Bab 42. Diusir

1605 Kata
Doni terpaksa menunda keberangkatannya ke rumah Sinta dikarenakan Erika memintanya untuk diantarkan pulang. Saat itu Doni sudah lima belas menit di dalam mobil menuju rumah Sinta, namun, dia harus terpaksa putar-balik karena Erika minta diantar. Enggan sebenarnya, tapi, tiba-tiba saja muncul sebuah ide di kepalanya: kenapa tidak mengajak Erika sekaligus untuk menanyai Sinta di mana rumah Putri sebenarnya. Rio, Fadli, dan Bagas sudah lebih dulu pulang. Mereka menggunakan uang lima ratus ribu yang Doni berikan untuk makan-makan di rumah Rio. Erika bukan tidak diajak, dia sendiri yang enggan ikut karena mau cepat pulang ke rumah. Doni sampai di halaman rumah sakit. Erika sudah menunggu di sana sambil memainkan benda canggih yang sekarang akrab disapa smartphone. Doni menurunkan kaca mobilnya. “Ayo naik!” Erika memasukkan ponselnya ke dalam tas, membuka pintu mobil, masuk ke dalam. “Lo sibuk?” tanya Doni basa-basi. Kalau pun seandainya Erika bilang dia sibuk, Doni bakalan tetap tancap gas mengajaknya ke rumah Sinta. “Gue? Nggak. Gue cuman mu rebahan aja di rumah.” Doni menjentikan jarinya. “Oke. Lo ikut gua,” putus Doni. Di kepalanya sekarang, Erika mungkin saja bisa berguna nantinya jika Sinta terus-terusan menolak memberitahukan di mana tempat tinggal Putri. Dan saat ini pun, Doni tidak yakin Sinta bakal memberitahunya begitu saja. Dibutuhkan effort maksimal. “Ke mana?” Erika bertanya. Dia harus tau bukan ke mana Doni mau membawanya? “Udah ikut aja.” Doni memutar stirnya, kembali memasukkan mobil ke jalan raya. Mereka sedang mengarah ke rumah Sinta. Setengah jam kemudian, mereka sampai di lokasi tujuan. Erika menatap rumah megah di seberang jalan. Rumah yang mewah sekali. “Rumah siapa, Don? Gebetan baru lo?” Sebentar. Doni suka dengan ucapan Erika barusan. Mungkin … kata gebetan lebih cocok disematkan untuk Sinta karena sudah berhasil menarik perhatiannya. “Boleh dibilang gitu.” Doni tersenyum senang, keluar dari mobil. Satpam membuka pintu gerbang, mempersilakan Doni dan Erika masuk. Doni sengaja tidak memasukkan mobilnya ke dalam karena kalau sampai iya, belum lagi masuk, Sinta pasti sudah marah-marah. Doni memencet bel rumah. Erika mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memperhatikan setiap inchi dari rumah megah yang mereka datangi saat ini. Cat putih rumah tersebut menambah kesan elegan dan membuat atmosfer di rumah itu semakin terasa aura-aura orang kayanya. “Lo kenapa, sih?” Melihat Erika terus melihat-lihat sekitar membuat Doni penasaran. “Gue rasa yang punya rumah ini lebih kaya dari lo, Don.” Doni berdecak. “Dasar matai jo!” Sosok perempuan yang usianya setengah abad membukakan pintu. Postur tubuhnya tidak tinggi, kisaran seratus lima puluh sentimeter. Punggungnya sedikit bungkuk, kulit yang mulai keriput. Tatapan matanya terlihat bersahabat. “Cari siapa?” tanyanya dengan suara halus sekali. Sebelum menjawab, Doni berdeham sekejap karena kerongkongannya terasa gatal. “Sinta-nya ada, Mbok?” “Non Sinta?” Doni mengangguk. “Non Sinta-nya lagi pergi keluar, Den.” “Lama gak, Mbok?” “Mbok gak ngerti, Den. Biasanya kalau hari minggu, Non Sinta suka pulang malem.” Erika menyikut Doni dengan raut wajah seolah bertanya apa yang akan Doni lakukan karena Sinta tidak ada di rumah? Doni berpikir sejenak, mencari jalan keluar. Tidak boleh banyak waktu terbuang. Semakin cepat dia tahu di mana Putri tinggal, maka semakin cepat pulalah misteri kenapa perempuan ular itu berbicara dengan Raka beberapa waktu lalu. “Mm … Mbok, kalau kita nunggu di dalem gimana? Boleh?” “Sebelumnya kalian sudah ada janji?” Cepat-cepat Doni mengangguk—mengiyakan. “Sudah, Mbok.” “Kalau begitu … silakan masuk.” Perempuan tua itu membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Doni dan Erika masuk. Mereka berdua dibawa ke ruang tunggu. Sofa dengan bahan premium yang lembutnya tidak ketolongan menyambut mereka berdua. Kali kedua bagi Doni dan kali pertama bagi Erika. Guci-guci mahal karya pengerajin luar dan dalam negeri memanjakan mata Erika. Rumah yang megah, luas, dan barang-barang mahal di dalamnya membuat Erika tidak bosan mengarahkan bola matanya ke segala penjuru rumah. “Norak lo!” “Biarin. Sewot banget jadi orang!” Tak lama, perempuan tua tadi pun datang kembali membawakan mereka berdua minuman dan camilan kering. “Silakan dinikmati.” “Terima kasih, Mbok.” Erika membantu menurunkan minuman dari atas nampah. Tak terasa mereka berdua berada di rumah Sinta selama lima jam. Berbagai posisi duduk sudah Erika coba. Dia mulai merasa bosan dengan tontonan di televisi. Baterai ponselnya habis. Sedangkan Doni bermain game di ponselnya. Terdengar suara mobil berhenti. Erika langsung memperbaiki posisi duduknya. Doni menegapkan tubuh, menyimpan ponselnya di saku. Perempuan tua yang tadi cepat-cepat berlari keluar dari dapur setelah mendengar suara bel rumah dipencet. “Ada tamu, Non.” Sinta menyerahkan dua bingkisan yang berisi barang belanjaanya dari mall pada pembantunya. “Tamu?” Saat Sinta mendongak melihat ‘tamu’ yang pembantunya maksud, Doni tersenyum, melambaikan tangan ke arahnya. Wajah Sinta langsung berubah kesal dan bola matanya berputar malas. Laki-laki yang kemarin membuatnya merasa kesal, kini hadir kembali. Bukannya sendiri, malah bersama temannya. “Yang ini buat, Mbok.” Sinta menunjuk bingkisan yang di tangan pembantunya sebelah kiri. “Yang ini taruh di kamar Sinta, ya.” “Baik, Non.” Pembantu tua tersebut bergegas naik ke atas untuk meletakkan barang sesuai titah majikannya. Sinta berjalan malas mendekati mereka berdua. __00__ Selesai menunaikan sholat isya, Raka langsung menuntaskan pekerjaannya. Dua jam kemudian, tugasnya selesai. Raka tidak langsung menutup laptopnya. Raka kembali membuka email yang sempat mengirim foto-foto kecelakaan sepuluh tahun silam. Raka kembali melihat foto-foto itu. Mobil ringsek, darah, masyarakat ramai, garis polisi, mobil yang berbaris akibat macet. Semua itu mengingatkan kembali Raka akan kejadian yang di mana hampir saja gairah hidup Raka terasa seperti lenyap seketika. Fakta bahwa dia harus menjadi anak yatim, membuat Raka menangis siang dan malam waktu itu. Tapi, Raka bukan menangis yang mengeluarkan air mata, melainkan menangis dalam diam karena harus terlihat tegar demi Vika yang waktu itu masih balita. Raka mengambil ponselnya, menghubungi perempuan yang saat ini sedang dicari alamat tempat tinggalnya oleh Doni. “Halo, Put? Kamu di mana?” “…” “Bisa ketemuan sekarang?” tanya Raka sambil melirik jam dinding. Sekarang pukul sepuluh malam. “…” “Oke. Besok saya akan ke sana setelah pulang mengajar.” Sambungan telepon diputus. Raka menutup laptopnya, bangkit dari tempat duduk, berniat melihat Vika di kamarnya apakah sudah tidur atau belum. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, bersiap untuk membuka, ponsel Raka berdering. Raka mengurungkan niatnya terlebih dahulu untuk pergi ke kamar Vika demi melihat siapakah yang meneleponnya. Ternyata nomor yang sama—nomor yang tidak dikenali yang meneleponnya setelah maghrib tadi. Raka tidak langsung menjawab. Dibiarkannya sejenak. Hingga panggilan keempat, barulah Raka mengangkat. Sama seperti tadi, tidak ada suara apa-apa. Raka pun berlaku serupa, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Hingga selama lima menit, telepon tersebut masih tersambung tanpa ada adegan cakap-cakap di sana. Menit keenam, si Penelpon memutuskan sambungan. Raka meletakkan ponselnya di atas meja kembali, kemudian pergi ke kamar Vika. Sampai di sana, Vika sudah terlelap dalam mimpinya. Melihat tubuh Vika yang hanya sepinggang tertutup selimut, Raka pun melangkah masuk, menaikkan selimut menutupi tubuh adiknya. Setelah itu, Raka turun, duduk di meja makan. Tiba-tiba saja dia ingin meminum kopi. __00__ Plak! Satu tamparan mendarat di wajah Doni. Yang ditampar memainkan lidahnya sambil menyeringai. “Lo gak punya kuping, ya? Gue kan udah bilang, jangan coba-coba berani dateng ke rumah gue lagi!” Erika langsung melongo seketika melihat adegan barusan. Ternyata selain Abira, masih ada lagi perempuan yang berani menampar Doni seperti itu. Mana tamparannya renyah lagi. “Gue juga udah bilang kan.” Doni maju dua langkah. Mereka sekarang posisinya lebih dekat. Tinggi Doni 180 cm dan tinggi Sinta 160 Cm. Dagu Doni berada pas di jidat Sinta. Aroma harum rambut Sinta bisa tercium jelas oleh hidung Doni. “Gue bakal terus dateng ke rumah lo sampai lo mau kasih tau gue di mana rumah Putri.” Sinta menyeringai. “Gue gak tau, b**o!” Sinta mendorong tubuh Doni. Sinta juga menyempatkan diri melirik ke arah Erika. “Lo siapa? Pacarnya dia?” Sinta menyeringai. “Kok mau sih lo sama cowok modelan kayak dia?” Erika menunjuk dirinya dengan wajah tidak mengerti. “Please, Sin. Gue butuh banget. Please kasih tau di mana rumah Putri.” Sinta terkekeh. “Emang seberapa penting sih Putri buat lo?” Tidak tahan melihat wajah Doni di hadapannya, Sinta pun menarik tangan Doni, memaksanya keluar dari rumahnya saat ini juga. “Keluar lo dari rumah gue. Sekarang!” Tidak ingin diperlakukan serupa, Erika mengekor dari belakang. Ternyata pemilik rumah mewah itu juga tidak kalah garang dengan Abira. Bahkan kalau ada ajang pencarian perempuan tergarang, Sinta bisa dinobatkan jadi juara. Kesal, Doni mencengkram tangan Sinta erat, membuat wajah yang tangannya digenggam meringis. “Gue bakal terus dateng ke rumah ini sampai lo mau buka mulut.” Sinta berdecih. “Kita liat sampai di mana lo bisa paksa gue.” Dua netra hitam saling bertemu, saling transfer aura kebencian. Doni melepaskan genggaman tangannya, kemudian berjalan dengan emosi menyulut d**a menuju mobilnya. Erika yang tidak tahu apa-apa hanya menjadi penonton budiman saja dan mengikuti ke mana Doni pergi. Erika ikut masuk ke dalam mobil. Di dalam, Doni memukul stir mobilnya kuat melampiaskan emosinya. “Dia siapa sih, Don?” tanya Erika. Dia penasaran kenapa Doni sampai memelas meminta diberitahukan sesuatu. “Gue butuh bantuan lo, Ka.” Doni memutuskan akan merencakan sesuatu pada Sinta. Sudah dua kali cara lembut Doni gunakan, namun belum juga berhasil. Jika cara lembut tidak berhasil, maka jalan keluarnya adalah memberikan pelajaran pada Sinta. Doni yakin tidak mungkin kalau Sinta tidak tahu di mana Putri tinggal saat ini. Foto dua minggu lalu sudah cukup menjadi bukti kuat kalau mereka berdua masih berhubungan. “Bantuan?”

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN