Bab 3. Kesal

1090 Kata
"Bira tungguin, dong." Gladis berlari mengejar Abira yang berjalan bak orang kesetanan. Sejak pergi dari kerumunan tadi, Abira langsung berubah seperti orang yang kerasukan. Wajahnya seperti singa yang siap menerkam mangsa. "Bira, tungguin." Gladis masih berusaha menyusul. Tiga mata kuliah hari ini telah selesai. Sepanjang pelajaran, darah Abira tidak berhenti mendidih. Mereka yang tadi berkumpul di depan ruangan Pak Burhan yang kini menjadi ruangan Raka masih terus membicarakannya. Kuping Abira panas sekali mendengar itu. Ia mencoba menahan sebisa mungkin. Dalam hati Abira berkata, aku berjanji akan membungkam mulut mereka yang berani membicarakan Raka. Tunggu saja. Kini Abira sudah sampai di parkiran dan bersiap masuk ke dalam mobil merah bermerk Toyota Agya. "Bira tunggu!" Gladis memperkencang larinya lalu berhenti tepat di depan mobil Abira menghalanginya untuk pergi duluan. "Lo memang aneh ya. Lo marah sama mereka tapi imbasnya ke gue." Gladis masuk ke dalam mobil. "Anterin gue pulang ya, Ra. Abang gue gak bisa nyusul." Hening. Abira tidak mengindahkan ucapan Gladis. Ia mulai menekan gas melajukan mobil. Sesuatu terjadi. Mobil Abira berjalan tidak mulus. Abira bisa merasakan mobilnya bergoyang. Abira memukul setir dengan tangannya, "Apa lagi sih?" Terlihat sekali dari nada bicaranya, ia benar-benar lagi emosi. Abira keluar lalu membanting keras pintu mobil membuat Gladis terkesiap, "Astaghfirullah." Gladis bisa melihat dari kaca kalau Abira sedang menendang-nendang ban mobilnya. Sahabatnya itu tampak frustasi lalu menjambak rambutnya sendiri meluapkan emosinya. Gladis keluar berniat untuk bertanya, "Kenapa, Ra? Bocor?" "Lo liat sendiri," jawab Abira ketus. "Sabar, Dis. Sabar." Gladis menasehati dirinya sendiri. Tiba-tiba Abira melemparkan kunci mobilnya kepada Gladis. "Lo bawa ke bengkel. Gue mau naik taksi." "Apa?" *** Abira berdiri di depan gerbang kampus sambil menyilangkan kedua tangannya. Sambil memperhatikan arus jalan raya, Abira mencoba mencari taksi yang lewat. Lima menit berlalu namun taksi tak kunjung datang. Tin tin. Mobil bermerk Toyota Fortuner putih yang membunyikan klakson itu membuat Abira ingin sekali rasanya menjerit. Sekarang ia sedang menatap mobil itu penuh kebencian. Tin tin. "Mau lo apa sih?" Abira tidak menyadari kalau dirinya menghalangi mobil itu. Mungkin karena efek emosi jadinya ia tidak menyadari hal tersebut. Tin tin. Ini kali ketiga dan membuat kesabaran dalam diri Abira habis. Abira berjalan mendekati mobil itu. Diketoknya kaca mobil. Di luar dugaan, ternyata wajah Raka yang muncul. "Kamu?" Ini adalah fenomena langka bagi Abira. Biasanya jika dia melihat cowok yang akan dijadikan targetnya, segala sesuatu termasuk emosi pun akan lenyap tergantikan oleh perasaan senang. Namun apa yang terjadi sekarang? Kadar kesal Abira semakin bertambah. Bahkan kini ia hendak menjambak-jambak rambut pria di depannya. Raka memasang wajah kebingungan melihat Abira. Menatap dengan tatapan, ini ada apa? Abira menyambar botol Aqua mini yang masih diminum setengah dari dalam mobil Raka, membukanya, lalu menyiramkannya ke wajah Raka. Raka yang tidak tahu apa-apa itu langsung gelagapan. "Rasain!" Abira berjalan pergi dan taxi pun lewat. "Taxi!" Raka benar-benar tidak percaya dengan apa yang dialaminya hari ini. Seorang gadis yang tidak dikenal menyiramnya lalu pergi begitu saja tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Aneh!" ucap Raka sembari mengelap wajahnya menggunakan tissue. *** "Loh, kok baju Mas basah?" Vika melihat langit, "Tapi gak hujan?" "Ada perempuan aneh tadi nyiram Mas." Vika tertawa, "Perempuan aneh? Maksud Mas?" "Ah sudah lah, Mas tidak mau membahasnya. Kamu sudah masak? Mas laper." "Sudah Mas. Ayo masuk." Vika mengambil jas dari tangan Raka. "Mas langsung ke dapur aja, ya. Vika ke kamar mandi sebentar, mau cuci ini." Vika membawa jas abangnya ke dalam kamar mandi untuk langsung dicuci. Sebenarnya bisa saja di-laundry, tapi Vika lebih senang melakukannya sendiri. Bagi Vika, selagi ia masih bisa menggunakan kedua tangannya melakukan hal yang mudah baginya, maka Vika akan mengoptimalkan ciptaan Allah itu. Usai mencuci, Vika langsung pergi ke dapur untuk makan bersama dengan Raka. "Gimana, Mas? Enak?" "Emm…" Raka menelan habis makanan di mulutnya, "Enak. Gak kalah sama masakan di restoran. Bahkan lebih enak masakan kamu." "Mas bisa aja." Raka tinggal bersama adiknya, Vika. Mereka berdua memutuskan untuk pindah ke perumahan Sakti Kencana setelah menjual rumah mereka yang berlokasi di Jakarta Selatan. Raka sendiri sudah pernah menikah dengan anak pendiri pesantren tempatnya dulu mondok. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama. Bukan karena cerai, namun sang istri dipanggil Allah. Umur pernikahan mereka hanya tiga bulan saja. Sejak saat itu, Raka berniat untuk tinggal bersama Vika sekaligus mengurusinya yang masih berusia 11 tahun waktu itu. Sekarang Vika sudah berusia 14 tahun. Tiga tahun berlalu begitu cepat. Itu artinya tiga tahun sudah gelar S2 jurusan Fisika melekat di bagian belakang nama Raka. Muhammad Raka Al-Ghazali M.Pd.Fis. Dan adiknya itu sudah mahir mengerjakan pekerjaan rumah di usianya yang masih terbilang belia. "Gimana Mas pengalaman pertama jadi dosen?" "Menyenangkan. Mas suka." "Mahasiswanya gimana, Mas? Pada genit gak sama Mas?" Seketika di pikiran Raka muncul sosok wajah yang menyiramnya tadi. "Mas?" "Ya? Gak kok, gak semua." "Berarti ada, Mas? Wah, kalau itu sih Vika gak heran." "Sudah, sudah. Buruan habisin makanan kamu, Mas mau ajak kamu jalan-jalan." "Asyik!!" *** Setelah turun dari taxi, Abira langsung masuk ke dalam rumah dan berbaring di sofa. Ia memijat kepalanya yang terasa pusing. "Sudah pulang, Ra? Gimana kuliah kamu? Lancar?" Abira bangkit, "Lancar, Ma," jawab Abira lesu. Monica menyipitkan matanya mempertajam penglihatan. "Kamu kenapa? Kelihatannya lagi kesal." "Mama tau tetangga kita di sebelah?" "Tau. Emang kenapa? Kamu naksir?" Abira langsung berdiri pindah tempat duduk di samping Mamanya, "Iya, Ma." "Terus Doni gimana?" "Ah Mama. Doni kan bukan pacar Bira lagi." "Oh, ya? Kapan kamu putus?" Abira mengambil cemilan yang ada di tangan Mamanya, "Em... Seminggu yang lalu." "Kapan Mama bisa nimang cucu, ya?" "Ah, Mama. Bira kan belum mau nikah. Tamat juga belum." "Bira?" "Mm? Apa, Ma?" "Kamu beneran naksir sama tetangga sebelah?" Abira mengangguk antusias, "Iya, Ma. Bira suka. Nih ya Ma, menurut Bira, tetangga sebelah itu yang paling perfect di antara semua mantan Bira." "Masak?" "Coba deh Mama bandingin. Sebentar," Abira buru-buru menaiki tangga menuju kamarnya. Tak lama ia kembali dengan tas kecil berwarna merah mudah. Bira mengeluarkan foto-foto pria dari dalam tas itu menyusunnya di atas meja. "Bian, Andra, Rama, Kinan, Glen, Gilang, Bagas, Putra, Juan, dan yang terakhir, Doni, " Abira menyusun berurutan foto-foto itu. "Ini top sepuluh mantan Bira. Dan ini," Abira mengeluarkan ponselnya lalu mencari i********: Raka, "Ini tetangga sebelah. Di antara mereka mana menurut Mama yang paling, paling dan paling?" Monica memperhatikan satu persatu foto di atas meja yang disusun Abira. Setelah itu ia melihat wajah Raka dari ponsel Abira, "Ini," kata Monica menunjuk layar ponsel Abira. "Kan?" Abira melompat kegirangan, "Raka is the best, Ma!!" teriaknya histeris. Abira yang tadi kembali dari kampus dengan wajah ditekuk, sekarang berubah menjadi senang luar biasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN