4. Bisikan Dila

1731 Kata
“Terimakasih banyak, Pak Akhdan.” Novita tersenyum lebar ketika siang itu aku memanggilnya ke ruanganku. Melihat wajahnya yang berseri-seri, semakin membuatku bersalah kalau tak kunjung melepasnya untuk resign. “Jangan lupa undangannya, Nov,” ujarku setengah bercanda. “Siap, Pak. Hehe...” Ternyata memang benar seperti yang Farhan dan Nurul ucapkan waktu itu, kalau alasan Novita resign adalah menikah. Sebagus apa pun kinerjanya, aku tidak akan bisa menahannya lagi. Tawaran gaji berlipat pun sepertinya tetap tak sebanding. “Kamu udah mutusin milih siapa?” tanyaku beberapa saat kemudian. Yang dimaksud ‘milih siapa’ di sini adalah dua kandidat terkuat calon pengganti Novita. Sejujurnya, aku ada rencana merekrut dua-duanya. Hanya saja rencana ini belum matang karena aku masih menunggu kepastian supplier kain yang akan aku ajak kerja sama untuk produk baru. “Sudah, Pak. Saya sudah bilang Mbak Nurul.” “Siapa?” “Saya lebih prefer Mbak Adila, Pak. Mas Agus bagus juga sih, cuma inovasi di landing page itu bagusan punya Mbak Adila. Gimana ya saya jelasinnya, intinya kalau milih satu saya milih Mbak Adila, baru Mas Agus.” Entah kenapa, aku langsung merasa lega tanpa alasan yang jelas. Secara tidak langsung, kalau Novita lebih memilih perempuan itu, maaf— maksudku Dila, aku jadi tidak perlu repot-repot mencari cara agar dia kerja di sini. “Oke, untuk yang satu ini saya justru ikut kamu karena kamu lebih paham tentang detail periklanan. Enggak sia-sia saya ngikutin saran Bagas dalam melatih kemampuanmu.” “Terimakasih banyak, Pak. Saya merasa sangat beruntung karena mendapat ilmu dan pengalaman banyak sekali selama bekerja sama dengan Pak Akhdan.” “Sama-sama, Nov.” Ngomong-ngomong, dulu waktu aku merintis perusahaan ini, rata-rata orang yang aku rekrut adalah orang baru. Aku ingin membangun perusahaan bersama orang-orang yang mau berkembang denganku, bukan orang-orang yang merasa dirinya sudah bisa. Meski begitu, bukan berarti aku asal memilih orang baru. Tentu tidak, aku menyeleksi mereka dengan ketat. Awal aku mulai berbisnis, aku banyak bertanya pada Bagas. Dia adalah temanku yang sudah lama menekuni bisnis yang dia rintis bersama adiknya. Aku banyak bertanya padanya, dan dia adalah tipe teman yang tidak pelit ilmu. Dia banyak memberiku arahan, dan arahannya memang bagus. Buktinya, hanya dalam satu tahun, aku sudah balik modal dan bisa melunasi tanah serta gedung yang aku beli untuk lokasi kantor. Itu adalah sekelumit cerita yang baik-baik. Cerita yang buruk biar aku keep sendiri. Pasti tahu, kan, dalam merintis perusahaan itu ada jatuh bangunnya? Yang terpenting, menginjak tahun ke lima ini, keuangan perusahaanku sudah stabil. “Oh iya, Pak. Sebenarnya, alasan saya pilih Mbak Adila itu karena dia kelihatan lebih jago dari saya.” “Loh, masa? Kalau dari CV, yang punya pengalaman itu justru si Agus. Dia pernah jadi advertiser selama satu tahun.” “Nah iya, Pak. Kalau awal saya lihat itu, saya enggak berekspektasi apa-apa sama Mbak Adila. Tapi saya cuma ngikutin apa kata HRD saja. Eh tahunya, saya malah kaget. Dia jauh melampaui ekspektasi saya. Hehe...” Andai Novita tahu, HRD memilih Dila sebagai kandidat kuat itu karena saranku. Tadinya aku hanya menandai CV-nya untuk mengorek informasi. Siapa yang tahu kalau isengku ternyata malah bagus begini? Kalau hanya melihat CV, pastilah Agus lebih unggul. Dila hanya menyantumkan seminar yang pernah dia ikuti, tanpa mencantumkan pengalaman kerja sebagai Advertiser. Jujur, ini menarik! Siapa Dila sebenarnya? “Ya sudah. Terimakasih banyak ya, Nov. Nanti keputusan akhir biar saya pertimbangkan lagi. Apakah hanya ambil Adila atau sekalian Agus juga.” “Siap, Pak. Sama-sama.” Tak berselang lama kemudian, Novita pamit dari ruanganku. Aku segera meraih ponsel di meja dan tanganku reflek tergerak menuju aplikasi w******p. Aku membuka layar obrolan yang masih kosong, kemudian aku klik foto profilnya. Tanpa sadar, senyumku langsung mengembang lebar. *** Adila Zeline Adiwilaga, akhirnya dia resmi bekerja di perusahaanku mulai minggu lalu. Beberapa kali aku mengamatinya sedang mengobrol dengan Novita dan Agus. Novita masih seminggu lagi di sini, karena tugasnya belum sepenuhnya selesai. Aku jadinya memutuskan untuk mengambil dua advertiser sekaligus. Pertimbangannya ada banyak hal, salah dua di antaranya adalah karena akan ada produk baru dan kalau ada dua advertiser, mereka bisa saling bertukar ide. “Papa!” tiba-tiba saja, pintu ruanganku dibuka cukup keras dari luar diikuti Ken yang berlari masuk dan langsung menabrak kakiku. “Loh? Ke sini sama siapa, Ken?” “Sama Tante Putri!” “Kok bisa sama Tante Putri?” Belum sempat Ken menjawab, Putri datang menyusul ke ruangan. “Tadi aku ke rumahnya Mas Akhdan bawain kue apem buatan Ibu. Terus Ken bilang mau ke sini, jadi aku antar sekalian. Mumpung sore ini aku libur ngelesin.” “Oh gitu. Duduk dulu, Put.” “Iya, Mas.” Aku berdiri mengambil air putih di dispenser, lalu meletakkannya di meja yang ada di depan Putri. “Diminum, Put. Maaf, adanya air putih.” “Enggak papa, Mas. Aku juga jarang minum yang manis-manis.” “Lha wong sudah manis ya, Put?” selorohku yang membuat Putri tersenyum lebar. Memang, wajah Syafa dan Putri tidak terlalu beda jauh. Dua-duanya sama-sama manis. Mereka berdua tidak memiliki lesung pipit, tetapi mereka berdua sama-sama memiliki gigi gingsul. “Makasih, loh, Mas. Pantesan dulu Mbak Syafa klepek-klepek sama Mas Akhdan, ternyata sering dipuji.” Aku tertawa. “Perempuan bukannya suka dipuji?” “Enggak semua, Mas. Muji orang juga lihat-lihat. Gawat nanti, kalau yang dipuji malah baper.” “Iya, bener. Kamu aku puji, karena tahu kamu enggak mungkin baper.” “Hehe, iya, Mas.” Aku dan Putri ngobrol sebentar, kami bicara mengenai acara doa bersama untuk Syafa yang akan digelar di rumah orang tuaku, juga di rumah orang tuanya. Selain itu, aku juga menanyakan perkembangan Ken padanya. Putri ini guru TK, jadi sedikit banyak dia pasti belajar tentang psikologi perkembangan anak. Putri orangnya sangat lembut pada anak kecil, dia benar-benar terlihat sangat penyayang. “Mas, aku pulang sekarang, ya. Kalau kelamaan di sini nanti betah, malah enggak pulang-pulang. Aku enggak bawa hape, takut ibu nyariin.” “Oke, Put. Makasih, ya.” “Sama-sama, Mas.” Begitu Putri pergi, aku langsung menghampiri Ken yang saat ini sedang duduk di kursi kerjaku. Anakku ini dari tadi sibuk dengan mobil-mobilannya. “Ken, Papa duduk situ ya, kerjaan Papa belum selesai.” “Oke, Pa.” Ken menurut, dan langsung duduk di sofa yang tadi diduduki Putri. Baru saja aku fokus melanjutkan pekerjaan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ketukan itu pelan, tetapi berulang sampai tiga kali. “Masuk saja, tidak dikunci.” Detik berikutnya, aku mendengar pintu berderit pelan. Aku tidak langsung menoleh untuk melihat siapa yang datang. Aku masih harus fokus sedikit lagi karena saat ini sedang memeriksa anggaran untuk produk baru. “Tante Dila!” Konsentrasiku buyar seketika begitu mendengar teriakan Ken. Praktis saja aku menegakkan badan, lalu menatap ke arah Pintu. Ken sudah berdiri di sana sambil memeluk kaki Dila. Aku segera berdiri, dan begitu Dila melihatku, dia melongo lama sekali. Ekspresinya bengong, menatapku seperti melihat hantu. “Ada perlu apa, Dila?” Dila masih diam di tempat, menatapku dengan ekspresi yang juga masih sama. “J-jadi Masnya itu Pak Akhdan” “Kenapa? Karyawan macam apa kamu, enggak tahu atasan sendiri? Mentang-mentang enggak ada interview dengan saya kemarin?” Dila buru-buru menggeleng.“ B-bukan gitu. S-saya—“ “Saya bercanda. Tenang saja, banyak kok karyawan baru yang tidak langsung kenal saya. Silahkan duduk.” Dila menatapku selama beberapa detik, lalu dia duduk di kursi yang ada di depanku. Tepat ketika Dila duduk, seketika wangi parfumnya menusuk indra penciumanku. Bukan karena wanginya menyengat, justru ini lembut sekali. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku pernah mencium wangi parfum ini entah di mana. “Sebelumnya, saya minta maaf untuk yang waktu itu, Pak,” ucapnya lirih. “Saya sama sekali tidak tahu.” “Santai saja. Jadi ada perlu apa kemari?” Dila meletakkan sebuah map di meja, tetapi dia tiba-tiba tersenyum ke arah Ken yang kini berdiri di sebelahnya. “Ken, duduk dulu. Tante Dila lagi kerja, Papa juga.” “Iya, Pa.” Ken lagi-lagi menurut dan langsung duduk di sofa, meski matanya terus saja menatap ke arahku dan Dila. “Itu, Pak. Jadi kan saya sudah bikin iklan untuk produk andalan. Nah, saya – ...” Dila mulai menjelaskan apa maksud kedatangannya ke ruanganku. Dia menjelaskan dengan detail, tidak belibet sama sekali. Pengambilan katanya tentang istilah-istilah iklan membuatku langsung paham apa yang dia inginkan. “Jadi begitu, Pak. Itu hanya usulan saya, boleh disetujui, boleh tidak. Saya sudah usul ini pada Mbak Novita, dan dia setuju. Cuma katanya saya harus menemui Pak Akhdan langsung.” “Yang paling saya soroti di sini, kamu minta tambahan budget untuk iklan buatanmu. Begitu?” Dila mengangguk. “Iya, Pak.” “Ada jaminan iklanmu akan sukses?” “Saya tidak berani menjamin.” “Bagaimana kalau hasilnya tidak bagus, padahal kita sudah tambah pengeluaran?” “Kita tidak pernah tahu kalau tidak mencoba, Pak. Berbisnis kan kadang memang perlu adanya trial and error. ” Jujur, aku suka tipe jawaban Dila. Usulnya memang bagus, tetapi budget yang dia ajukan juga cukup besar. Hampir dua kali lipat dari yang biasa aku keluarkan. “Oke, saya setuju. Semoga kamu enggak bikin perusahaan kecewa sudah milih kamu.” Dila mengangguk, dengan senyum yang tampak antusias. Dilihat dari ekspresinya kali ini, sepertinya dia percaya diri dengan usulannya. “Kalau begitu saya permisi, Pak.” “Iya, silahkan.” Dila berdiri setelah mengambil map yang tadi sempat dia jelaskan poin-poinya. Aku tidak akan berekspektasi pada usulannya, tetapi aku memuji keberaniannya. “Tante, Ken ikutan Tante boleh atau enggak?” tiba-tiba saja, Ken berdiri dan berlari ke arah Dila. Dila menoleh ke arahku, dan Ken pun sama. “Ken, jangan ganggu Tante Dila. Tante Dila mau kerja.” Ken menunduk, lalu melepas tangannya yang sudah berpegangan pada ujung baju Dila. “Iya, enggak jadi ikut.” Detik berikutnya, Dila berjongkok sebentar, lalu berbisik di telinga Ken. Seketika itu, Ken tersenyum lebar sambil mengulurkan kelingkingnya. “Janji, ya?” “Iya.” Dila mengangguk, lalu menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Ken. Dila pamit sekali lagi sebelum keluar. Begitu pintu ditutup, Ken tersenyum lebar sekali, lalu berlari sambil melompat-lompat ke arah sofa. “Tante Dila bilang apa, Ken?” “Rahasia, Pa.” Ken malah meringis lucu, lalu kembali bermain dengan mobil-mobilannya. Selama beberapa saat, aku terus melihat Ken tersenyum lebar. Sebenarnya apa yang Dila katakan pada Ken, sampai anak itu terlihat begitu bahagia? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN