6. Senyum Putri

1747 Kata
“Selamat pagi, Pak Akhdan.” Aku yang baru saja keluar dari mobil, seketika menoleh. Ternyata Dila. Dia tampak baru saja melepas helm-nya, karena rambutnya terlihat berantakan. “Iya, pagi.” “Saya duluan, Pak,” ujarnya pelan, lalu setengah berlari meninggalkanku. Setelah Dila menghilang di belokan sudut halaman, aku kini justru fokus pada motor matic putihnya yang terparkir jarak dua motor dari mobilku. Motor itu bukan motor merek mewah, hanya motor matic biasa yang banyak orang punya. Di rumahku bahkan punya dua motor dengan merek itu, yang satu biasa dipakai Mbak Iin ke pasar. Jujur, sampai detik ini aku masih kepikiran mobil lexusnya. Kalau memang mobil itu miliknya, buat apa dia bekerja di kantorku? Orang yang bisa membeli mobil lexus bukan lagi orang dengan ekonomi menengah ke atas, tetapi sudah pasti dia memang orang ekonomi kelas atas. Aku tahu, harga termurah mobil Lexus itu kisaran 800 juta, dan rata-rata 1 milyar lebih, tergantung tipe. Aku tahu ini karena aku pernah ingin beli lexus, tetapi tidak jadi. Pilihanku jatuh pada porsche hitam yang sering kubawa ke mana-mana. Ingin rasanya aku bertanya langsung, tetapi rasanya pasti aneh. Aku tidak ingin dicap orang yang hanya memandang orang lain dari status ekonominya. Aku pernah di posisi susah waktu aku kecil. Baru agak makmur ketika aku masuk SMA. Usaha bengkel Ayah berkembang pesat, sehingga ekonomi keluarga langsung melesat naik. Sepertinya, aku harus cari tahu tantang Dila lebih detail. Waktu itu, informasi yang Farhan cari sama sekali jauh dari kata detail. Dia bilang, dia agak takut kalau terlalu mengulik privasi orang. “Pak Akhdan...” Lagi-lagi aku menoleh ketika ada yang memanggilku. Oh, dia Nurul. “Gimana, Rul?” “Saya mau ke ruangan Pak Akhdan nanti. Pak Akhdan sibuk atau tidak?” “Lumayan. Saya berangkat pagi karena mau mengecek laporan kalian minggu lalu. Belum selesai. Jam sepuluh sudah selesai mungkin, karena tinggal beberapa.” “Siap, Pak. Setengah sebelas nanti saya naik.” Melihat wajah Nurul terlihat berbunga-bunga, mataku memicing. “Kamu kelihatan bahagia, ada kabar bagus?” “Banget!” Nurul nyengir. “Apa?” “Saya tebak Pak Akhdan belum cek laporan finance.” “Memang belum, saya baru periksa sebagian. Terutama yang bagian tim produksi. Kemarin kayaknya banyak sekali kain habis belum saatnya.” “Nah, itu, Pak. Semakin cepat habis, artinya laku keras. Nanti saja saya naik ke ruangan Pak Akhdan, enggak enak kalau saya malah nahan Pak Akhdan begini.” Aku tertawa pelan. “Ya sudah, saya naik dulu.” “Iya, Pak.” *** “Ah, ini maksud Nurul?” Aku melongo selama beberapa saat setelah memeriksa laporan finance minggu lalu. Di perusahaanku, ada laporan harian, mingguan, juga bulanan. Sengaja aku pisah-pisah agar lebih mudah untuk mengatur strategi. Perlahan tapi pasti, senyumku mengembang lebar. Aku meraih laporan advertiser yang niatnya akan aku periksa setelah laporan keuangan selesai. Karena ada peningkatan signifikan, aku ingin lihat tanggal berapa yang hasilnya paling melonjak. “Wah! Dila ini benar-benar penuh kejutan!” Rupanya Dila berhasil membuktikan ucapannya waktu itu. Dia bilang, kita tidak pernah tahu kalau tidak mencoba. Dan ketika aku memberinya kesempatan yang cukup beresiko, dia berhasil mengerjakannya dengan sangat baik. Kemarin-kemarin aku sibuk dengan acara doa untuk Syafa, jadi aku tidak begitu jeli melihat laporan harian yang dikirim untukku. Aku hanya mengecek siapa yang sudah mengirim dan siapa yang belum. Isinya sama sekali belum kuperiksa karena memang belum sempat. “Ini anak sebenarnya siapa?” Perlu kalian tahu saja, penjualan bulan ini meningkat hampir tiga kali lipat dari bulan lalu. Memang Aku menggelontorkan uang lebih banyak, tetapi profit akhir tetap jauh lebih besar. Pantas saja, ketua tim produksi bolak-balik menghubungiku perihal supplier kain yang agak lambat. Ternyata bukan lambat, tetapi memang kami saja yang terlalu cepat menghabiskannya. Tok tok tok! Pintu ruanganku diketuk. Dua detik kemudian, pintu itu dibuka perlahan. Sesuai dugaan, yang datang itu nurul. “Duduk, Rul.” “Iya, Pak.” Seperti tadi pagi, wajah nurul tampak bahagia. Dia menyerahkan satu bendel map, yang entah berisi apa. “Ini apa, Rul?” “Oh itu titipan Farhan, Pak.” Aku menerima map itu, dan meletakkannya di sudut meja. “Pak Akhdan sudah selesai periksa laporannya?” Aku mengangguk. “Sudah. Tentang Dila?” Nurul meringis. “Iya, Pak. Sebenarnya Novita menghubungi saya, apa pilihan dia mengecewakan atau tidak. Saya jawab jauh melampaui ekspektasi.” “Bukannya dia sedang mempersiapkan pernikahannya?” “Memang, Pak. Dan herannya dia masih sempat menanyakan bagaimana Dila dan Agus. Mungkin dia merasa masih memiliki beban kalau pilihannya tidak bagus. Eh ternyata, justru melebihi ekspektasi.” “Iya, saya juga cukup kaget. Ini signifikan sekali ya?” “Super, Pak. Jujur, saya ikut lega Adila kerjanya bagus. Soalnya, saya termasuk yang Novita ajak diskusi ketika dia mau pilih Adila. Selain kinerjanya, attitude-nya juga bagus. Waktu saya wawancara juga lancar, dia kelihatan sangat cerdas. ....” Mendengar Nurul cerita panjang lebar tentang Dila, aku semakin penasaran siapa Dila sebenarnya. Aku merasa dia bukan orang sembarangan. Maksudku, barangkali latar belakang keluarganya memang bagus, tetapi dia sangat low profile. Nurul pamit dari ruanganku setelah dia ditelfon Farhan. Aku sendiri memilih untuk istirahat sejenak, entah sekedar menonton YouTube, atau mengajak Ken video call. Kisaran jam makan siang, aku turun untuk mengecek apa saja yang kiranya perlu perhatianku. Barangkali ada sarana kantor yang rusak, aku harus segera menggantinya dengan yang baru. Biasanya, karyawanku makan siang di kantin perusahaan. Kantin perusahaanku tidak besar, tetapi menunya cukup variatif. Kalau mereka bosan, mereka akan keluar, karena kebetulan di dekat kantorku terdapat banyak sekali penjual makanan. Kalau sedang malas ke mana-mana, jasa go-food pun jadi pilihan mereka. Baru saja aku berbelok menuju pintu ruang produksi, perhatianku tersita oleh seorang perempuan yang sedang memberi makan kucing di dekat pohon sukun yang ada di sudut halaman kantor. Ruang produksi memang berada di luar, karena kalau gabung, terkadang mesinnya agak berisik. “Ah, Dila?” mataku menyipit. Benar, dia Dila. Dia sempat berputar, dan aku lihat jelas wajahnya. Senyumku tiba-tiba mengembang tanpa bisa dicegah. Terlebih ketika kulihat dia tampak takut, tetapi tetap memberi makan kucing dengan ayam yang entah dia dapat dari mana. Setelah ayamnya habis, dia berlari ke wastafel yang ada di halaman, lalu mencuci tangan. Matanya melebar kaget begitu melihatku. “Loh? Pak Akhdan?” “Kamu suka kucing?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya. “Eee, lumayan. Dulu pernah mau melihara kucing, tapi sama Ayah saya tidak dibolehin karena adik saya pernah digigit kucing liar. Dibilang suka ya iya, takut juga iya.” “Kamu punya adik?” “Punya, masih kuliah S1.” Aku mengangguk. “Kamu dapat dari mana ayamnya? Saya lihat tadi, ayamnya masih besar.” “Itu, di depan ada ayam penyet. Saya beli, tapi enggak dipenyet. Kucingnya kurus, kasihan.” “Kamu sudah makan?” Dila tampak terkejut dengan pertanyaanku, dan aku pun sebenarnya sama. Kenapa aku tiba-tiba bertanya hal ini? Pertanyaan tentang makan selalu diartikan sebagai bentuk perhatian. Padahal bukan, pertanyaanku barusan hanya pertanyaan reflek setelah dia bahas ayam penyet. “Maksud saya, jam makan siang habis enggak lama lagi.” Aku buru-buru melanjutkan kalimatku. “Oh, belum. Tapi saya udah makan banyak roti tadi.” Dila meringis. Lagi-lagi, ingin sekali aku menanyakan mobil lexus-nya, tetapi rasanya akan sangat aneh kalau tiba-tiba bertanya tentang yang satu itu. Aku harus cari kalimat yang tepat agar tidak membuat Dila berpikir aneh-aneh. “Kayaknya kemarin waktu di mall, kamu naik mobil. Kenapa kalau kerja pakai motor? Jogja kan lagi panas. Naik mobil tentu lebih nyaman, apalagi kalau macet di lampu merah.” Akhirnya, kalimat spontanku sepertinya cukup tepat. “Kalau karyawan pada bawa mobil, bisa menuh-menuhin parkiran nanti, Pak.” “Ya enggak papa, enggak ada larangan karyawan bawa mobil. Yang penting mobil punya sendiri, bukan nyuri. Bisa gawat kalau mobil curian.” Dila tampak menggaruk pelipisnya. “Bukan, Pak. Yang kemarin itu, sebenarnya mobil pinjem temen. Bukan punya saya.” “Pinjem?” “Iya, hehe. Oh iya, Pak. Saya masuk dulu, ya. Selamat siang!” Dila menunduk sesaat, sebelum akhirnya pergi meninggalkanku sendirian. Wah, baik sekali temannya mau meminjami mobil lexus di saat weekend? Aku menggeleng pelan, lalu melanjutkan kegiatanku. Selama kurang lebih satu jam aku keliling, aku memotret apa saja yang kiranya butuh perbaikan. Setelah selesai, aku berniat kembali naik ke ruangan. “Siang, Pak Akhdan!” lagi dan lagi ada yang menyapaku. Kali ini Irma, salah satu staf finance. “Siang. Kamu kenapa buru-buru begitu?” “Oh ini, Pak, saya nemu jam tangan di toilet cewek. Enggak tahu punya siapa. Mau saya kasih ke Mbak Nurul, biar dia yang cari.” Mataku menyipit melihat jam tangan yang Irma bawa. “Coba saya lihat.” Rima menyerahkannya padaku, dan aku cukup terkejut begitu melihat mereknya. Michael Kors, dan aku tahu kalau jam tangan ini cukup mahal. Aku pernah membeli jam merek ini sebagai kado ulang tahun untuk Syafa dua tahun lalu. Tipenya sama, hanya beda warna. “Adila, mau kemana? Kok kaya buru-buru gitu?” jelas aku menoleh ketika Irma menyebut nama Dila. “Jam tanganku hilang. Ketinggalan di toilet kayaknya, Mbak.” “Eh, ini bukan?” Irma reflek menunjuk jam tangan yang sedang aku bawa. “Oh iya, bener itu.” Aku segera mengulurkan tangan, dan Dila meraihnya. “Lumayan ini, walaupun KW. Terimakasih Mbak Irma, Pak akhdan.” Dila menunduk dan berlalu begitu saja. Tak berselang lama, irma juga pamit. Kini tinggallah aku yang masih berdiri dengan mata yang terus menatap ruangan Dila. Kenapa Dila harus menyebut KW, disaat tidak ada yang bertanya keasliannya? Lagipula seharusnya dia malu kalau ketahuan pakai KW, bukannya malah mengaku tanpa ditanya. Semakin Dila bertindak aneh, semakin aku berpikir Dila sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Bukan hanya dariku, tapi dari semua orang yang ada di sini. “PAPA!” Lamunanku seketika buyar begitu mendengar suara Ken memenuhi lobi. Aku tersenyum, dan segera jongkok sambil merentangkan kedua tangan. Ken berlari dan langsung menabrakku. “Kok bisa sama Tante Putri, Ken?” “Tadi aku yang ke rumah buat jenguk Ken, Mas.” Putri menjawab lebih dulu. “Ah... Ken merepotkanmu lagi, Put?” “Enggak, Mas. Aku enggak pernah merasa direpotkan kalau sama Ken.” Putri tersenyum, lalu mengacak rambut Ken yang berada di gendonganku. “Ken itu kan anak Mbak Syafa, jadi udah aku anggap kaya anakku sendiri.” “Eh?” “Hehe, enggak, Mas. Bercanda aja. Maksudku, Mas Akhdan jangan ngerasa enggak enak terus.” Aku tertawa pelan. “Ah, iya, iya.” Entah hanya perasaanku saja atau bukan, aku lihat Putri tersenyum, tetapi jenis senyum yang menurutku sedikit tak biasa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN