Bab 38. Diracuni?

1052 Kata
Urusan dengan Gladis sudah terselaikan. Gladis sudah meminta maaf kepada Abira dan berjanji tidak akan mengulah lagi. Kalau Gladis ada ide, dia pasti akan mendiskusikannya dengan ABira terlebih dahulu. Tidak seperti kemarin malam, langsung bertindak gegabah. Dari situ Gladis sadar bahwa dia-lah yang justru bertindak gegabah tanpa berpikir matang-matang terlebih dahulu. Prakteknya, Abira yang selalu melakukan itu. Namun, nyatanya, Gladis-lah yang seperti itu. Untung saja Raka tidak bereaksi yang bukan diharapkan. Kalau sampai itu terjadi, mungkin antara Abira dan Gladis bisa jadi ada jarak sekarang ini. Pukul Sembilan pagi, Abira memeluk Gladis tiba-tiba, membuat Gladis kebingungan. “Lo kenapa?” tanya Gladis. Dia belum membalas pelukan Abira. “Makasih, ya, Dis. Berkat lo gue dan Raka jadi deket.” Gladis melepaskan tangan Abira dari tubuhnya, menatap tidak percaya wajah sahabatnya. Apa yang dia katakana barusan? Abira dan Raka sudah dekat? Abira mengangguk cepat. “Gue kira Raka bakalan marah dan semakin jaga jarak sama gue. Gue sendiri sampai hampir gak percaya kalo Raka justru bakal ngajakin gue ketemu ibunya.” Gladis menarik tangan Abira, mengajaknya duduk di tempat tidur untuk melanjutkan cerita. “Ibu Pak Raka? Emang kenapa ibunya?” “Ibunya Raka koma, Dis. Udah sepuluh tahun.” “Innalillahi.” Gladis menutup mulutnya shock. “Gue bisa ngeliat gimana putus asanya Raka di rumah sakit kemarin, Dis. Kita sama-sama pernah kehilangan, kan? Tapi, gue rasa penderitaan Raka lebih sakit. Ibunya terbaring di rumah sakit sepuluh tahun, dan … Raka cuman bisa bolak-balik, pegang tangan ibunya, bicara sendiri tanpa ada yang menjawab. Lo bayangin gimana sakitnya Raka.” Abira menghela napas. “Ternyata bener, ya. Gak semua yang luarnya keliatan kuat, happy, bebas dari yang namanya masalah. Seumur hidup, gue gak pernah nyobain tuh yang namanya pura-pura kuat, pura-pura bahagia. Gue gak pernah nyoba itu, Dis. Gue selalu mengekspresikan apa yang gue rasain. Gue gak suka sama orang, gue langsung bilang ke orangnya. Gue sedih, gue nangis. Gue happy, gue bakal mengekspresikan senangnya gue detik itu juga. Sekarang, gue paham kenapa Raka—” Ponsel Abira berdering. “Halo?” “…” Gladis menatap Abira seolah bertanya; siapa? Abira menggeleng tidak tahu. Tidak ada suara seseorang di seberang sana. “Halo?” ulang Abira. Dia menyalakan fitur loudspeaker. “Ra, Abira, tolong gue.” Abira dan Gladis langsung bertukar pandang. Suara itu … suara yang sangat familiar di telinga mereka. Suara seperti orang yang tengah dalam kesulitan. Itu suara Doni. “Lo kenapa, Don? Lo di mana?” Bukan Abira yang bertanya barusan, melainkan Gladis. “Gue di rumah sakit.” Tut … Tut. Sambungan telepon terputus. __00__ Rio memukul bahu Doni sambil tertawa. Fadli dan Bagas juga ikut tertawa. Hanya Erika seorang yang duduk di sofa, melipat kedua tangannya di d**a, menatap tiga laki-laki yang tengah tertawa, sedangkan menurut Erika tidak ada yang lucu sama sekali. Erika menggeleng tidak mengerti. Dia meminum jus jeruknya. Hari ini adalah hari di mana Doni dan tiga sahabatnya serta Erika menjalankan rencana mereka untuk membantu Doni agar bisa balikan dengan Abira. Kalau boleh jujur, sebenarnya semakin ke sini Doni semakin ragu kalau rencananya bakal berhasil. Waktu rencana pertama kali diberitahukan Rio waktu itu, rasanya seperti sangat meyakinkan. Namun, sekarang, tiba-tiba saja rasa yakin Doni menurun. Jujur, Doni sama sekali tidak tertarik untuk menjalankan rencana itu sebenarnya. Persetan dengan semua fasilitasnya yang bakalan ditarik mamanya jika Doni tidak berhasil balikan dengan Abira. Setelah bertemu langsung dengan Sinta—temannya Putri. Doni yang semula menyatakan bahwa dia punya dua pekerjaan, meyakinkan dirinya bahwa tugasnya hanya satu. Mencari tahu apa yang sedang Putri rencanakan. Karena melihat Doni tidak tertawa, Rio kembali memukul bahu Doni. “Lo kok diem aja, Bro?” Doni tersenyum kecut. Dia menggeleng samar. “Gue gak yakin Abira bakalan mau balik sama gue, Yo.” Erika menjentikkan jarinya. “Gue setuju. Rencana lo setelah gue pikir-pikir ternyata gak ada keren-kerennya, Yo. Freak banget malah!” Rio tidak setuju. Juga menurutnya Erika dan Doni sangat tidak konsisten. Kenapa saat waktunya tiba, mereka baru mengatakan hal tersebut. Sekarang lihat, Abira sudah dihubungi dan seharusnya mereka sudah bergerak ke rumah sakit sekarang. Dita—mamanya Doni pasti sudah sampai di sana. “Oke, oke. Kali ini kita coba aja dulu. Ntar kalo gagal, kita rencanain yang baru. Gimana?” Bagas dan Fadli mengangguk setuju. Doni menatap wajah Erika, menunggu jawabannya. “Gue nggak deh. Cukup sekali aja gue mau ngelakuin ini. Besok-besok nggak.” Doni setuju. Dia keluar dari rumah Rio, hendak masuk ke mobilnya. Erika mengikuti. Sampai di rumah sakit, Dita sudah siap sedia di ruangan pasien. Dengan atribut lengkap seperti orang yang baru saja diracuni, seperti itulah penampilan Dita sekarang. Awalnya ibu satu anak itu menolak saat Doni meminta bantuannya. Namun, setelah tahu kalau rencana itu dimaksudkan untuk membuat anaknya dan Abira balikan, Dita pun langsung setuju. Di parkiran rumah sakit, Bagas dan Fadli bertindak sebagai pemberi kode saat melihat Abira sampai di rumah sakit. “Oke. Lo acak-acakin deh rambut lo, Ka,” titah Rio yang dibalas anggukan oleh Erika. Ponsel Rio berdering. Panggilan masuk dari Bagas. Bagas memberitahukan bahwa Abira sudah sampai di rumah sakit bersama Gladis. Rio langsung menyuruh merek untuk bersiap-siap. __00__ Abira berjalan cepat mendatangi pusat informasi, menyebutkan nama Dita. Saat di perjalanan, Doni mengirimkan pesan bahwa ibunya sedang dirawat di rumah sakit dalam kondisi kritis, karena diracuni oleh Erika. Setelah suster yang bertugas di pusat informasi memberitahukan di ruangan berapa mamanya Doni dirawat, mereka berdua bergegas menuju ke sana. Abira membuka pintu ruangan. Terlihat Erika dengan rambut acak-acakan, wajah babak belur terduduk di lantai sambil menyatukan kedua telapak tangannya, meminta ampunan Doni. Alih-alih membantu Erika berdiri, Doni justru menendang tubuh Erika. Dengan sigap, Abira berlari, menahan kaki Doni menyentuh tubuh Erika. “Stop!” Gladis menarik tubuh Doni ke belakang, menjauh dari Erika. Saat itu juga Doni masuk ke dalam ruangan, mengambil alih memeluk Doni, menariknya mundur. “Lepasin gue. Cewek anjing itu gak pantes hidup!” Rio kewalahan menahan tubuh Doni. Harus Rio akui, akting Doni patut diacungi jempol. Totalitas sekali! “Lo gak papa, kan?” tanya Abira. Dipegangnya wajah Erika. Sudut bibir berdarah, daerah sekitar mata biru, juga benjolan di dahi. Erika menggeleng. Dibantu Abira, dia berusaha berdiri. “Gila lo, ya!” bentak Abira sambil menunjuk Raka. Gladis langsung berdiri di samping Abira, berusaha menenangkan. “Udah, Ra. Ini bukan urusan kita.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN