Pemberitaan di televisi mengatakan bahwa fenomena alam yang terjadi di persawahan kampung Damai merupakan bencana alam, namun selanjutnya ada pro kontra mengenai alasan terjadinya fenomena alam tersebut, sebagian orang berkelas dan berpendidikan tinggi lainnya beranggapan kalau itu adalah bagian dari efek pembuangan lumpur yang berasal dari pabrik Trinika.
Sempat dilakukan penyelidikan atas amblasnya tanah persawahan tersebut, namun tiba-tiba penyelidikan terhenti, tidak tahu apa sebabnya. Pun tidak ada lagi pemberitaan mengenai lumpur berikut amblasnya tanah persawahan. Seakan-akan kejadian itu terlupakan atau bahkan sengaja dihapuskan supaya tidak ada orang yang mengingatnya.
Beberapa kali Moza ziarah ke pemakaman keluarganya dengan mengendarai motor sendirian, mendoakan tiga orang yang sangat ia sayangi. Rumah yang ia tempati sekarang berada di pusat kota, jaraknya lumayan jauh dengan kampungnya.
Sudah satu bulan sejak tragedi itu.
Moza menjalani hari-hari sendirian.
Pagi itu, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Moza yang sudah mengenakan seragam sekolah, bergegas membuka pintu. Tampak dua orang berpakaian rapi, dengan jas dipadu dasi warna senada, berdiri di depan pintu. Mereka tersenyum ramah sembari menganggukkan kepala.
"Kenalkan saya Anggara, pengacara perusahaan Trinika. Maksud kedatangan kami kemari adalah untuk mengucapkan bela sungkawa." Salah seorang berucap dengan nada berwibawa.
“Saya dengar Dik Moza adalah satu-satunya korban yang masih hidup dari amblasnya tanah persawahan itu,” sambung pria muda itu. usianya sepertinya kisaran 34 tahun. “Jadi, saya mewakili dari perusahaan Trinika, ingin memberikan surat-surat ini. Silakan Dik Moza untuk dibaca-baca dulu.”
Meski bingung, Moza membaca isi surat tersebut. Panjang sekali, dan sulit dimengerti. Moza hanya membaca poin-poin pentingnya saja.
“Sebenarnya peristiwa amblasnya tanah berikut lumpur yang menggenangi rumah Dik Moza adalah murni bencana alam, tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan Trinika yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi migas. Namun karena ada banyak pihak yang mengaitkan antara peristiwa itu dengan perusahaan Trinika, maka saya mewakili perusahaan Trinika untuk memberikan sumbangan kepada Dik Moza. Sebenarnya ini nilainya murni sebagai sumbangan untuk menolong, tidak ada kaitan dengan perumahan mu. Intinya, kami hanya ingin membantu Dik Moza supaya kehidupannya lebih baik setelah ditinggal keluarga. Bahkan bukan hanya kami, mungkin di luaran sana juga banyak orang yang bersimpati dan ingin membantu Dik Moza. Inilah realitanya.”
Moza benar-benar masih bingung, tidak mengerti dengan apa yang harus dilakukan. Pemahamannya sangat jauh dengan hal-hal hukum, selama hidupnya juga tidak tertarik dengan bidang itu. dia bahkan masih terlalu kecil untuk memahami situasinya.
“Ayo, silakan ditanda tangani,” pinta Anggara. “Setelah ini kami juga ada urusan yang harus segera diselesaikan.”
Moza lalu menandatangani surat itu.
“Tulis nomer rekening Dik Moza di sini, saya akan kirimkan uang untuk Dik Moza.” Pria itu menunjuk kertas kosong.
Moza menuruti saja.
Tak lama mereka bergegas pergi.
Baru saja Moza menutup pintu hendak pergi ke sekolah, ia dikejutkan oleh kedatangan Casilda. Wanita yang selalu berpenampilan anggun itu, tersenyum mendekati Moza.
“Udah mau berangkat ke sekolah?” Tanya Casilda diiringi seulas senyum tipis.
Moza mengangguk. Kali ini raut wajahnya sudah lebih cerah dibanding sebelumnya. Dia harus bangkit dari keterpurukan, hidupnya masih harus terus berjalan.
“Moza, Tante mau bicara sesuatu.”
“Ya, Tan? Apa?”
“Kamu hidup sendiri, tidak ada siapa-siapa bersamamu. Jika ada orang yang menjagamu, Tante pasti tenang. Dan Tante ingin kamu menjadi bagian di hidup Tante. Sebenarnya sudah sejak lama Tante dan ibumu ingin menjadi lebih dekat. Kamu mau kan bertunangan dengan anak Tante?”
Pertanyaan itu membuat Moza terkesiap.
“Plis, jangan tolak keinginan Tante. Ini sebenarnya sudah dibicarakan sejak lama antara Tante dan ibumu. Tolong, wujudkan keinginan ibumu untuk bisa membuat putra Tante menjadi bagian hidupmu,” sambung Casilda. “Tenang aja, anak Tante baik, kok. Kamu pasti suka.”
“Ibu pernah membicarakan ini sebelumnya ya, Tan?”
“Iya.” Casilda mengangguk mantap.
Moza sebenarnya ingin menolak, namun mengingat Casilda menyebut-nyebut ibunya dalam hal ini, lidahnya berat untuk berkata tidak. Dan entah kenapa kepalanya mengangguk tanpa permisi. Entah ini wujud dari kepatuhannya terhadap ibunya, atau karena rasa segan jika menolak permintaan orang yang sudah banyak membantunya. Entahlah… Yang jelas ada banyak desakan di kepalanya yang memaksa mengangguk tanpa sadar.
***
“Ayo!” ajak Casilda menganggukkan kepala ke arah Moza yang bengong sesaat setelah turun dari mobil.
Perasaan Moza mendadak tidak nyaman saat harus memasuki kafe dan di dalam sana sudah ada calon tunangan yang menunggunya. Ia tadi dijemput Casilda, mereka naik mobil.
Moza mengikuti Casilda memasuki kafe.
“Nah, di sana!” Casilda menunjuk sebuah meja. Di sana sudah ada sosok pria berkemeja hitam, duduk membelakangi.
Perasaan aneh kian menyambar-nyambar dalam benak Moza saat melangkah mendekati meja. Ia menarik kursi dan melirik sosok pria yang duduk dengan satu kaki terlipat di atas paha. Pandangan pria itu menunduk ke arah ponsel di tangannya.
Saat pria itu mengangkat wajah, Moza terkejut menatap wajah itu. Musa Al Fath.