Kupikir aku dan Dila akan canggung, tetapi ternyata tidak. Setelah dari toilet, Dila tampak santai melanjutkan makan siangnya yang tinggal sedikit. Entah sebenarnya makan kali ini masih bisa disebut makan siang atau bukan karena terlalu telat. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah lima, dan kami masih berada di Pekalongan. Setelah tadi selesai makan, kami menunaikan ibadah sebagai umat beragama dan istirahat sebentar. “Pak, pulangnya saya yang nyetir—“ “Enggak,” potongku cepat. “Takut mobilnya lecet, kah?” Aku tertawa pelan, “Enggak, Dil. Saya cuma enggak bisa disetirin perempuan sementara saya sehat. Kecuali kalau saya sakit, baru mau gimana lagi.” “Nyetir lima jam itu capek, Pak. Saya gantiin dua jam aja, deh.” Aku tetap menggeleng. Aku tahu, Dila mungkin tidak ena