Bab 35. Mimpi kedua kali

1503 Kata
Gladis dan Monica melambaikan tangan ke arah Abira dan Raka. Raka yang melihat itu langsung menatap Abira dengan tatapan tidak percaya. Apa ini? Abira mengerjainya? Harus digarisbawahi di sini. Bukan hanya Raka saja yang tidak kebingungan, heran, dan juga ingin marah rasanya. Dia juga merasakan hal yang sama dengan Raka. Pasalnya, dia sudah benar-benar panik ketika mendapatkan pesan yang mengatakan bahwa mamanya disekap, lalu sekarang, dengan entengnya Monica dan Gladis melambaikan tangan ke arah mereka, memberikan kode untuk bergabung. Abira menarik tangan Raka, menghampiri Gladis dan mamanya. Gladis terkekeh. Samping meja kanan-kiri mereka sampai melongo melihat Gladis tertawa seheboh itu. Sungguh bagi Abira dan Raka hal ini tidak ada lucunya sama sekali. Tapi bagi Gladis dan Monica, ini sangat funny.  "Maafin gue, Ra." Jeda. Gladis masih terkekeh. "Ini ide gue buat lo dan Pak Raka biar kemari." Abira menggeleng tidak setuju. "Gak ada yang lucu, Dis." "Sudahlah. Raka, kamu lapar? Ayo gabung." "Maaf, Tan. Tapi saya harus pulang sekarang." Raka melepaskan genggaman tangan Abira di pergelangan tangannya, melenggang pergi dari restoran itu. Suasana yang tadinya biasa saja, kini berubah menjadi kaku dan menyeramkan. Gladis sudah tidak lagi tertawa. Raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat.  Monica menghela napas. "Ra," panggilnya sendu. Abira menatap Gladis kecewa. Yang ditatap, mengerti apa yang Abira rasakan sekarang. Selain mempermainkan dirinya, Gladis juga sudah mempermainkan Raka secara tidak langsung. Setelah dipikir-pikir, tindakan Raka yang langsung gercep hendak membantu Abira membebaskan orang tuanya yang disekap adalah sebuah tindakan yang jika situasinya lebih baik bisa membuat Abira melenyot di tempat. Juga uang seratus jutanya yang dia bawa sebagai tebusan untuk mamanya. Lantas? Apa yang terjadi? Pesan itu hanya ulah main-main Gladis? "Tega lo, Dis!" Abira ikut melenggangkan kaki, menyusul Raka yang sudah di dalam mobil. Monica langsung menatap Gladis dengan tatapan tidak mengerti. Dia tadi hanya mengusulkan ide untuk menyuruh Abira datang ke restoran agar makan bersama dengan mereka. Tapi kenapa Raka bisa ikut dan tiba-tiba pergi? Abira juga ikut pergi. Setelah diceritakan bahwa Gladis mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa Monica disekap, Monica paham. Dia menepuk punggung belakang Gladis. "Gak apa-apa. Tante paham kok maunya kamu gimana. Ntar Tante bilangin ke Abira, ya. Udah, ayo abisin makanan kamu." __00__ Tanpa meminta persetujuan, Abira langsung masuk ke dalam mobil Raka.  Abira berdeham. "M-maaf, Pak." Abira takut-takut mengucapkannya.  Tidak ada balasan dari Raka. Dia menatap lurus ke depan. Harus Raka akui bahwa kecewa sebenarnya. Tapi, entah kenapa dia tidak bisa marah pada Abira. Dan Raka juga tahu bahwa Abira sama sekali tidak ada niatan untuk mengerjainya. Raka bisa merasa itu melihat bagaimana kekecewaan yang Abira tampakkan. Itu terlihat natural dan bukan dibuat-buat. "Pak," panggil Abira kedua kali. Karena tidak ada jawaban, Abira memberanikan diri untuk mengulang panggilan. Dia paham pasti Raka merasa dipermainkan. Abira takut Raka benar-benar akan menganggap bahwa semua ini rencananya, padahal bukan. Abira sama sekali tidak tahu. "Tidak masalah. Kamu mau pulang sekarang?" Abira berhenti bernapas sesaat. Apa yang barusan ditanya Raka. Mau pulang sekarang? Hei, percayalah. Sebenarnya itu hanya kalimat biasa. Bukan kalimat yang romantis ataupun indah. Tapi, kenapa jantung Abira terasa dipompa lebih keras? "Ra, kamu mau pulang sekarang?" ulang Raka. Abira tersadar dari lamunannya. "Eh, nggak, Pak. Saya mau mencari angin segar dulu." Abira baru saja hendak keluar dari mobil ketika Raka mencegahnya. "Ikut saya." Raka menyalakan mesin mobil. Jantung Abira semakin berdetak kencang ketika Raka menyuruhnya untuk ikut. Entah itu perasaan senang atau justru perasaan takut. Aneh bukan? Biasanya Abira selalu ingin berada dalam satu mobil dengan Raka. Tapi sekarang, ketika Raka menyuruhnya untuk ikut dengannya, malah Abira merasa aneh. Otaknya mengirimkan sinyal yang bukan-bukan. Otaknya bilang, mungkin ini adalah pertanda buah hasil dari kerja keras Abira. Cepat-cepat Abira menggeleng. Tidak, tidak mungkin. Pasti Raka ingin berbuat sesuatu. "Ke mana, Pak?" Tidak ada jawaban. Raka menekan gas, pergi meninggalkan area restoran. Empat puluh lima menit di jalan Raya, mereka tiba di halaman rumah sakit. Rumah sakit di mana prioritas hidup Raka dan Vika dirawat. Muncul tanda tanya di kepala Abira. Kenapa dia diajak ke rumah sakit? Untuk apa? Raka turun dari mobil. Entah instruksi dari siapa, Abira ikut turun, berjalan mengekor di belakang Raka. Raka mendatangi pusat informasi, Abira ikut. Raka masuk lift, Abira ikut. Hingga sekarang mereka berdiri di depan ruangan bertuliskan angka 250. Raka membuka pintu. Abira ikut masuk ke dalam. Yang pertama kali menjadi pusat perhatian Abira adalah sosok perempuan yang usianya hampir sepantaran dengan mamanya, terbaring dengan mata terpejam di atas tempat tidur. Ada selang yang Abira tidak tahu di hidung, mulut, dan tangan wanita itu. Dengan kepala ditutup ciput, wajah wanita itu terlihat menenangkan. Raka mengambilkan kursi, menyuruh Abira duduk. Ragu-ragu, Abira akhirnya melengketkan bokongnya di permukaan kursi. "Dia ibu saya." Tunggu. Abira merasa waktu seakan berhenti karena dibuat terkejut berkali-kali. Dan ini yang paling fantastis. Raka bilang apa barusan? Wanita yang terbaring itu ibunya? Kenapa … kenapa Raka mengajaknya ke rumah sakit untuk bertemu ibunya? "Ibu saya koma sudah sepuluh tahun. Alhamdulillah, sebuah mukjizat sudah berlaku pada beliau. Dokter bilang, beliau sudah berjuang keras bisa bertahan selama itu. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa semoga Allah menyembuhkan ibu saya." Perasaan Abira rancu. Gembira, tanda tanya, sedih, bercampur menjadi satu. Abira bisa merasakan bagaimana rasanya di detik-detik terakhir kehilangan sosok tercinta dalam hidup. Dan keadaan itu yang sedang Raka alami. Di satu sisi, dia juga tidak bisa bohong kalau tindakan Raka mengajaknya menemui ibunya membuat Abira seperti berada di atas langit. Dia bahagia sekali.  Raka langsung mengusap air matanya, malu dilihat Abira. Kalau situasinya lebih baik dan memungkinkan, Abira pasti sudah menggoda Raka karena menangis. Tapi sepertinya tidak untuk sekarang. Abira malah mengatakan. "Gak apa-apa, Pak. Saya yakin, ibu anda pasti sembuh. Bapak harus kuat, ya." Suasana di dalam ruangan itu berubah senyap. Raka sudah duduk di sofa. Abira masih duduk di tempat yang sama, memandangi wajah ibunya Raka. Abira tidak merasa bosan sama sekali. Entah kenapa wajah meneduhkan itu terasa enak sekali dipandang.  Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Abira tertidur di bibir tempat tidur. Raka berdiri, mengambil selimut yang disediakan rumah sakit untuk tamu, kemudian menyelimuti tubuh Abira.  Kata-kata Abira yang tadi membuat rindu selama sepuluh tahun yang hanya bisa melihat ibunya dalam posisi terbaring terasa seperti diberi sedikit obat. Raka bisa merasakan itu.  __00__ Nadira masih menunggu kepulangan Raka. Hingga tepat tengah malam, dia belum juga tidur karena takut sewaktu Raka pulang tidak ada yang membukakan pintu. Meski sudah terkantuk-kantuk, Nadira masih berusaha melebarkan matanya, agar tidak tidur.  Setelah makan tadi, Vika langsung kembali ke kamarnya melanjutkan tidur. Sedangkan Nadira duduk membaca n****+ yang teronggok di atas meja. Namun karena rasa kantuk sudah besar, kepala Nadira naik-turun menahan kantuk.  Tanpa sadar menit seterusnya, Nadira tertidur di sofa. Tanpa selimut. __00__ Pohon-pohon raksasa yang membutuhkan sekitar 5-6 orang dewasa untuk memeluknya berjejer menghiasi hamparan tanah yang luas. Suara jangkrik memenuhi gendang telinga. Udara dingin terasa menguliti kulit. Di atas sana, hamparan langit nyaris tertutup oleh daun rindang pohon-pohon besar. Di salah satu pohon, Abira terikat kaki dan tangannya, serta mulutnya diselotip, tergeletak lemah di tanah. Bajunya sudah bukan rupa baju lagi. Sobek di sana-sini. Wajahnya biru-biru lebam. Pergelangan kaki dan tangan lecet. Tulangnya terasa seperti dicopot-copot, kemudian dipasangkan kembali. Untuk bernapas, Abira membutuhkan effort ekstra.  Sudah terhitung delapan jam dia diselimuti udara dingin dengan pakaian yang sobek. Perutnya terasa menghisap. Sudah dua hari Abira tidak makan. Terakhir kali, orang bertopeng yang menyekapnya di dalam rumah tak berpenghuni hanya memberi minum saja.  Tenggorokan Abira seperti terbakar rasanya. Kering kerontang. Musim kemarau terjadi di dalam kerongkongan Abira. Untuk menggerakkan tubuh, Abira sudah tidak sanggup. Dia hanya bisa pasrah, berharap dalam hati semoga ada yang menyelamatkannya. Abira merasakan tetesan air jatuh ke wajahnya. Pertama sedikit, semakin lama semakin sering. Kilat disertai suara guntur nyaris memekakkan telinga Abira. Resmi, hujan turun. Tak kuasa Abira menahan air matanya untuk tidak keluar. Air mata Abira bercampur dengan derasnya air hujan. Suhu dingin semakin meningkat. Untuk memeluk diri sendiri, Abira tidak bisa. Tubuhnya menggigil kedinginan. Bibir Abira berubah biru. Kesadaran Abira semakin menyusut. Membuka mata saja terasa berat. Hitungan ketiga, mata Abira tertutup total. Yang tersisa hanya dengusan napasnya saja. Sosok pria yang disebut manja oleh Abira datang selang beberapa detik setelah Abira menutup matanya. Tanpa menunggu waktu semakin banyak terlewatkan, pria itu menggendong Abira, membawanya keluar dari hutan itu. Sambil menggendong, pria itu menyebut-nyebut nama Abira, berusaha membuatnya terbangun. Tidak bisa. Tidak terjadi apa-apa. Abira pingsan total dan sangat kehilangan tenaganya. Bayangkan dua hari tanpa makan dan minum, kemudian dibiarkan di hutan terbuka seperti itu selama berjam-jam.  Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit sambil membopong Abira, pria itu sampai di mobil Fortuner hitam. Dibukanya pintu, ditidurkannya Abira. Sebelum pergi dari sana, pria itu menyempatkan diri untuk membuka ikatan di tangan dan kaki Abira. Sesudah itu, barulah pria tersebut masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, pergi dari area hutan itu menuju rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi, pria itu membelah hujan demi bisa sampai ke rumah sakit secepat mungkin. Rasa khawatirnya tidak terbilang lagi saat itu. Yang pasti, kalau sampai terjadi sesuatu pada Abira, penyesalan yang akan menghantui pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN