Cara pandang makhluk itu tidaklah jauh berbeda, yang kuat akan selalu melakukan hal semau mereka pada yang lemah, dan yang lemah tidak punya pilihan lain untuk menolaknya, tak peduli seberapa kesal perasaan yang kita para orang lemah rasakan, mulut kita akan tetap bungkam dan tak memiliki kesempatan untuk angkat suara.
Saat ini aku kesal, bahkan kedua tanganku merespon dengan baik, mendengar perkataan dewa raksasa yang terdengar seenak jidat membuatku mengepal dengan sekuat tenaga, tapi aku hanya dapat mengumpat pendapatku di dalam hati, mungkin Oda Nobunaga dan orang timur tengah itu mampu menyampaikan apa yang ada dalam hati mereka tanpa rasa takut, tapi apa nasibku akan seberuntung mereka? Jika aku juga ikut angkat suara mungkin aku akan dibinasakan di tempat.
“Jika para dewa bosan di surga, mengapa kalian tidak turun saja ke bumi? Kalian bisa mengarungi tujuh samudera, melakukan petualangan yang menegangkan, mencari samudera ke delapan, dan memastikan di mana ujung dunia berada, sama seperti yang kulakukan.”
Apa orang itu baru saja mengatakan mengarungi tujuh lautan, orang timur tengah yang tampak gagah berani yang mendedikasikan hidupnya untuk berpetualang mengarung tujuh samudera, diakah Sinbad?
“Turun ke bumi? Dan bergerumul dengan kalian para manusia? Apa kalian menganggap derajat kalian itu sebanding dengan kami para dewa? Apa kalian tidak melihat dari apa yang terjadi saat ini? Aku berada di atas, kalian semua berada di bawah, saat kita bicara aku memandang rendah pada kalian, dan kalian mendongak ke arahku. Kalian akan selalu mendongakan kepala kalian ke atas, karena kalian tidak akan pernah mendapatkan derajat setinggi ini. Jadi jangan terlalu percaya diri di hadapanku.”
Cihh! Benar-benar sombong sampai akhir, aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Kupikir... Saat aku terpanggil aku hanya akan di tempatkan di sebuah dunia fantasi dan menjalani hidupku yang menegangkan dan menyenangkan sebagai seorang pahlawan. Kenyataannya, aku terpanggil untuk di rendahkan dan ditertawakan macam badut, meskipun bukan hanya aku, tapi semua manusia yang berdiri di atas lautan ini.
Inikah wajah asli sosok dewa yang disebut dengan dewa tertinggi? Padahal Dewa Garileon memiliki sifat yang jauh berbeda dengan dewa yang satu ini, ha... Sekali lagi memang begini, setiap makhluk pasti ada yang memiliki kepribadian baik dan ada yang berkepribadian buruk.
“Oi! Makhluk agung! Kau ingin kami menjadi wayang untuk menghibur kalian para dewa di alam surga? Jangan katakan tak ada bayaran yang harus kami terima?” ujar orang timur tengah yang kupikir dia adalah Sinbad.
Nampak kalau si Sinbad ini mulai kesal dengan perlakuan semena-mena dari Dewa Raksasa, matanya memancarkan kemarahan yang seakan akan meluap. Kuharap Dewa Raksasa itu tidak tersinggung.
“Haha... Seorang manusia mencoba bernegosiasi denganku, apa kau mengharapkan sebuah imbalan? Tentu, tentu aku mengerti, kalian tidak akan mau dimanfaatkan untuk menghibur kami secara sukarela, bagaimanapun juga kalian adalah makhluk yang masih memiliki sedikit akal. Dengan segala kemurahan hati kami, saat kalian para Champion berhasil mencapai pencapaian tertinggi di dunia yang akan kalian tinggali nanti, kami akan mengabulkan satu permintaan kalian.”
“Sungguh agung! Layak disebut dengan sosok tertinggi di alam dewa, terimakasih atas kemurahan hati Dewa telah mau memberikan kami imbalan dengan mengabulkan satu permintaan kami,” ujar si Sinbad dengan nada yang sedikit sarkas.
Dia bahkan berani menyindir dewa yang bisa membinasakan dirinya dalam sekejap, pria yang kupikir adalah Sinbad ini benar-benar tidak takun akan apapun.
“Manusia... Aku tidak tau kau akan memiliki pencapaian tertinggi atau tidak nanti, tapi karena kau sangat pemberani untuk mengatakan apa yang kau sembunyikan dalam hatimu, maka aku ingin mendengar apa yang kau inginkan sebagai imbalan saat kau berhasil nanti.”
“Anda yakin ingin mendengarnya?” ucap si Sinbad.
“Kau meragukanku? Aku akan mendengarnya, dan seperti apa yang telah aku katakan, aku akan mengabulkannya,” jawab sang Dewa Raksasa.
Sama halnya seperti sang dewa yang ingin mengetahui keinginan si Sinbad, aku pun cukup penasaran, apa yang ingin diminta oleh pria sepertinya? Mungkinkah sebuah harta yang tidak ada habisnya? Atau wilayah yang tidak akan pernah mati kesuburannya?
“Saya ingin... Saat saya berhasil mencapai pencapaian tertinggi, anda! Mau melawan saya dalam sebuah pertarungan hidup dan mati.”
Sinbad benar-benar mengatakannya dengan tegas, badannya tidak nampak gemetar sedikitpun, keberaniannya benar-benar sifat alami yang dia miliki. Saat aku melihat pada Oda Nobunaga yang berdiri tepat di depanku, dia tampak tersenyum sambil mengangkat sebelah bibirnya, mungkin dia salut dengan keberanian si Sinbad dalam menyampaikan apa yang ada dalam hatinya.
“Hahahahah, lucu, benar-benar lucu, kau sungguh dapat menghiburku, aku lupa kapan terakhir kalinya aku tertawa seperti ini. Manusia benar-benar menganggap dirinya sendiri memiliki derajat tinggi dan istimewa, heh! Sungguh bermulut besar. Apa kau pikir manusia yang hidup tidak lebih dari seratus tahun mampu melawanku seorang dewa yang abadi?”
“Tidak ada air yang selalu pasang, pasti suatu saat akan surut juga, tidak ada daun yang selalu hijau, pasti suatu saat kering juga, dan tidak ada bunga yang selalu mengembang, pasti suatu saat layu juga.”
Aku yakin dewa raksasa itu tadi tidak hanya ingin menyampaikan kalimat yang hanya berhenti sampai disitu, tapi si Sinbad ini dengan tanpa berpikir panjang benar-benar menyelanya. Dia ingin mengatakan bahwa tidak ada satupun hal di dunia ini yang abadi.
“Kau benar-benar tau caranya menghiburku manusia, aku... Dewa Oldodeus sebagai Dewa Tertinggi mengakui keberanianmu itu, akan kulupakan semua kelancanganmu hari ini, dan dengan senang hati memaafkanmu. Lalu manusia, karena hal ini aku ingin menanyakan siapa namamu.”
“Shinibad al Bahriy, atau orang lebih mengenalku sebagai Sinbad si Pelaut. Suatu hari nama itu akan kembali dikenal, sebagai Sinbad si pembunuh Dewa Oldodeus.”
Jadi dia benar-benar Sinbad? Ada apa dengan pemanggilan ini? Pertama Oda Nobunaga, lalu Sinbad, apakah semua orang yang berdiri disini juga adalah seorang pahlawan yang namanya selalu muncul dalam sejarah, legenda, dan juga dongeng?
“Sinbaaaaaadddddd!!!!”
Sang Dewa Oldodeus menyerukan nama Sinbad dengan lantang, wajahnya seperti seorang maniak yang tengah terobsesi akan sesuatu, dewa ini seperti tertarik kepada Sinbad.
“Di hari kau menaklukkan seluruh rintangan yang ada di dunia yang akan kau singgahi setelah ini, aku Oldodeus akan turun, sesuai dengan keinginanmu, kita akan bertarung. Tapi kau mengerti kan apa yang harus kau lakukan?”
“Ya... Saya hanya perlu melakukan yang terbaik, saat hari itu tiba... Jangan lupa untuk menjaga leher anda.”
Seorang manusia yang sangat kecil, dibandingkan dengan telapak tangan Dewa Oldodeus, telapaknya jauh lebih besar daripada tubuh Sinbad, bagi dewa... Kami para manusia tidak lebih seperti seekor serangga, sekali tepuk langsung mati. Tapi di balik tubuh kecil kami para manusia, dari mana keberanian yang begitu besar itu muncul? Sinbad... Apa aku bisa seberani dirimu juga?
“Tidak kusangka di antara makhluk kecil seperti kalian, ada yang memiliki keberanian yang besar untuk menantangku, bahkan ingin mengambil kepalaku. Sungguh lucu, sungguh menarik, gagasan untuk membuat kalian menjadi wayang sebagai hiburan kami para dewa adalah gagasan yang paling tepat, kalian memang berpotensi untuk menghiburku, aku tidak sabar untuk segera menyaksikannya. Beberapa saat setelah aku pergi, kalian pun akan di kirim ke alam selanjutnya. Persiapkan diri kalian, para bonekaku! Hahahahaha...”
Setelah itu Dewa Oldodeus menghilang dibalik kilatan cahaya, namun suara tawanya yang menggelegar masih menggema di tempatku berdiri.
Ah... Sebentar lagi tiba saatnya untuk pergi, jika alasannya adalah untuk sekedar menjadi badut yang di datangkan untuk menghibur mereka yang tidak peduli akan takdir kami, kenapa aku harus datang? Yah... Lagipula jika aku tidak terpanggil dan tetap di bumiku yang dulu, aku tidak menjamin akan segera lepas dari rasa bosanku.
Lagipula... Apa orangtuaku tau aku sudah tumbuh sebesar ini, mereka tidak melihatku datang dan tidak melihatku pergi, yang mereka tau adalah roti isi telur yang disediakan di atas meja telah habis dan piringnya pun sudah di cuci bersih. Mungkin saat mereka tau bahwa roti isi telur itu tidak tersentuh esok harinya, mereka akan sadar kalau aku sudah tidak ada disana, kira-kira mereka akan sedih atau tidak ya?
Percuma juga memikirkan itu, mungkin hasilnya akan sama, mereka berdua tidak akan peduli, yang terpenting saat ini adalah memikirkan bagaimana aku akan melawan takdirku di duniaku yang baru.
Saat aku melihat semua orang yang ada di sekelilingku aku sadar bahwa mereka semua tidak sepertiku, mereka seperti orang yang telah siap untuk ini, mungkin karena apa yang kulihat dari mereka adalah pancaran mereka sebagai seoranh ksatria ataupun pejuang, tak peduli ujiannya itu untuk bertarung atau berperang, mereka semua sudah siap untuk itu. Oda Nobunaga, Sinbad, dan orang-orang lainnya yang aku yakin mereka juga adalah seorang pahlawan dari sejarah atau dongeng, mereka sudah siap untuk melawan takdir mereka, mata mereka memancarkan bara api dan tubuh mereka tidak menggigil sedikitpun.
Bagaimama denganku? Aku sudah berkeringat, tenggorokanku kering, lututku lemas seakan itu akan bengkok kapan saja. Aku benar-benar takut, sangat takut jika aku harus jadi yang pertama kali mati. Melihat diriku yang hanya seorang remaja biasa, dibandingkan dengan mereka yang menyandang gelar pejuang atau pendekar, bagaimana aku bisa menyaingi mereka? Mereka handal dalam pertarungan hidup dan mati, tapi tidak denganku, apa yang aku bisa?
Tunggu, karena mereka adalah orang-orang yang pernah mengukir nama mereka dalam sejarah, jadi mereka tidak lebih dari sejarah itu sendiri, mereka adalah keberadaan yang berjaya di masa lalu dan sudah tidak ada di masaku, mereka tak tau apapun tentang dunia modern, tidak sepertiku. Mereka tidak pernah menonton anime, mereka tidak tau apapun soal manga, bahkan bacaan mereka juga tidak seperti light n****+ yang aku baca. Aku lebih paham daripada mereka soal dunia lain. Seharusnya aku mampu bertahan, Ya! Aku harus percaya bahwa diriku mampu!
Tanpa peringatan apapun, diriku yang tadinya menapak di atas air tiba-tiba tenggelam begitu saja, begitu pula dengan orang-orang yang ada disekitarku, semakin dalam aku tenggelam semakin gelap tempat itu, semakin aku tidak bisa melihat apapun walaupun aku membuka mata.
Satu hal yang aku mantapkan dalam hati, kemanapun arus ini membawaku, aku harus bertahan hidup!