Sisi Lain Aiman

1798 Kata
“Hari ini keliling terus anter aku sama Gala. Emangnya nggak ke kantor?” tanyaku pada Aiman yang kini sedang membelokkan mobilnya ke sebuah supermarket terbesar yang ada di daerah sini. “Udah tadi sebelum beli motor,” jawabnya sambil melirikku. “Beli motor udah kayak beli kacang goreng,” gumamku. “Apa?” sahutnya yang kupikir tadi sompret ini tidak mendengar gumamanku. “Enggak kok.” Aiman sudah memarkirkan mobilnya di basement supermarket. Aku dan Gala turun lebih dulu dan Gala sudah heboh menunjuk sebuah arena permainan indoor yang disediakan supermarket terkenal ini. “Kak Mela berani naik itu enggak?” tanya Gala sambil menunjuk roller coaster yang baru saja keluar dari gedung lalu masuk lagi dengan kecepatan tinggi. Aku sebenarnya juga penasaran, tapi kok yah ngeri-ngeri sedap. “Berani sih cuma –“ “Kalau gitu ayok naik kak! Papa nggak mau nemenin Gala naik itu!” Gala merengek ingin naik wahana berbahaya itu padahal umurnya baru lima tahun. Aku melirik Aiman yang pura-pura tidak tahu atau memang tak mau tahu. Bukannya melarang, dia malah mendorongku untuk naik. “Enggak ah! Ngeri gitu. Kamu aja yang naik,” sungutku di tengah-tengah kebisingan. “Jadi preman medan takut juga rupanya,”sindirnya. Aku langsung balas ucapannya dengan tak kalah sinis, “Lah kamu karateka sabuk hitam juga nggak mau naik begituan kan?” Wajah Aiman seperti tertampar olehku. Aku merasa puas sekali karena akhirnya bisa meledeknya. “Oke. Kita naik,” tantangnya. Aku mendelik tak percaya. Gala yang kesenangan setengah mati waktu papanya mengiyakan ajakannya untuk naik semua wahana yang ada di indoor mart terbesar ini. Kami mulai dari naik roller coaster yang lintasannya ini sampai ke luar gedung tadi. Seumur-umur, baru ini aku naik yang seperti ini. Di Medan belum ada. Kalau pun ada letaknya di Micky Holiday dan akupun belum pernah berkunjung di sana. Karena gengsi, Aiman pun menyanggupi permintaan buah hatinya itu. Padahal aku tahu, dia sebenarnya khawatir juga sama keamanannya. “Kak Mel jangan takut dong,”sindir Gala sambil menunjuk kakiku yang sejak tadi terus bergerak. Aiman malah cekikikan melihatku begitu. Yeu si om sompret ini. Padahal tadi niatnya mau belanja kenapa malah ke sini! Roller coaster pun bergerak perlahan. Lintasannya yang naik turun cukup membuat jantung naik turun juga. Apalagi saat kecepatannya ditambah dan berada di lintasan miring, beuh! Mantap betul jantungannya! Aku tidak bisa untuk tidak berteriak saat kami melewati semua itu. Gala tampak santai sekali. Dia sesekali berteriak kencang saat rollernya bergerak miring lalu jungkir balik ketika ada lintasan seperti itu. Kecepatannya cukup lumayan. Ketika sudah keliling berulang kali, barulah aku bisa terbiasa dengan polanya. Sehingga aku sudah tidak takut lagi. Aiman juga sudah terlihat santai setelah sebelumnya cepat berteriak histeris. Kami pun turun setelah roller sudah berkeliling sebanyak lima kali. Gala puas sekali sampai ia melompat-lompat kegirangan. “Seru yah?” “Seru Ma!” Lagi-lagi Gala memanggilku dengan sebutan mama. Tak apalah. Karena tidak disengaja, maka kubiarkan saja. “Yuk kita belanja dulu,” ajak Aiman dan aku menurut saja kemana dia mau pergi. Energy Gala sepertinya terisi full. Padahal sudah lewat jam tidur siangnya tapi dia tampak masih bersemangat mengoceh, berlarian dan manuver-manuver lainnya. Sampai di hypermartnya, Aiman pergi menarik troller untuk diisi segala macam keperluan di dapur. Aku mengekorinya di belakang sambil menjaga Gala. Kalau dilihat lagi, aku malah sudah mirip seperti mbak/pembantu mereka beneran. “Sini Gala aku yang jaga. Kamu pilih aja mau belanja apa.” “Ya udah isi apa aja, aku ngikut.” “Kan kamu yang mau masak, jadi yang paling tahu butuh bahan-bahannya. Jangan-jangan kamu nggak tahu masak yah?” Aku mengeryit mendengar tuduhannya itu. “Kamu jangan salah paham gitu dong. Aku nggak maksa kamu masak makanan yang sempurna. Apa aja yang kamu masak pasti kami makan. Cuma kurang suka makanan yang di order atau catering aja.” Aku terdiam. Ada sedikit rasa sedih mengingat betapa sulitnya Gala besar tanpa seorang ibu. Padahal ibunya ada tapi nak Aiman ini memaksakan diri untuk tidak lekas menikah dan mengambil tanggung jawabnya sendiri. Padahal anak umur segini kan amat butuh perhatian, kasih sayang dan rasa nyaman dari ibunya. Tanpa berpikir dua kali, aku menarik troller dan mulai mengisi keperluan di dapur yang mungkin telah habis. Aiman juga bilang terserah berapa banyak yang penting cukup dan komplit. Untung saja dulu sering bantu ibu jualan sayur matang. Sedikit-sedikit aku tahulah masakan kampung. Bukan steak segala macamnya. Aku mendorong troly ke area ikan dan sayuran. Aku pilih beberapa yang mungkin tahan untuk stok seminggu di freezer. Termasuk sayuran dan sebagainya. “Kalian ada yang alergi makanan enggak?” tanyaku pada Aiman yang ternyata sedang menidurkan Gala dalam pelukannya. Aku terdiam melihat pemandangan ayah dan anak ini. Kenapa ada laki-laki seperti Aiman yang harus dikhianati sih? Eh! Aku ngomong apa tadi? “Ada apa?” tanya Aiman saat dia melihatku sedang memperhatikannya. “Oh itu….Gala tidur?” “Iya.” “Aku tanya kalian ada yang alergi makanan atau apa-apa enggak?” “Uhm Gala nggak bisa makan kacang-kacangan,” tukasnya. Dan aku baru tahu soal itu. “Oh iyakah?” “Huum. Dia bisa sesak napas gitu kalau makan kacang biarpun sedikit.” Aku mengangguk sambil mengingatnya di dalam otakku. Semoga saja aku tidak sampai membuat bocah itu mengalami hal mengerikan itu. Kami lanjut lagi membeli yang lain. Mulai dari sikat gigi, sabun, makanan ringan dan sebagainya. Tak terasa troly pun sudah penuh dengan bahan makanan. “Kamu butuh sesuatu?” Suara Aiman mengejutkanku. Itu karena dia tiba-tiba berbisik di belakangku. Aku menggeleng kemudian mendorong dua troli penuh ke meja kasir. “Aku pake kartu yang mana?” “Mana aja bisa,” jawabnya enteng. Aku pun memilih kartu berwarna biru lalu menghitung belanjaan yang tahu-tahu mencapai harga lima jutaan itu. Padahal uangnya itu uang Aiman, tapi kenapa aku yang merasa bersalah? Aiman selesai meletakkan Gala ke dalam mobil. Setelah itu ia buru-buru membantuku membawa barang belanjaan yang sampai memenuhi mobil APVnya. “Kenapa bengong? Ada yang ketinggalan?” “Ini nggak kebanyakan yah nolnya?” Aku masih meringis melihat jumlah uang yang dibayarkan tadi. Aiman mengacak rambutku setelah ia menutup pintu belakang mobilnya. “Udah nggak usah dipikirin. Kita mesti cepet nih, kayaknya udah mau hujan. Ntar macet.” Dan benar saja, baru keluar dari supermarket kami sudah kejebak oleh hujan. Belum lagi jalanan macet karena ini jamnya orang-orang pulang kerja dan aktifitas lainnya. Aku benar-benar mati kutu di jalanan sampai ponsel Aiman berdering mengejutkanku. Tapi Aiman abaikan dan malah membuat mode silent saat ada panggilan masuk lagi. Aku meliriknya secara diam-diam. Aku terkejut karena lagi-lagi Susan menelpon. Itu janda kegatelan apa gimana sih? “Kok nggak kamu angkat?” “Gala udah tidur.” “Apa hubungannya?” “Kalau Gala bangun ya aku kasih ke Gala biar dia ngomong sama Gala aja. Kalau nggak ada Gala, aku nggak mau ngobrol sama dia.” Wah…diam-diam ternyata Aiman orang yang pendendam yah. “Kalian kan masih berhubungan baik. Kalau memang nggak ada apa-apa lagi yah pasti nggak ada perasaan apapun, ya kan?” selorohku, sok tahu. Aiman yang mendengar itu malah melirikku dengan tatapan tak suka. Entahlah itu tatapan seperti apa. Yang aku lihat Aiman menyipitkan matanya, garang. “Mana ada hubungan antara pria dan perempuan tanpa ada perasaan apa-apa.” “Ada! Kayak kita, kan?” sahutku. Aiman terdiam lagi. Waktu di lampu merah, Aiman tengah memperhatikan sesuatu dengan serius di luar. Lebih tepatnya dia melirik ke arah jendelaku. Aku pikir dia tengah menatapku, ternyata tengah memantau orang yang kehujanan di luar sana sambil melambaikan tangannya meminta pertolongan. Aiman membuka jendela mobil yang ada di sampingku, setelahnya ia melepas safety beltnya lalu menengadahkan tubuhny ke jendela. Otomatis aku bersandar ke kursi dengan pemandangan wajah Aiman yang terlampau dekat itu. Aku bahkan bisa mencium aroma sampo dan parfumnya dari sini. Bahkan rambut-rambut halus di tengkuk lehernya. Astaga! Aku meneguk ludah karena Aiman begitu wangi. “Kenapa pak? Kok hujan-hujanan?” tanya Aiman pada seorang bapak-bapak yang berteduh di bawah pohon bersama istrinya. Bapak itu mengusap tangannya sambil mendekat ke arah mobil. Kelihatannya bapak itu seorang pemulung. Di belakangnya ada gerobak berisi barang rongsokannya dan di dalam sana anak seorang anak yang sedang terbaring sambil menekuk lutut. Seketika aku ingin menangis melihat pemandangan itu. “Anak saya sakit pak. Sudah dua hari kami di sini. Mau ke rumah sakit, tapi saya nggak punya uang.” “MasyaAllah bapak,” ucapku sambil menangis. Aiman segera menjauhkan tubuhnya dariku dan langsung keluar dari mobil. Sebentar lagi lampu akan berubah hijau, Aiman cepat-cepat meminta bapak tersebut untuk naik. “Ayo pak saya antar ke rumah sakit! Bawa anaknya ke dalam. Mela! Tolong pindahin Gala.” “Iya!” Aiman masuk dan memindahkan Gala ke depan bersamaku. Si bapak kemudian masuk sambil menggendong anaknya. Lampu sudah berubah hijau dan beberapa mobil mulai membunyikan klakson mereka tak sabar. Aiman tetap santai dan tenang. Dalam keadaan basah kuyup, Aiman masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya. Mobilnya juga berubah menjadi bunyi sirine polisi. Karena itu, kami bisa menerobos kemacetan dengan memanfaatkan sirine tersebut. Hasilnya, kami sampai di rumah sakit dengan cepat. Anak bapak itupun ditangani dengan baik oleh petugas rumah sakit dan tertolong. Aku dan juga Aiman amat lega mendengarnya. Dan lagi, Aiman juga memproses semua biaya pengobatannya hingga anak itu keluar dari rumah sakit. Setelah menemani anaknya, bapak pemulung itu amat berterima kasih kepada kami. Beliau bahkan ingin berlutut pada Aiman untuk mengekspresikan rasa syukurnya, tapi Aiman menolaknya karena merasa tidak pantas. Suasana mengharukan ini aku pikir cuma ada di tv saja. Ternyata suamiku orang yang baik begini. Eh tadi aku bilang apa? suamiku? Hih! “Terima kasih pak. Saya nggak akan pernah lupain kebaikan bapak ini pak, bahkan sampai saya mati nanti,” tuturnya sambil berurai airmata. “Ini semua karena ada campur tangan Allah, pak. Saya dan bapak dipertemukan. Nanti kalau urusannya sudah selesai, tolong hubungi saya ke nomor ini ya pak,” ungkap Aiman sambil memberikan kartu namanya. Bapak itu menerima pesan dari Aiman dan beberapa uang pegangan selama bapak itu berada di rumah sakit. Kamipun terpaksa pulang karena urusan di sana sudah selesai. Untuk pertama kalinya, aku melihat Aiman begitu keren. Aku tidak bisa berkata-kata melihat kemuliaannya kali ini. “Jangan liatin saya terus Mel, nanti kamu naksir,” selorohnya yang langsung membuat respectku menjadi lenyap. “Naksir itu apa, Pa?” tanya Gala yang sejak tadi sudah bangun dari tidurnya dan kini sedang duduk dipangkuanku. Aiman tampak sedang memikirkan jawabannya. Aku rasa jawaban yang bisa ditangkap oleh anak-anak seperti Gala. “Naksir itu suka sama seseorang. Biasanya jantungnya itu jedag-jedug gitu.” Gala mendongak ke arahku. Aku tidak tahu apa yang sedang dilihat anak dariku. Apa ada upil nyangkut kah di hidungku? “Kayak kak Mela dong, Pa. Daritadi terus jedag-jedug,” ocehnya yang langsung membuatku mati kutu. Lagi…anak ini…kenapa lemes banget sih omongannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN