22. Pekalongan

1974 Kata

Aku sudah tak menghitung lagi berapa lama aku dan Dila minim interaksi. Kami hanya mengobrol tentang pekerjaan saja, tidak pernah lebih. Lebih di sini bisa saja tentang Ken, tetapi tidak. Sebanyak apa pun Ken menanyakan Dila, aku selalu berusaha berdalih agar mereka tidak bertemu dulu. Yang aku lakukan memang tidak singkron dengan apa yang sebenarnya mulai aku rasakan. Aku merasa ingin mendekati Dila, tetapi yang kulakukan justru sebaliknya. “Pagi, Pak Akhdan.” Panjang umur sekali si Dila ini. Lihatlah, dia kini sedang tersenyum lebar padaku. Dia tampak baru saja datang dan melepas helm. Aku sendiri masih duduk di dalam mobil dengan keadaan kaca jendela yang sudah terbuka. “Iya, pagi.” “Rajin sekali, Pak.” “Saya nunggu Farhan datang karena kami mau ke Pekalongan.” “Ke Pekalon

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN