Bab 41. Telepon

1014 Kata
Sampai di rumah Gladis, Abira mencium punggung tangan ibu Gladis. Melihat Abira datang lagi, Naira langsung mendatanginya, lalu memeluk. "Kakak sehat?" tanya Naira sambil melempar senyuman hangat. Setelah bertanya, Naira memeluk Abira kembali. Seakan tidak mau melepaskan Abira dari pelukannya. Itu wajar karena keluarga Abira sudah baik sekali terhadap keluar mereka. Pribadi Abira yang ramah pada Naira dan juga keluarnya membuat Naira merasa punya dua kakak. Abira terkekeh. Adik Gladis itu suka sekali kalau Abira sudah datang ke rumah. Padahal, baru kemarin Abira datang, tapi, Naira seperti belum pernah dikunjungi lengketnya. Ibu Gladis memberikan hasil jahitan yang harus diantarkan. Juga memberitahu alamat si pelanggan. Mereka berdua masuk ke mobil, menuju rumah pelanggan. Di jalan pulang, mereka berdua melihat seorang pria mendorong sepeda motornya. Jaket kulit yang warnanya mulai luntur, motor yang usang. Gladis langsung menyuruh Abira untuk meminggirkan mobilnya begitu mengenali sosok pria tersebut. "Kenapa, Dis? Lo kenal?" Abira heran karena tidak biasanya Gladis mau mendatangi laki-laki lebih dulu. Gladis tidak menjawab. Dia langsung keluar mobil begitu Abira menghentikan mobilnya, mendatangi laki-laki itu. Penasaran, Abira memutuskan mengekor. "Motornya kenapa, Mas?" tanya Gladis basa-basi. "Mogok, Mbak." Laki-laki itu sadar seperti pernah bertemu dengan Gladis. "Mbak … yang waktu itu ngasih saya uang lebih, bukan?" Laki-laki itu seperti tidak asing dengan wajah Gladis. Gladis mengangguk. Entah kenapa saat laki-laki itu mengingat hal tersebut rasanya ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Seakan paham, Abira bertindak. "Rumah Mas masih jauh?" Abira mulai paham ke mana Gladis ingin membawa arah permainan. Laki-laki itu menggaruk kepala. "Masih sih, Mbak." "Mas bisa bawa mobil? Motornya tinggal di sini aja, biar saya telponin temen saya. Biar mereka yang urus motor, Mas." "Oh, gak usah, Mbak. Ntar kalo ilang gimana?" Laki-laki itu merasa cemas jika motornya ditinggal di pinggir jalan. Karena hanya motor itulah satu-satunya sumber mata pencahariannya. Abira terkekeh. "Ya udah, saya telpon dulu ya, Mas." Lima menit kemudian dua orang laki-laki memakai pakaian montir datang berboncengan. Salah satunya turun, mendatangi mereka, meminta izin kepada laki-laki tersebut untuk dibawa motornya. Kedua orang itu adalah pegawai bengkel sepeda motor dan mobil langganannya. Urusan motor selesai, mereka bertiga masuk ke dalam mobil. Abira menyuruh laki-laki itu untuk menyetir setelah bertanya apakah laki-laki itu bisa menyetir atau tidak. Abira dan Gladis duduk di belakang. Di perjalanan, Gladis bertanya siapa namanya. "Nama saya? Nama saya Ridwan, Mbak." "Bagus namanya, Mas!" puji Gladis sedikit malu-malu. Abira langsung menyikut lengan Gladis. Dia terkekeh. Gladis kenapa jadi ganjen seperti ini? Abira menautkan kedua alisnya, kemudian perlahan bibirnya membentuk kurva senyuman. Otak Abira seakan mengirim sinyal bahwa Gladis tampaknya suka dengan pria yang ada di mobil Abira sekarang. "Ini mau ke mana, ya, Mbak?" Abira menjawab kalau mereka ingin mengantarkan Ridwan sampai ke rumah. Sesuai niatan Abira tadi di awal bahwa dia tidak ingin hari minggunya berakhir begitu saja tanpa melakukan apa pun. Mengantarkan Ridwan ke rumahnya juga bisa menghabiskan waktu hari minggunya sekaligus membantu Gladis agar tahu di mana alamat laki-laki yang sekarang ini berhasil menarik perhatiannya. Mereka semakin masuk ke pelosok. Mereka masuk ke gang yang ukuran jalannya hanya muat untuk satu mobil saja. Lingkungan yang berbeda dari lingkungan mereka. Mereka berhenti di sebuah rumah yang lebih sederhana daripada rumah Gladis. Rumah ini terbuat dari kayu yang kelihatannya sudah mulai lapuk. Ukurannya juga lebih kecil dari rumah Gladis. Ridwan mengucapkan terima kasih. "Sama-sama, Mas." Dari rumah kayu itu keluar sosok perempuan tua dan dua anak kecil yang kira-kira duduk di bangku SD. Abira dan Gladis menyapa mereka semua, kemudian kembali masuk ke mobil untuk berjalan keluar. "Gimana? Puas lo?" Abira memakai seatbelt. Gladis terkekeh. "Lo paham aja, Ra." Abira manggut-manggut. "Bolehlah. Orangnya keliatan baik, ramah. Plus itam-manis juga." "Seriusan? Lo setuju kalo gue sama Ridwan?" Abira geleng-geleng. "Jangan sampe prinsip lo gak mau pacaran rusak gara-gara Ridwan, ya." Kemudian tertawa. __00__ Menjelang Maghrib, Raka mengajak Vika pulang. Raka teringat kalau dia harus menyelesaikan sesuatu untuk diberikan ke kampus besok. Sebelum pulang, Vika memeluk ibunya terlebih dahulu. "Vika pulang dulu, ya, Bu. Ibu cepet bangun biar kita bisa main." Vika mencium kening Aisyah. Barulah mereka berdua keluar dari ruangan menuju mobil yang ada di parkiran. Lega rasanya setelah salah satu beban yang Raka panggul seorang diri sudah terlepas. Dengan tahunya Vika sekarang bahwa ibu mereka berdua masih hidup, Raka tidak perlu untuk sembunyi-sembunyi lagi kalau misalnya mau datang ke rumah sakit. Dia juga bisa mengajak Vika sekalian. Juga beban bagaimana cara memberitahu Vika kalau ibunya masih hidup sudah resmi lenyap. Vika sama sekali tidak marah justru malah paham kenapa Raka menyembunyikan fakta tersebut selama sepuluh tahun darinya. Sekarang, yang menjadi PR bagi Raka adalah terus mencari si pelaku yang membuat kecelakaan beruntun sepuluh tahun lalu. Hingga sekarang, itu masih menjadi misteri baginya. Sampai di rumah, Vika langsung membersihkan dirinya di kamarnya. Begitu juga Raka. Dia bersiap untuk pergi ke masjid. Hari ini Raka tidak memakai Koko dan sarung, melainkan jubah hitam dan kopiah diganti dengan lobe serupa. Raka berjalan kaki menuju masjid. Sesekali dia menyapa tetangga yang kebetulan di depan rumah dan juga orang yang dia temui di jalan. Pulang dari masjid, Raka langsung membuka laptop untuk mengerjakan beberapa tugas yang harus dia serahkan ke rektor kampus. Saat asyik mengerjakan tugas, tiba-tiba ada notifikasi dari email masuk. Raka langsung membuka notifikasi tersebut. Hai! Alis Raka langsung bertaut setelah membaca kata "hai!" barusan. Tidak ada alamat pengirim. Apa maksud dari email tersebut? Ponsel Raka berdering. Panggilan masuk dari nomor yang juga tidak dikenali. Awalnya Raka ragu-ragu untuk mengangkat, namun karena rasa penasaran, akhirnya di memberanikan diri untuk menerima telepon tersebut. "Halo?" sapa Raka. Hening. Tidak terdengar suara apa pun. Tiga detik kemudian, terdengar suara perempuan yang lebih mirip dengan suara penyihir mengatakan "hai!" Sambungan telepon terputus. Raka mencoba menghubungi nomor telepon itu lagi. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif…." Entah siapa yang berbuat jahil pada Raka, tapi, yang pasti itu berhasil membuatnya merasakan perasaan aneh sekaligus bingung. Dari mana orang tersebut bisa mendapatkan nomornya? Untuk apa juga mengerjai Raka seperti itu? Raka melihat jam dinding. Tak terasa waktu isya lima belas menit lagi. Raka memutuskan untuk menutup laptopnya dulu, ke masjid untuk sholat isya. Baru nanti dilanjutkan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN