“Ya iyalah jantung kak Mel jedag-jedug, kalau enggak ya kak Mel meninggoy dong,” balasku tak mau kalah.
Karena aku tak mau mengakui itu, maka aku cari alasan yang lain. Mana mungkin aku mengakui telah berdebar di depan Aiman yang tadi terlihat keren? Bah! Yang ada nanti dia jadi besar kepala.
Kan aku yang menentang keras untuk menolak pesonanya! Yang memang harus kuakui Aiman itu levelnya sudah sama rata dengan Kim Taehyung.
Gala terkekeh dulu baru berkomentar, “Oh gitu.”
Melihat reaksinya, aku seperti habis menang lotere. Puas sekali karena bisa mengelabui anak itu. Meski aku nggak tahu apa yang sedang dipikirkan om polisi di sampingku itu.
Sampai di rumah, aku langsung membereskan semua barang belanjaan tadi. Lagi asik nyusun, Aiman tiba-tiba muncul seperti hantu. Dia terlihat baru selesai mandi dengan rambut yang masih basah.
Padahal dia punya hairdryer. Kenapa sih nggak dipakai buat mengeringkan rambut? Kalau lihat beliau dalam mode begini kan, saya jadi nggak kuat iman — sungutku dalam hati.
“Astaghfirullah ngagetin aja!”
Aiman malah terkekeh melihatku bereaksi seperti itu.
“Kamu suka kagetan yah sekarang. Kaget karena selalu lihat pria tampan?”
Idih....kepedeannya kembali muncul.
“Maaf ya nak Aiman. Saya tidak merasa anda tampan. Ingat yah di atas langit masih ada langit. Bagi saya Kim Taehyung masih number one!”
“Masa? Emang ngeliat doang bisa kenyang?”
Aku meliriknya sinis, “Maksudnya?”
“Kalau ngeliatin saya, kamu bisa pegang-pegang loh. Sama Kim siapa tadi ah itulah kan nggak bisa biarpun kamu nonton dia di konser, kan?”
Pernyataannya mulai menjurus kemana-mana. Daripada aku terjebak dengan permainannya, aku mengubah topik pembicaraan.
“Maaf kalau saya tidak sesuai dengan ekspektasi anda. Sekarang saya mau tahu apa tujuan kisanak mengendap-endap ke dapur di jam segini?”
Aiman terkekeh lagi.
“Laper. Bisa bikin makanan ringan nggak?”
“Jam segini sih enaknya makan mie.”
“Boleh deh. Saya mau nonton film. Tolong bikinin yah.”
Sial! Lama-lama sih emang aku kayak mbak beneran.
Mendengar dia meminta tanpa nada memerintah, akupun membuat permintaannya menjadi nyata. Kumasak mie kuah yang baru aku beli dua kardus spesial pake telur dua. Oseng oseng oseng, akhirnya siap juga.
Aku segera membawanya ke ruang tengah di mana dia sedang nonton sambil mematikan lampu ruangan. Aiman memasang layar tancep kekinian alias proyektor untuk menonton film berbayar. Dan yah...ini terlihat asik apalagi kalau filmnya horor.
“Nih.”
Wajah Aiman berseri-seri melihat satu mangkuk mie kuah plus telur tersaji dan tercium nikmat di meja. Tanpa basa-basi, beliau ini langsung menikmati mie tersebut walaupun masih terlihat masih panas.
“Mau kemana?” tanya Aiman waktu aku berbalik menuju kamar.
“Tidur lah.”
“Sini nonton,” panggil Aiman sambil menepuk sudut sofa di sampingnya.
“Emang lagi nonton apaan? Males kalau film fantasi, romantis segala macem.”
“Terserah mau nonton apa. Puter aja,” ucapnya sambil makan.
Tanpa curiga, akupun duduk di tempat yang ia tepuk tadi lalu mencari chanel yang pas. Aku ketemu sama film horor Indonesia yang sedang booming beberapa tahun lalu dan langsung menekan play untuk menontonnya.
Aiman berdecak di tempatnya.
“Yakin mau nonton horor?”
“Emang kenapa?”
“Ya kali aja kamu penakut orangnya.”
“Ngeledek aja terus. Yok challenge! Lihat siapa yang suka tutup mata ntar,” tantangku.
“Oke.”
Kami pun mulai menonton film mbak Tarra Basro itu, yang katanya directornya sendiri adalah director perfilman Korea yang juga sukses di sana.
Aku sudah menonton banyak drama dan film Korea-nya. Jadi pasti lebih seru kalau dibuat dalam versi Indonesia.
Dan benar saja, aku langsung merinding saat wujud seorang ibu muncul begitu menyeramkan. Tidak banyak muncul penampakan tapi jumpscarenya cukup lumayan apalagi waktu scene di jalan tol yang penuh dengan pendarahan dan adegan di sumur!
Gila! Aku langsung teringat dengan sumur tua di rumah. Beneran sama wujudnya seperti nenek-nenek berkebaya yang mati didekat sumur.
“Hih!”
Grep.
Aku merasa kakiku sedang dipegang oleh seseorang. Dan saat aku menoleh, Aiman sedang duduk tegang di tempatnya. Aku mulai ini merasa lucu. Ternyata Aiman yang garang, bisa sangat takut sama film horor.
“Weleh....weleh. Ada yang takut nih.”
“Hah? Enggak kok!” elaknya.
Aku mulai kepikiran untuk menjahilinya.
“Santai bang. Habis ini nggak ada hantunya.”
Tapi omonganku mungkin dirasa bullshit oleh Aiman karena tak lama adegan berganti ke penampakan si ibu tua secara tiba-tiba. Sontak Aiman langsung menarik lenganku dan berlindung di sana. Aku meliriknya sinis karena sudah berani-beraninya pegang-pegang.
Aiman terpelongok saat aku minta dilepaskan.
“Om....jangan ambil kesempatan.”
“Apanya?”
Aku menunjuk lenganku yang sedang dia apit dengan lirikan mataku. Setelah melihatnya, Aiman melepaskan diri tapi sambil menatapku dekat. Untuk sesaat suasana tiba-tiba menjadi hening serta aura sekitar mendadak jadi panas. Apa ac-nya nggak nyala yah sampai aku merasa pengap dan mendadak lemes lutut beradu pandang dengan mantan duda anak satu ini?
Bibirnya. Aku nggak bisa berpaling dari bibirnya yang tebal itu. Aroma mint-nya saja sudah ke cium dari sini.
Enggak Mel. Enggak! Meskipun dia suamimu tapi ini cuma pernikahan sementara. Jangan mau berikan segalanya untuk om-om sompret satu ini!
“Huah! Mau tidur aja deh. Besok kan mesti ke salon buat jadi ibu bhayang,” tukasku,melipir untuk menjauhi suasana yang canggung ini.
Untungnya Aiman tak mengatakan apapun atau meledekku. Kalau sampai dia ngomong sesuatu, aku justru merasa semakin serba salah nantinya. Apalagi nanti saat kami sama-sama berada di dalam kamar.
Pindah ke kamar Gala aja kali yah biar nggak bersambung canggungnya, gumamku dalam hati.
**
Paginya, aku buru-buru diantar Aiman ke sebuah salon langganan. Maksudnya ingin pergi diam-diam sebelum Gala bangun, tapi bocah itu ternyata sudah bangun cepat dan minta ikut denganku ke salon. Alhasil kami bertiga pergi ke sana dan menungguku selesai di dandani.
Beda dengan salon manten yang kemarin, salon yang ini punya cece berjakun. Orangnya manis. Enggak akan ketahuan mah kalau dia itu transmigrasi.
“Mau disanggul pendek aja kan?”
“Nggak tahu ce. Emang rambut pendek gini bisa disanggul?”
“Bisa dong bunda.”
Langsung saja beliau ini mendadaniku seperti buk Rita kemarin. Ngomong-ngomong soal beliau, apa hari ini aku bakalan ketemu dia lagi?
Satu setengah jam berdandan, akhirnya selesai juga. Gala melihatku sambil terheran-heran. Dia bilang nggak terlalu suka lihat aku berdandan.
“Mama kayak ondel-ondel.”
“Berarti kalau nggak dandan jadi ongol-ongol dong?”
Bukan cuma Gala yang tertawa, cece Hidayat dan Aiman juga terkekeh mendengarnya.
“Ih istri baru mas Aiman somplak juga yah.”
“Iya. Emang rada-rada sih,” sahut Aiman yang kulirik dengan tajam ke arahnya. Tapi yang kulirik malah tersenyum tipis nan gemesin.
“Nggak apa-apa lah mas. Rumah jadi heboh. Makasih yah. Semoga pelantikannya sukses!” serunya.
Kami pun pulang. Aku juga harus segera mengenakan pakaian merah muda kebanggaan ibu bhayangkari. Ternyata ukuran tubuh Susan kurang lebih sama sepertiku. Jadi tidak terlalu banyak bagian baju yang terpotong. Hanya roknya saja yang harus dikecilin sedikit karena pinggangku yang cukup kecil.
Aku selesai berdandan, Aiman juga sudah mengenakan pakaian dinas resminya.
Dan wow! Aku melihatnya amat gagah sekali. Seragamnya pas. Tidak kebesaran dan tidak pula kesempitan. Bidang dadanya terlihat lebar dan pelukable banget yang membuat posture tubuh Aiman memang idaman setiap kaum hawa. Aku tidak munafik, kalau sekarang aku menelan ludah melihatnya yang begitu bersinar dan berwibawa. Apa pemandangan seperti ini akan aku lihat empat tahun ke depan? Masya Allah.
“Udah siap?”
Lagi-lagi aku merasa hawa di sekitarku jadi panas. Takutnya kalau berkeringat, bisa luntur deh make upnya.
“Huum. Yuk berangkat,” kataku.
Hari ini Gala terpaksa pergi bersama asisten rumah mamanya Aiman. Bik Sur namanya. Beliau akan bersama Gala di sekolah sampai kami menjemput di rumah mama nanti. Kulihat anak baik hati itu sudah siap diantar oleh Raka ke sekolah. Sedangkan aku dan Aiman berangkat ke kantor tempat diselenggarakannya pelantikan.
“Di sana nggak ada pak Presiden, kan?” tanyaku panik.
“Ehmm yah satu hari nanti kalau saya jadi Jenderal, baru bisa dilantik sama presiden.”
“Waw, kudoakan semoga kamu sampai ke titik itu.”
Aiman malah tertawa. Meski begitu, ia tetap mengaminkan doaku tadi.
Satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di gedung pelantikan. Baru sampai di depan parkir,kami sudah didatangi beberapa orang yang punya pangkat lebih tinggi dan juga rendah dari kesatuan polis republik Indonesia ini. Mereka bersama pendamping yang juga berdandan sepertiku. Anggun sekali! Apakah aku juga sudah seperti mereka? Aku harap sih begitu. Kuserahkan hidup dan matiku pada cece Hidayat soal penampilanku hari ini. Semoga yah semoga aja sih, aku tidak seperti ondel-ondel yang sempat Gala katakan tadi pagi.
Suasana gedung acara terlihat ramai. Kata Aiman, pelantikan ini juga sekalian mengadakan penggalangan dana untuk korban banjir kemarin. Sekarang aku baru merasa merinding hingga kakiku gemetaran. Karena di sini, aku akan diperkenalkan secara resmi sebagai istri Aiman yang kedua.
Buset….kalau kami cerai nanti, dia bakal punya istri ketiga dong. Emang boleh yah?
“Pak Aiman! Selamat sekali lagi!” sapa pak Herman yang pernah kami temui sebelumnya di sekolah TK. Di samping beliau ada wanita cantik yang sudah tentu adalah buk Rita. Aku menyapa beliau sebagai bentuk basa-basi.
“Hari ini cantik sekali buk Mela.”
“Ah…buk Rita bisa aja.” Caraku ketawa saja sudah seperti ibu-ibu sariawan. Sangat amat dijaga.
“Gimana menurut kamu acara ini?”
Aiman terlihat sudah berbaur dengan kalangannya sendiri. Untungnya aku punya buk Rita yang menemaniku. Jadinya aku tak seperti kambing congek yang sendirian di sini.
“Kayak menghadiri pesta. Bapak-bapak dan ibu-ibu di sini biarpun pakai pakaian yang sama, mereka kaya punya pesonanya sendiri.”
Buk Rita tersenyum padaku. Beliau mengangguk sambil tersenyum ke arah ibu-ibu bhayangkari lainnya.
“Benar. Ini lebih kurang memang seperti itu. Kamu harus tetap tersenyum walaupun kaki pegal karena terus berdiri.”
Aku spontan terkekeh mendengarnya.
Di sini, sanak saudara, anak, dan rekan boleh ikut hadir. Tak heran ada juga yang membawa kerabat mereka ke acara dengan gaun dan pakaian yang berbeda. Kalau tahu begini, mending aku ajak Gala kan? Tapi yah…bocah itu juga maunya ke sekolah. Nggak mau ke acara seperti ini katanya.
“Aiman.”
Sebuah suara membuat aku, buk Rita dan Aiman menoleh serempak. Seorang wanita cantik menyapa Aiman dan kemudian mereka saling bersalaman dan mencium pipi. Mereka jadi asik bicara sampai melupakan keberadaanku di sini.
“Kapan balik dari Medan?” tanya wanita yang punya kaki jenjang dan rambut indah seperti artis Raline Shah itu. Suaranya juga lembut dan lirih. Tapi aku akan merinding mendengarnya kalau dia berdiri di pohon sawo buk Jubaidah yang ada di kampung.
“Baru aja. Oh ya, kenalin. Ini istri aku, Mela.”
Aiman merangkul bahuku dan aku berusaha tersenyum sebaik yang aku bisa. Tapi mbak-mbak yang kebetulan namanya memang Raline itu hanya melirikku sekilas setelah sebelumnya matanya melebar tak percaya kalau aku adalah istrinya.
“Kamu udah nikah lagi? Sama dia?”
Eits…nadanya kenapa nggak percaya gitu mbak? – gumamku dalam hati.
Aiman cuma cengengesan saat ditanya seperti itu. Buk Rita tiba-tiba berbisik kepadaku setelah sempat tadi berbincang sendiri juga dengan rekannya yang baru ia temui.
“Raline itu naksir banget sama Aiman. Dia anaknya pak Jenderal Agung.”
Wooop! Pantesan aja wajahnya ketekuk begitu, batinku. Wah…kayaknya pak suami ini memang jadi primadona di kepolisian yah?
“Kita serasi, kan?”
“Enggak. Justru kebanting banget,” jawabnya sinis.
Kalau saja ini bukan di acara resmi, mungkin mulutnya itu sudah kujejeli pakai sepatu yang aku pakai ini. Si om sompret juga kebangetan. Bukannya membantah, malah cekikikan puas sekali melihatku dihina.
“Kalau gini sih, masih mending Susan –“
“Ya sudah. Itu penilaian kamu. Aku hargai. Tapi itulah yang terjadi. Mela sudah jadi istriku. Dia nggak bisa dibandingkan sama siapapun bahkan sama kamu dan orang yang kamu sebut tadi. Karena kalian bertiga itu berbeda dan punya sifat dan sikap yang berbeda pula. Saya pilih Mela karena cuma sama dia, saya merasa nyaman,” ungkap Aiman panjang lebar sambil meraih tanganku dan menggenggamnya.
Langsung saja Raline berwajah kusut dan itu amat membuatku puas!
Aku mendongak melihat ekspresi Aiman saat mengatakan hal itu. Dan ternyata dia memang tersenyum sambil menyapa yang lain lagi.
Dan oh ya! Setelah Raline pergi, Aiman tetap tak membiarkan tanganku terlepas darinya. Entah karena alasan apa. Tapi karena perlakuannya ini, aku jadi tidak gugup berada di sini.