamu tentukan mau yang mana.” Akhirnya aku lihat Dila tersenyum, lalu dia berjalan mendahuluiku. Ken di gendonganku tenang sekali. Dila berhenti di stand ramen dan saudara-saudaranya. Ken tak kuperbolehkan makan mie, karena dua hari lalu dia baru saja menyantap makanan itu. “Dila!” belum ada sepuluh menit pesanan datang, tiba-tiba ada laki-laki bertubuh tinggi datang menghampiri meja kami. Dila yang duduk menjaga jarak dariku, langsung melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. “Dhika, sini!” “Kamu sama siapa?” Dila menatapku sesaat, lalu tersenyum ke arah laki-laki itu. “Nemenin saudara.” Saudara? Sejak kapan aku dan Dila jadi saudara? “Oh, iya, iya. Saya Dhika, Mas. Temennya Dila.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku. Harus sekali inisial nama mereka sama? Dila tampak menangkupkan kedua telapak tangan sejenak di depan wajah. Mungkin dia minta maaf karena mengakuiku sebagai saudaranya. “Saya Akhdan.” Aku mengulurkan tangan, membalas jabatan tangan laki-laki itu. Ken di sebelahku terlalu sibuk dengan makanannya, dan entah kenapa, selera makanku menguap begitu saja sejak ada laki-laki tak diundang ini. Aku semakin terganggu ketika melihat Dila dan laki-laki itu mengobrol seolah aku tak ada di sana. “Ntar malam nonton yuk, Dil?” “Traktir!” “Njir, kamu ini anak Pak Bos—“ kalimat laki-laki itu— maksudku Dhika, terputus ketika Dila membekap dengan tangan kanannya. “Traktir berangkat, kalau enggak ya enggak. Berisik!” “Iyeee, tuan putri!” Dila tersenyum lebar, lalu mengangguk-angguk dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Aku sudah tidak lanjut makan sejak Dhika datang, dan begitu dia pamit pergi pun, selera makanku tidak kembali. Sementara itu, Dila tampak cuek saja menghabiskan mie ramennya, seolah tak peduli sekitar. “Itu teman kamu?” tanyaku akhirnya, memecah keheningan. “Iya, Pak. Lebih tepatnya Kakak tingkat kuliah.” “Kok panggil nama saja? Setahu saya di Jogja itu panggilan ke yang lebih tua harus diperhatikan.” “Memang. Tapi si empunya minta dipanggil nama saja, jadi ya sudah. Saya ikut.” “Oh...” Dila kembali menyantap ramennya, sama sekali tak menanyaiku kenapa aku tak menghabiskan makananku. Saking asiknya dia makan, kini tanganku mulai gatal ingin mengambil tisu dan mengelap bibirnya yang belepotan kuah. “Makan itu yang bener, Adila...” aku tak cukup sabar kalau harus diam saja. Dila mendongak sebentar, lalu tangannya reflek meraih tisu yang ada di meja. Dia meraih ponselnya, mungkin mengaca lewat layar. “Hampir mustahil makan ramen tapi tidak belepotan.” “Saya tidak—“ “Lihat ini!” Dila menyela, sambil menyodorkan layar ponselnya padaku. Astaga! Meski tak separah Dila, tetapi ternyata bibirku juga tak sebersih itu. Aku yang hendak mengambil tisu, sudah keduluan Dila yang mengulurkannya padaku. “Terimakasih.” “Sama-sama, Pak Akhdan.” Dila menekankan suaranya ketika menyebut namaku. “Tante, minggu depan kita ke sini lagi—“ “Ken! Papa bolehin kamu ketemu sama Tante Dila, tapi jangan tiap minggu. Tante Dila butuh istirahat kalau hari libur. Ngerti?” nada suaraku reflek meninggi, dan itu membuat Ken langsung menunduk sambil mengangguk. “Iya, Pa...” Ken menyahut lemah. Seketika aku merasa bersalah begitu melihat Ken terus saja menunduk. Entah kenapa, sejak teman Dila datang, emosiku mendadak naik turun. Sudah aku merasa tidak enak pada Dila sejak pagi, kini Ken menambahi lagi dengan mengajak ketemu Dila minggu depan. Aku benci merasa berutang budi pada orang lain! “Ken, maafin Papa, ya? Barusan suara Papa agak tinggi.” Ken mengangguk. “Iya, Pa...” Aku segera meraih Ken ke pangkuanku, lalu kuusap kepalanya pelan. Aku melirik Dila, dan dia tampaknya pura-pura sibuk dengan ponselnya. Setelah selesai makan, aku dan Dila berjalan beriringan menuju parkiran. Ken di gendonganku terlelap, padahal anak ini belum lama mengeluh ngantuk. “Adila...” “Panggil Dila saja, kalau Adila kepanjangan.” “Ya, maksud saya Dila.” “Kenapa, Pak Akhdan?” Aku berdehem sejenak, lalu menatapnya dengan mimik muka serius. “Saya minta maaf untuk hari ini.” “Tidak apa-apa.” “Saya boleh tahu sesuatu?” “Apa?” Aku ragu ingin menanyakan ini, tetapi kalau tidak tanya, sampai kapan aku dibuat penasaran? “Itu... sebenarnya apa yang sudah kamu katakan sama anak saya, sampai dia begitu ingin bertemu kamu lagi dan lagi?” Alis Dila menekuk. “Yang saya katakan pada Ken itu banyak kalimat, Pak.” “Saya serius.” “Saya juga serius. Dari sekian banyak, saya tidak tahu mana kalimat yang paling disukai Ken.” Aku menghela napas, “Ya sudah.” “Pak Akhdan...” “Apa?” “Terimakasih untuk traktirannya.” “Itu belum apa-apa dibanding kamu yang sudah mau meluangkan waktu untuk anak saya. Terimakasih.” Dila tersenyum tipis. “Sama-sama. Saya duluan ya, Pak.” “Iya.” Dila langsung berjalan cepat mendahuluiku. Aku sengaja diam di tempat, menunggu Dila belok ke arah parkiran motor. Namun, aku dibuat terkejut ketika Dila tiba-tiba masuk mobil lexus putih yang aku tahu harganya sangat tidak murah. Bahkan setahun kerja di perusahaanku, masih jauh untuk bisa membeli mobil itu. Sebentar... siapa Dila sebenarnya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN