Bab 36. Pertanda apa?

1010 Kata
"Mas Raka!" teriak Abira kuat sekali hingga membuat Raka yang tengah tidur di sofa, terjatuh ke lantai. Mimpi aneh kembali datang menyepuh tidur Abira. Napas Abira tersengal. Matanya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Tak lama Abira menoleh ke Raka, berdiri, menghampirinya.  "Mas, kamu gak kenapa-napa, kan?" Abira melihat dari atas ke bawah tubuh Raka. Tak terlewatkan barang seinchi pun dari pandangan Abira.  "Kamu kenapa? Tenang. Tarik napas." Raka memberikan instruksi. Abira mengikuti instruksi Raka. "Buang." Setelah mengulangi beberapa kali, barulah Abira yang tadinya panik sekali perlahan berubah tenang. Dibantu Raka, Abira duduk di sofa. Wajahnya yang tadi tegang, kini sudah kembali menghangat. Terlihat bulir-bulir keringat di dahi Abira. Raka mengambilkan tissue, memberikannya kepada Abira, menyuruhnya untuk mengelap keringat di dahinya. "Kamu kenapa?" tanya Raka. Melihat bagaimana kondisi Abira, tampaknya sudah memberikan gambaran pada Raka apa yang sudah berlaku. Abira menarik napas dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. "Aku mimpi kalau Mas ditikam sama orang yang gak dikenal." Tanpa sadar, Abira meneteskan air matanya. Matanya menatap Raka instens. Terpancar aura kekhawatiran yang sangat jelas dari sana. Rasa takut kehilangan, mengungkung Abira.  Raka memasang senyum. Di atas meja ada cerek dan juga gelas. Dituangkan air ke dalam gelas, kemudian diberikan ke Abira. "Minum dulu. Kamu cuman mimpi buruk aja." Abira menerima gelas itu, meneguk isinya sampai habis.  Abira memulangkan gelas ke Raka. Setelah itu Raka menyuruh Abira untuk kembali melanjutkan tidurnya. Mereka bertukar posisi. Raka menyuruh Abira untuk tidur di sofa. Usai Abira berbaring, Raka membentangkan selimut ke tubuh Abira. Mata Abira tidak terlepas dari Raka. Dia terus memandangi wajah Raka dalam. Mimpi itu membuatnya merasa takut akan kehilangan Raka. Raka duduk di seberang Abira. Raka tersenyum, menganggukkan kepalanya, seolah berbicara bahwa semua akan baik-baik saja. Abira tidak perlu khawatir. Tak lama, Abira terpejam, kembali pulas melanjutkan tidurnya. Cepat-cepat Raka menggelengkan kepalanya saat sadar bahwa dia terlalu tenggelam memandangi wajah Abira. Dia beristighfar. Tiba-tiba Raka tertawa ketika teringat bahwa Abira tadi menyebutnya dengan panggilan Mas. Raka tidak dapat menahan senyumnya. Rasanya hatinya tumbuh taman bunga di sana. Panggilan itu, terasa nyaman di telinganya. Hingga pagi menjelang, Raka tidak tidur sejak dikagetkan oleh Abira. Sekarang, Azan subuh sudah dikumandangkan. Dia bersiap untuk pergi ke musholla. Saat Raka membuka pintu ruangan, Abira terbangun dan bertanya Raka mau pergi ke mana? Raka balik badan. "Ke musholla." "Hati-hati." Raka mengangguk. Ingin dia tersenyum saat itu juga sebenarnya. Tapi, tidak memungkinkan. Setelah menutup pintu, barulah Raka tersenyum sambil mengayunkan kaki menuju mushola. __00__ Di ruangan, Abira merubah posisinya menjadi duduk. Mimpi aneh, begitu Abira menamainya. Sudah dua kali mimpi dia disiksa dan disekap hadir menghiasi tidurnya. Entah apa maksud yang tersirat dalam mimpi itu, Abira tidak tahu. Tapi, setiap kali mimpi itu datang, Raka selalu hadir di sana sebagai super Hero bagi Abira. Dan kenapa setiap kali mimpi itu datang, Abira selalu disakiti? Apakah mimpi itu memang benar-benar bunga tidur? Atau itu memang benar akan terjadi? Kalau sampai iya, Abira tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya disiksa seperti itu. Lima belas menit berlalu, Abira memutuskan menyelesaikan lamunannya. Dia bangkit, duduk di kursi di sebalah tempat tidur ibunya Raka. Kembali Abira memandangi wajah ibunya Raka yang menurut Abira sangat menentramkan. Tidak biasanya Abira langsung menyukai orang saat baru pertama kali bertemu. Dan yang ini, kenapa tiba-tiba bisa mengambil hati Abira. Bahkan dalam posisi koma seperti itu? Kembali ke pertemuan pertama, mengingatkan Abira dengan tanda tanyanya yang sempat muncul tadi malam. Pertanyaannya, apakah ada maksud di balik tindakan Raka itu? Kenapa tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan, Raka membawanya ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibunya.  Abira terkekeh. Ini kali pertama baginya dia yang malah dibuat kegeeran. Biasanya, Abira-lah yang membuat orang sampai tidak bisa tidur karena ulahnya. Tapi, lihatlah sekarang, dia tengah mengontrol hatinya agar jangan sampai berpikiran terlalu jauh dulu. Agar jangan sampai beranggapan bahwa rencananya sudah menumbuhkan hasil. Belum tentu. Laki-laki seperti Raka, laki-laki pertama yang menurut Abira sulit untuk ditebak. Raka yang biasanya galak saat bertemu Abira, kenapa dalam sekejap bisa berubah jadi hangat seperti itu. Dan perubahannya itu bukan terjadi karena sesuatu yang romantis. Justru setelah dikerjai Gladis, yang seharusnya emosi, malah berubah jadi hangat dan ramah. Aneh, bukan? Baiklah. Untuk saat ini biarlah permainan berjalan sebagaimana mestinya. Abira akan melihat ke mana permainan ini berjalan. Kalau memang semuanya berjalan sesuai yang dia harapan, maka secara otomatis itu membantu Abira. Dia tidak perlu bersusah-susah untuk mencari cara bagaimana agar bisa dekat dengan Raka. Benar, kan? Lihat, padahal Abira tadi malam sama sekali tidak membayangkan bahwa sampai detik ini dia bisa sedekat itu dengan Raka.  Abira memegang tangan ibunya Raka. Digenggamnya erat. "Terima kasih, Bu. Berkat ibu, saya bisa dekat dengan Mas Raka."  Spontan Abira menutup mulutnya dengan satu telapak tangan. Apa yang dia bilang barusan? Mas Raka? Sekelibat ingatannya tadi malam muncul di kepala Abira. Sejak tadi malam dia sudah memanggil Raka dengan sebutan Mas. Abira menampar bibirnya pelan berkali-kali dengan volume kencang. Dia merasa malu sendiri saat panggilan Mas itu terngiang-ngiang di telinganya. Kenapa dia bisa sampai keceplosan seperti itu? Tampaknya efek mimpi buruknya tidak baik karena terbawa sampai ke dunia nyata. Ini tidak boleh dibiarkan. Abira harus mengunci rapat-rapat mulutnya agar tidak mengulangi kejadian ini. Tidak boleh.  Abira harus hati-hati. Jangan sampai dia melakukan kesalahan sekecil apa pun yang bisa membuatnya jadi jauh dari Raka. Kesempatan emas ini harus bisa dia pertahankan sekuat mungkin.  Pintu ruangan dibuka. Raka sudah selesai menunaikan sholat subuhnya. Abira lupa berkedip. Rambut setengah basah milik Raka dan wajah cerah selepas berwudhu terpampang indah di tubuh yang atletis. Abira serasa seperti melihat ribuan bunga yang sangat indah berjalan ke arahnya. Raka melambaikan tangan di wajah Abira, mencoba membuatnya tersadar dari lamunannya.  "Eh." Abira cepat-cepat meraup wajahnya, memasang senyum kikuk. "Kamu laper ga?" tanya Raka.  Abira mengangguk malu-malu. Perutnya memang lapar. Makannya tadi malam tidak sampai habis karena mendapat pesan prank dari Gladis. Ah iya, bicara soal Gladis, saat pulang nanti Abira akan buat perhitungan dengannya. Berani sekali dia bertindak tanpa mengkompromikannya dengan Abira terlebih dahulu. Bukannya rencana bagus, rencana itu nyaris membuatnya dan Raka jadi memiliki jarak. "Aku keluar sebentar ya, cari makan." Abira mengangguk lagi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN