Diantar Pulang

1143 Kata
Tubuh Moza seketika terhempas duduk di kursi.  Antara kikuk dan gugup mengaduk-aduk perasaannya.  Tak disangka, dunia rasanya sesempit daun kelor.  Dari ujung sana ke ujung sini, Moza kembali dipertemukan dengan pria yang pernah menolongnya itu.  Iya, pria yang dikagumi oleh Caca.  Mati-matian Caca mengagungkan ketampanan Musa setiap kali topik pembicaraan menyinggung mengenai cowok. Dan… Pandangan Moza tertuju ke wajah Musa.  Memang benar apa kata Caca, wajah itu tampan sekali.  Dengan hidung mancung dan bibir tipis serta paduan kulit putih membuat pria itu tampak sempurna.  ditambah rahang kokoh dan netra warna biru khas keturunan Belanda, Musa sempurna menjadi pria ganteng. “Halo!” sapa Musa dengan manik mata berputar.  Senyum tipis tercetak di wajah tampan itu.  Tampak agak kaku.  Entah apa yang ada di pikiran pria itu saat melihat bahwa gadis yang akan bertunangan dengannya adalah bocah SMA yang pernah dia temui. “Ha halo…” balas Moza gugup.  Begini rasanya saat harus dihadapkan dengan pria yang akan menyandang sebagai tunangannya.  Padahal sebelumnya, Moza bersikap biasa saja saat bertemu Musa.  Justru Caca lah yang tampak antusias terhadap Musa.  Tapi kini, saat Musa dinobatkan menjadi calon tunangannya, tiba-tiba suhu tubuh Moza menjadi panas dingin begini. “Kenalkan, ini Musa Al Fath, anak tante,” ucap Casilda mengenalkan putranya.  “Dan Musa, ini Moza.” Keduanya hanya bertukar pandang.  Musa secepatnya mengalihkan pandangan.  Menatap pelayan yang menyajikan minuman.  Pria itu langsung meneguk minumannya untuk membasahi bibirnya yang kering. Berbeda dengan Moza yang hanya diam bagaikan patung.  Suasana mendadak kaku, menegangkan.  Kikuk sekali.   “Jadi begini, seperti yang sudah tante jelaskan, bahwa kalian memang harus bertunangan.  Itulah wasiat yang disampaikan ibunya Moza kepada Tante.  Tapi mungkin pesan itu belum sampai kepada Moza karena Tuhan begitu cepat memanggil ibumu.  Jadi sekarang bagaimana?  Kalian mau kan bertunangan?” Casilda menatap Moza dan Musa silih berganti. “Beri waktu untuk aku dan Moza berpikir, Ma.”  Musa angkat bicara.  “Moza tentu tidak akan berpikir singkat.  Begitu juga dengan aku.” “Mama percaya padamu Musa, juga kepada Moza.  Moza itu keturunan orang baik-baik, pastilah dia tidak akan mengecewakan kamu.  Mama percaya pada kalian berdua.”  Casilda tersenyum. Bahkan Moza hanya bisa diam.  Dia harus jawab apa?  Ia tidak bisa bertukar pikiran dengan siapa pun.  Ibu dan ayahnya sudah tiada.  Ia hanya percaya pada Casilda saat ini.  wanita itu adalah teman ibunya, anggap saja menggantikan posisi ibunya. “Moza, kamu mau kan bertunangan dengan Musa?” tanya Casilda. Ditatap seperti ini, Moza seperti mendapat desakan dari dalam diri Casilda.  Kepalanya mengangguk tanpa permisi. “Dan kamu Musa, bagaimana?” Casilda menatap mata cokelat Musa. Pria itu menghela nafas.  Memutar mata sesaat setelah melirik ke arah Moza.  “Aku… Aku butuh waktu, Mama.”  Sontak Moza menggigit bibir mendengar jawaban Musa.  Mungkinkah pria itu tidak menyukainya?  Wajar saja, ia bukan primadona, bukan artis, juga bukan siapa-siapa.  Hanya gadis biasa yang tidak punya apa-apa. Bahkan kini ia pun menumpang di rumah lain milik Casilda.   “Jangan dipaksain, Tan.” Moza melirik Musa.  Lalu memalingkan pandangan saat pria itu juga menatap ke arahnya. “Bukan maksain.  Jadi sebenarnya pertunangan ini maksudnya untuk mengikat hubungan kalian berdua.  Supaya kalian bisa jaga jarak dengan lawan jenis dan menjaga hati untuk sang tunangan, hingga sampai waktu yang ditentukan untuk menghalalkan hubungan kalian.  Setidaknya jarak waktu pertunangan menuju ke pernikahan selama empat tahun.”  Casilda tersenyum lebar mengawasi wajah-wajah tegang di hadapannya. “Aku mengerti maksud pertunangan ini.  Tentunya supaya kami ada ikatan dan menjaga status ini sampai hari yang ditentukan.  Tapi aku harus berpikir dulu, Ma.”  Musa teguh pada pendiriannya. Casilda masih tetap tersenyum.  “Baiklah.  Mikirnya jangan lama-lama ya.  kalau begitu mama tinggal dulu.  Soalnya mama ada meeting di kantor.”  Casilda lalu menatap Moza.  “Moza, maaf Tante tinggal ya.  Kamu nanti diantarin Musa aja pulangnya.  Tante ini pegang bisnis besar, jadi sibuk bawaannya.”  Casilda meninggalkan meja. Tinggal lah Musa dan Moza yang duduk bersisian di kursi itu. Moza menarik gelasnya supaya lebih dekat.  Lalu mengangkatnya hendak meminumnya. Byur! Entah bagaimana tangan Moza bisa sampai terasa gemetar saat mengangkat gelas.  Bajunya basah dan ia cepat-cepat menggerakkan kursi ke belakang supaya air yang berserak di meja tidak menjatuhi roknya. Aduh, ini bagaimana sih?  Kok, bisa begini?  Malu-maluin aja?  Moza mengutuki dirinya sendiri. “Biar aku bersihkan!” Musa mengambil tisu dan mengelap baju yang kotor pada bagian perut Moza. “Enggak apa-apa.  Aku bisa bersihin sendiri.”  Moza meraih tisu dan membersihkan bajunya sendiri. “Kamu bisa ke toilet untuk membersihkan baju mu itu,” ucap Musa. “Ah, enggak.  Aku pulang aja, deh.”  Moza meraih tas kecil miliknya dan menggantungkan ke pundak. “Biar aku antar,” ucap Musa. “Makasih.  Kamu nggak usah ikuti kata-kata Tante Casilda tadi, aku bisa pulang sendiri, kok.” “Aku mengantar kamu pulang bukan berdasarkan perintah mama, tapi karena kemauan ku sendiri.”  Musa melangkah meninggalkan meja.  Tak lama ia menoleh saat menyadari gadis di belakangnya itu tidak mengikutinya, malah berdiri diam saja di dekat meja. “Halo… Apa yang kamu pikirkan.  Ayo!” ajak Musa. Moza melangkah dengan ragu, mengikuti Musa keluar.  Mereka menuju ke parkiran. Musa menghampiri sebuah motor gede, motor yang tempo hari ditunggangi pria itu saat bertemu dengan Moza.  Pria itu mengenakan helm. Moza meraih helm yang diberikan kepadanya.  Ia masih berdiam diri saat mesin motor sudah berbunyi dan helm sudah terpasang di kepalanya. “Ayo!” Musa menaikkan alis. Moza pun meraih lengan Musa saat memanjat motor itu.  motornya sangat tinggi sehingga butuh pegangan saat hendak naik.  Ini adalah pertama kalinya Moza membonceng motor laki-laki.  Rasanya aneh. Motor mulai bergerak pelan meninggalkan halaman kafe.  Kemudian mulai melaju saat berada di jalan raya. Moza memberi jarak pada duduknya supaya permukaan tubuhnya tidak menempel di punggung Musa, kedua tangannya terhempas di udara, tanpa berpegangan. Tiba-tiba tubuh Moza terayun ke depan saat Musa mengerem untuk menghindari kendaraan lain yang mendahuluinya. Moza menggigit bibir bawah merasakan permukaan tubuhnya menempel sempurna di punggung Musa.  Pria di depannya itu hanya menoleh sekilas dan kembali melajukan motornya.  Tak lama Musa membuka kaca helmnya dan menoleh ke arah Moza.   “Pegangan!” titah pria itu agak keras supaya suaranya didengar oleh Moza.  Butuh suara agak keras saat berkendara begini, sebab suaranya terbawa angin. Agak ragu, Moza memegang pinggang Musa.  Ah, perasaannya makin tak karuan.  Ia tidak terbiasa dekat dengan laki-laki.  Dan inilah kali pertamanya.  Mungkin itulah sebabnya kenapa ia jadi gugup begini. Tidak ada perbincangan diantara mereka hingga akhirnya mereka sampai di depan kediaman Moza. “Makasih!” ucap Moza sambil menyerahkan helm. “Iya.  Kalau ada apa-apa, kamu hubungi aku aja.  Mana ponsel mu?”  Musa menjulurkan telapak tangannya. Tanpa berpikir panjang, Moza menyerahkan ponselnya seperti orang terhipnotis. Musa mengetik sesuatu di ponsel milik Moza. “Itu nomer hape ku.  Hubungi aku  aja kalau kamu butuh sesuatu.”  Musa menutup kaca helm nya kembali.  Moza mengawasi ban motor Musa hingga menghilang dari pandangan.   * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN