Bab 2. Dosen?

1046 Kata
Hari Senin ini ada jam tiga jam mata kuliah. Abira dan Gladis sedang menempuh semester tiga di jurusan pendidikan Fisika. Abira sudah setengah jam lalu bangun dari tidurnya dan langsung mandi. Sekarang pukul 07.30. Abira tengah memoles wajahnya dengan make-up seperti biasa. Tipe make-up biasa Abira adalah normal saja, tidak terlalu mencolok. Itu karena dia memang lebih suka terlihat natural. Lagi. Si kebo, Gladis, belum juga bangun dari tidurnya. Jam kuliah mereka akan dimulai pukul 08.30, dan Gladis belum bangun juga dari tidurnya. "Tuhan! Kapan kau angkat penyakitnya?" Abira bangkit dari meja riasnya berjalan mendekati Gladis yang tengah mendengkur. Kali ini ia tidak melakukan hal yang sama seperti semalam. Abira memilih untuk mencubit paha Gladis sekuatnya. "Aaaa…." teriak Gladis kesakitan sambil mengelus pahanya. "Apa sih, Ra? Please biarin gue tidur nyenyak sehari…. aja." "Kita ada kuliah hari ini. Kalau lo mau terlambat silahkan. Gue gak ikutan." "Apa? Kuliah?" Gladis melompat dari tempat tidur, langsung menyambar handuk Abira. "Woi! Itu handuk gue!" "Pinjem…." jerit Gladis dari dalam kamar mandi. *** Setelah berkendara selama dua puluh menit di jalan raya, mereka berdua kini telah sampai di kampus. Abira dan Gladis merupakan mahasiswi di Universitas Gunamaju, Jakarta Utara. Persahabatan mereka sudah empat tahun berjalan. Mereka dipertemukan di acara olimpiade di Universitas ini dulu. 17 Maret 2017 Siang itu Abira tertinggal teman-temannya yang mewakili sekolah mereka. Ia berjalan entah kemana mengikuti kakinya. Hari itu Abira juga baru pertama kali menginjakkan kaki di universitas Gunamaju yang sekarang menjadi tempatnya melanjutkan jenjang pendidikan. Karena hari yang lumayan terik, berjalan dua puluh menit saja membuat Abira banjir keringat. Ia memutuskan untuk meneduh di bawah pohon di dekat musholla waktu itu. Ia mengipas-ngipaskan buku materinya ke wajah. Mungkin hari itu adalah hari apes Abira. Baterai ponselnya habis, dan ia harus tertinggal dari kelompoknya. Tiba-tiba ada seorang gadis memakai kacamata bulat besar dan rambut diikat dua menyodorkan sebotol Aqua dingin kepada Abira. Gadis itu adalah Gladis. Abira menatap gadis itu bingung sambil bertanya dalam hati kenapa dia melakukan itu. "Ini ambil. Buat kamu." Karena memang merasa haus, akhirnya Abira menerima dengan sedikit perasaan canggung. "Kamu dari SMA Sinar Baru, ya?" tanya Gladis. "Iya, benar." Gladis mengeluarkan tangannya, "Kenalin. Aku Gladis, dari SMA Mawar Melati." Abira masih dengan rasa canggungnya menerima jabatan tangan itu, "Abira." "Kamu sendiri? Yang lain ke mana?" "Aku tertinggal dari kelompok." Begitulah kisah singkat pertemuan mereka yang akhirnya menjadi sahabat seperti sekarang. *** "Dis. Coba lihat itu," Abira menunjuk seorang gadis yang memakai seragam putih abu-abu dengan kacamata hitam besar dan rambut ikat dua persis seperti Gladis dulu. "Itu gaya lo empat tahun yang lalu," Abira tertawa renyah. "Cantikkan?" ledek Abira di tengah tawanya. "Udah ah. Malu gue." Terlihat pipi Gladis memerah melihat cewek yang ditunjuk Abira. Jika diingat, Gladis pasti akan merasa malu jika mengingat bagaimana style-nya ketika masa SMA. "Tungguin gue." Gladis mempercepat langkahnya menuju kelas karena tidak ingin diejek lagi oleh Abira. "Hari ini jam Pak Burhan, kan? Sleeping time…!!!!" sorak Gladis. "Yang ada di otak lo itu cuman tidur, ya?" tanya Abira ketika sudah berhasil menyeimbangi jalan Gladis. "Ya terus mau apa lagi? Pelajaran? Gak usah ditanya kalau itu." "Idih. Sombong amat lu jadi orang." Kini mereka sudah di depan kelas. Abira membuka pintu. "Kan gue ngomong fakta." "Ya tapi gak gitu juga kali." Ketika mereka sudah masuk ke dalam ruangan. Baru ada sekitar sepuluh mahasiswa dan mahasiswi yang datang. Ditambah mereka berarti total seluruhnya ada dua belas. Jumlah mahasiswa di kelas mereka ada dua puluh lima. Satu persatu mulai berdatangan, dan kini kelas telah lengkap. Hanya saja pengajarnya yang belum datang. Sudah sebulan ini jam Pak Burhan kosong. Dosen itu pindah mengajar di Universitas di kampungnya. Untuk tipe mahasiswa yang hobi molor seperti Gladis, tentu saja jam kosong ini akan digunakan untuk melanjutkan tidur pagi hari. Tapi untuk mahasiswa tipe seperti Abira, maka ia akan menggunakan waktunya ini untuk mengerjakan soal-soal hitung-hitung menghabiskan waktu luang. Pintu masuk terbuka, muncul dari sana dua orang pria yang usianya terpaut cukup jauh jika dilihat dari wajah mereka. Satu orang tentu sudah dikenali mahasiswa yang lainnya, dia pak Hadi, wakil rektor Universitas Gunamaju. Dan yang satu lagi tidak asing di mata Abira, itu adalah tetangga gantengnya yang baru pindah kemarin. Dengan penuh antusias Abira menendang kursi Gladis dan membuatnya terbangun. "Gladis, Gladis. Lo liat itu," bisiknya. "Apaan sih? Ganggu orang tidur aja tau." "Itu tetangga gue. Tetangga yang ganteng." Gladis mengucek matanya, "What? Jangan bilang…" "Kayaknya iya. Dia yang gantiin Pak Burhan. Wah kalo gini gue jadi makin semangat ngampus." "Selamat pagi semua. Perkenalkan, ini Pak Raka. Beliau akan mengajar di sini menggantikan Pak Burhan. Saya mohon kerja samanya." "Baik, Pak," ucap seluruh mahasiswa hampir kompak. "Baiklah, kalau begitu saya permisi." *** "Materi hari ini saya sudahi sampai di sini. Jika ada yang ingin ditanyakan bisa ke ruangan saya. Terima kasih." Abira yang sedari tadi menumpukan dagunya di dua telapak tangannya terus tidak berkedip. Melihat Raka menjelaskan materi sedetail itu jelas membuatnya berhenti mengerjap. Ternyata bukan hanya wajah tampannya saja yang membuat Abira terpesona. Keilmuan yang dimiliki Raka juga membuat Abira semakin klepek-klepek kalau istilah anak zaman sekarang. "Kantin, yuk. Gue laper." "Dis. Jantung gue, Dis, jantung gue. Jantung gue gak aman." Abira memegangi jantungnya dramatis. "Lo jangan macem-macem, Ra. Lo mau dijadiin bahan gosipan satu kampus?" Abira langsung menoleh ke arah Gladis, "Terserah mereka mau bilang apa. Gue gak peduli. Yang penting dosen ganteng itu jadi milik gue. Siapa tadi namanya? Mm…" "Raka. Pak Raka." Abira menjentikkan jarinya, "Yaps. Raka." Gladis hanya bisa mengerlingkan matanya malas menanggapi lebih jauh tingkah Abira. *** Usai kembali dari kantin menuju ruang kelas, Abira melihat ada kerumunan ramai di ruangan Pak Burhan. "Itu ada apa?" "Hmm?" respon Gladis sambil bermain handphone. "Itu. Di ruangan Pak Burhan. Emang ada apa? Pembagian sembako?" "Mau liat? Ayo." Abira dan Gladis langsung menuju kerumunan itu. Begitu sampai di sana, Abira langsung merasa naik pitam. Melihat gadis-gadis menatap wajah di dalam ruangan itu membuat Abira marah. Mereka semua tampak memasang wajah genit kepada Raka. "Rizki Nazar lewat kalo ini, mah." "Apa lagi Jefri Nichol." "Ya Tuhan. Alangkah indahnya ciptaan Mu." Merasakan darahnya semakin mendidih, Abira memutuskan untuk pergi dari kerumunan itu. Gladis langsung mengejar dan bertanya, "Lo kenapa, Ra? Kok pergi? Bukannya lo suka liat Pak Raka?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN