Bab 39. Bukan Orang Bodoh

1013 Kata
Sudut bibir Abira terangkat kemudian berdecak. "Gue bukan orang bodoh, Don. Lo pasti ngerencanain ini biar gue terbawa suasana, terus mau balikan sama lo. Ya, kan?" Abira menarik napas. "Tante, udah bisa bangun kok. Kasian tiduran mulu." Dita yang disebut namanya membuka mata. Dia beranjak duduk sembari melepas selang-selang yang menempel di tangan dan hidungnya. "Ra, kamu emang gak bisa balikan sama anak Tante lagi, ya?" tanya Dita tanpa terlihat di sana wajah bersalah sekali pun. Abira tersenyum tidak menyangka. Abira tidak pernah membayangkan kalau Dita yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang baik, tiba-tiba bisa saja dibodohi anaknya. Abira tidak akan terkecoh. Dia justru merasa bodoh saat menerima telepon dari Doni tadi yang memberitahukan kalau dia di rumah sakit lalu buru-buru datang. Setelah tahu bahwa itu hanya rencananya saja, sungguh Abira hendak menertawakan dirinya saat itu juga. Bolehlah, akting Doni lumayan bagus. Apalagi saat berakting menendang Erika. Pertanyaan Dita dibalas gelengan kepala oleh Abira. "Maaf, Tante. Abira gak bisa balikan sama anak tante. Abira pamit." Gadis dua puluh tahun itu pergi meninggalkan ruangan, berjalan keluar. __00__ "Terima kasih, ya, Bu Nadira. Maaf kalau saya terlalu sering ngerepotin," ujar Raka kikuk sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Nadira menggeleng. "Sama-sama, Pak. Bapak gak usah sungkan. Saya seneng kok bisa jagain Vika. Kan, Vika udah saya anggap adik sendiri." Mereka berdua tertawa. "Ya sudah. Saya pamit ya, Pak. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Raka sangat berterima kasih kepada Nadira karena sudah hadir di tengah-tengah mereka—Raka dan Vika. Saat pulang dari rumah sakit, Nadira dan Vika sedang sarapan pagi saat itu. Nadira memasakkan nasi goreng seafood untuk Vika. Saat Raka mengecek tong sampah di dapur, sudah kosong. Nadira sudah mengeluarkan sampah ke depan rumah untuk diambil oleh petugas kebersihan kompleks. Padahal, Raka hanya meminta tolong padanya untuk menjaga Vika saja. Tapi, Nadira juga membantu pekerjaan rumah. Itu lebih dari apa yang Raka butuhkan. "Mas, tadi Vika liat ini di meja Mas." Vika mengangkat amplop putih yang bertuliskan di pokoknya RS. Bunda. Mata Raka langsung membesar seketika. "Kamu udah baca?" tanya Raka dengan suara bergetar.  Vika mengangguk. "Udah, Mas. Mas punya temen namanya Aisyah Maharani, ya? Mirip banget sama nama Mama." Raka merasa kesulitan menelan salivanya. Entah kenapa rasanya untuk mengiyakan pertanyaan Vika barusan, terasa berat sekali untuk dilakukan. Vika sudah berusia 14 tahun sekarang. Dia sudah cukup besar untuk mengetahui bahwa itu adalah laporan medis dari dr. Nirmala tentang kondisi mama mereka. Raka mengepalkan tangannya sebelah kiri. Tampaknya sudah waktunya bagi Vika untuk tahu hal yang sebenarnya. Ya, dia harus tahu kalau mamanya masih hidup sampai sekarang. Vika berjalan ke dapur, membuka kulkas, mengambil sebuah apel dari dalam sana. "Vika." Vika menolah. "Ya, Mas?" "Maafin, Mas, ya." Vika menutup kulkas, menggigit apel yang diambilnya sambil berjalan menghampiri Mas-nya. "Maaf? Mas minta maaf buat apa?" "Sebenarnya…." Vika tersenyum, tapi, air mata mengalir bebas dari matanya. Cepat-cepat Vika mengelap dengan sikunya. "Mas gak perlu minta maaf. Vika paham kok kenapa Mas ngelakuin itu." Raka kaget mendengar apa yang Vika katakan barusan. Jadi, dia sudah tahu kalau— "Vika udah tau kalau Mas ngerahasian ini dari Vika." Raka seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Vika sudah tahu? Sejak kapan? "Mas sering bolak-balik ke rumah sakit. Vika sering liat tagihan pembayaran dari Rumah Sakit Bunda. Karena penasaran, Vika dateng ke rumah sakit itu. Awalnya dr. Nirmala gak mau kasih tau. Tapi, karena Vika desak terus, akhirnya dr. Nirmala kasih tau kalau Mama masih hidup." "Jadi, dr. Nirmala—" "Iya, Mas. Mas gak usah marah sama dr. Nirmala, ya. Vika yang paksa dr. Nirmala buat kasih tau." Vika mendekatkan tubuhnya dengan Raka, kemudian memeluk Raka. "Mama bisa sadar lagi kan, Mas?" Air mata keluar deras. Vika merasa sesak luar biasa di ulu hatinya. Dia paham kenapa Raka merahasiakan kalau mamanya masih hidup. Dulu, saat kecelakaan itu terjadi, kehilangan sosok papa saja sudah membuat Vika merasa sangat kehilangan. Waktu itu Vika masih berusia 4 tahun. Seiring berjalannya waktu, Vika masuk SD. Di sana, melihat anak-anak seusianya yang diantar-jemput orang tua mereka membuat Vika merasa iri. Tak jarang, Vika menangis di kamarnya karena juga menginginkan hal serupa—diantar-jemput orang tua. Seiring bertambah usia pula, Vika mengetahui sebuah hal besar. Yang mungkin saja itu belum sepantasnya dipahami oleh anak yang belum merasakan sweet seventeen. Ternyata, tujuan di balik Mas-nya merahasiakan itu adalah untuk mencegah musuh tahu kalau mama mereka masih hidup. Vika juga tahu kalau kecelakaan sepuluh tahun lalu sudah direncanakan, bukan terjadi begitu saja. Raka mengelus ujung kepala Vika, kemudian mengecupnya. Dia juga tak sanggup menahan air matanya untuk tidak lolos dari kelopak matanya. Sungguh, hatinya terasa seperti terbakar. Juga ada rasa bersalah di sana. Harus Raka akui, adiknya cukup bijak di usia empat belas tahun itu. Tidak akan lupa Raka bersyukur kepada Sang Pencipta atas karunia-Nya. Dianugerahi adik sebagai Vika sungguh karunia yang luar biasa. Kepekaannya membuat Raka sampai speechless. Harus dia akui, untuk anak usia 14 tahun, Vika berbeda dari anak-anak seusianya. Vika melonggarkan pelukannya. Dia melihat Mas-nya menangis. "Mas, ih, hapus dong air matanya." Vika terkekeh dengan mata yang juga masih berair. Raka ikut terkekeh. Diusapnya air matanya menggunakan tangan. Terakhir, Raka mengecup lagi kening adiknya. "Mas, Vika mau ketemu Ibu," ujar Vika sendu. Dia bukan belum pernah bertemu ibunya. Tapi, secara resmi tanpa harus ketahuan, itu yang belum pernah. Selama ini, Vika diam-diam agar Raka jangan sampai tahu. "Ya udah ayo. Kamu siap-siap, terus kita langsung berangkat." "Asyik!" seru Vika gembira sekali. Dia buru-buru naik ke kamarnya, mengganti pakaian. Karena ini adalah kali pertamanya resmi bertemu ibunya tanpa sembunyi-sembunyi dari Raka, Vika pun mencari baju terbaiknya. Pilihannya jatuh pada gamis merah maroon. Dipadukan hijab hitam. Gadis setinggi 140 CM itu nampak anggun. Pakaian sudah dikenakan. Vika memutar badannya. Dia melihat pantulan tubuhnya di cermin sekali lagi, memastikan bahwa dia sudah siap. Sesudah itu, dia buru-buru turun ke bawah. Raka sudah menunggu di sofa. "Mas," panggil Vika sambil memutar tubuh dan mengembangkan gamisnya. "Wah! Adik Mas cantik banget!" "Terima kasih!" Vika membungkuk 45° ala-ala princess. "Ayo berangkat." Mereka berdua keluar rumah. Sebelum masuk ke dalam mobil, tak lupa Raka mengunci pintu terlebih dahulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN