"Nyonya mau pergi ke mana?" tanya Bi Ijah—pembantu yang sudah bekerja sepuluh tahun di rumah Monica.
"Saya mau bertamu ke rumah sebelah, Bi."
Sebenarnya jadwal Monica hari ini adalah harus mensurvei tempat yang akan disulapnya menjadi butik bersama teman-temannya. Tapi demi Abira, Monica akan melakukan sesuatu terlebih dahulu.
Bukan hanya Abira saja yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Monica juga. Baru melihat fotonya saja Monica langsung bisa merasakan bahwa Raka ini cocok untuknya. Dan entah kenapa terbesit di hati Monica bahwa Raka ini yang akan menjadi pelabuhan terakhir anaknya dalam menemukan cinta sejati.
"Rumah dosen yang ganteng itu?"
Monica memasang senyum. Rumah yang baru diisi dua hari lalu itu, pemiliknya sudah berhasil mengambil hati anaknya. Di tangan Monica ada bingkisan berisi desert box.
"Semoga berhasil, Nyonya!"
Monica menjalankan niatnya.
Sampai di depan rumah Raka, Monica memencet tombol rumah.
Seorang anak perempuan yang tingginya tidak lebih dari 150 cm membuka pintu.
"Dengan siapa?"
Monica tersenyum memandang wajah gemas Vika.
"Kamu adiknya Raka?"
Vika mengangguk.
"Boleh Tante masuk?"
"Silakan, Tante!"
__00__
Begitu pintu mobil dibuka, beberapa mahasiswi langsung menghampiri Raka. Mereka sibuk memotret wajah Raka dan berebut ingin dapat foto dalam satu frame dengan dosen baru yang tampan di kampus mereka itu.
Raka merasa sesak. Dia langsung menghalau para mahasiswi untuk memberikannya ruang. Kejadian semacam ini masuk daftar list yang tidak Raka sukai.
"Maaf, ya. Saya harus ke ruangan sekarang."
Raka berjalan cepat meninggalkan perempuan-perempuan yang tadi mengerubunginya.
Sampai di ruangannya Raka langsung melepas jasnya, menyampirkan di sandaran kursi. Raka menghela napas sembari melepas kacamatanya, meletakkan di atas meja.
Tidak ada bedanya antara kampus baru tempatnya mengajar sekarang dan kampus lamanya dulu. Setiap kali Raka turun dari mobil pasti ada saja yang berebutan meminta berfoto dengannya. Raka terkadang merasa risih. Lebih-lebih lagi rata-rata yang meminta foto dengannya tidak menutup aurat dengan benar. Dia tidak suka itu.
Raka melihat jam dinding. Setengah jam lagi waktunya dia masuk, mengajar di kelas Abira dan Gladis. Raka menghela napas. Dia harus bertemu dengan gadis keras kepala yang memaksa menumpang dengannya.
__00__
"Lo kenapa, sih?" tanya Gladis tidak suka. Di pikiran Gladis sekarang kenapa Abira harus bersembunyi menghindar agar tidak bertemu dengan Doni. Ini first time bagi Abira bertingkah seperti itu. Dia tidak pernah malu ataupun menghindar bertemu dengan mantan-mantannya. Tapi, kenapa sekarang dia berusaha agar tidak bertemu dengan Doni?
"Gue juga gak tau, Dis. Gue ngerasa takut kalau ketemu Doni."
Gladis menepuk jidat Abira. "Lo bilang Doni manja, tapi kenapa lo takut?"
"Iya. Dia emang manja. Tapi, gue ngerasain ada aura yang beda dari dia. Makanya gue berusaha supaya jangan ketemu."
Abira mengelus keningnya yang ditepuk Gladis. Dan ini juga kali pertamanya Abira takut dengan laki-laki. Selain ceplas-ceplos, Abira juga biasanya tidak mengenal kata takut.
Mereka berdua sedang berjalan di koridor menuju kelas sekarang. Beberapa mahasiswa laki-laki menyiuli Abira. Mata mereka tidak berpaling, bahkan sampai kepala mereka mengikuti ke mana arah Abira berjalan.
Kalau laki-laki catcalling maka yang perempuan sedang mencibir Abira sekarang. Mereka merasa perempuan seperti Abira cocok untuk dilebeli sebagai w************n yang senang digoda laki-laki.
Mungkin bagi sebagian orang itu adalah sebuah tindak pelecehan. Tapi tidak bagi Abira. Baginya itu adalah sebuah keberuntungan. Kenapa? Karena memang kecantikan sudah diakui dan tak tertandingi. Hidup selama 20 tahun, belum ada satu laki-laki pun yang tidak tertarik jika melihat Abira.
Abira bukan tipe perempuan yang baperan kalau bahasa anak sekarang. Dia tidak mengacuhkan apapun yang orang lain katakan tentang dirinya. Bagi Abira, selagi itu tidak merugikan orang lain, bodoh amat! Yang penting dia always happy.
Jangan lupakan Gladis yang selalu berbanding terbalik dengan Abira. Dia … sudah sering menasihati sahabatnya itu. Gladis sudah sering memberikan saran kepada Abira untuk segera mengubah perilakunya. Apa yang Gladis dapatkan? Abira akan menjitak jidat Gladis lalu mengancam jatah traktiran akan dikurangi.
Sampai di kelas Abira duduk di tempat biasa. Gladis duduk di samping Abira.
Tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan hoodie hitam datang menghampiri.
"Hai, Abira!" sapa laki-laki itu riang. Dia berdiri di samping Abira.
Abira mengerlingkan bola matanya malas.
"Hm."
"Lo kosong gak?"
"Nggak. Habis kuliah gue mau shoping," jawab Abira ketus.
Laki-laki itu tersenyum.
"Pas dong. Kalo gitu gue temenin mau?" tawarnya.
"Nggak. Terima kasih. Gue sama Gladis aja."
Gladis menyikut lengan Abira, memberinya kode untuk tidak berbicara ketus kepada laki-laki itu. Alih-alih merespon, Abira justru menegakkan postur duduknya tanpa melirik ke wajah yang mengajaknya bicara.
Laki-laki itu tidak lagi berkata-kata, tapi tidak juga pergi. Abira merasa tidak suka laki-laki itu berdiri di sampingnya. Abira berkata, "Udah, kan? Tunggu apa lagi?" ujar Abira semakin ketus.
Itulah Abira. Harus digarisbawahi bahwa Abira hanya menginginkan lelaki tampan. Bukan yang potongannya seperti laki-laki yang barusan mengajaknya jalan. Laki-laki yang tadi berambut kribo dan mekar. Kulitnya juga hitam. Selain itu wajahnya juga jauh dari standar tampan Abira. Maka tanpa perlu memikirkan perasaan laki-laki itu jika mendengar omongannya, Abira langsung menolak ajakan laki-laki itu.
"Lo bisa gak sih jangan kasar jadi perempuan?" sergah Gladis. Sudah tidak terhitung ini kali keberapa Gladis mengingatkan Abira.
"Gue gak kasar kok, Dis. Gue cuman menyesuaikan aja. Lagian emang dia siapa berani ngajakin gue jalan?"
Gladis hanya bisa geleng-geleng kepala setelah mendengar penuturan sahabatnya itu. Abira belum berubah juga.
Yang bisa Gladis lakukan hanya mendoakan sahabatnya agar lekas berubah. Meskipun bisa dibilang kemungkinannya nihil.
__00__
"Gimana? Kamu suka?" tanya Monica. Melihat Vika makan dengan lahap seperti itu mengingatkan Monica saat Abira masih seusia Vika. Kalau sudah makan coklat, pasti sekitar bibir Abira cemang-cemong.
Vika mengangguk cepat. Desert box yang Monica bawakan untuknya terasa enak di lidah Vika. Selain itu coklat memang makanan favoritnya.
Monica memperhatikan interior rumah. Tidak jauh beda dengan rumahnya. Hanya saja rumah Raka terlihat lebih kosong dari rumahnya. Hanya ada sofa di ruang tengah dan televisi. Itu tidak heran. Raka juga baru pindah dua hari yang lalu.
Selain itu tidak ada sama sekali foto keluarga di pajang di dinding. Monica berpikir positif. Mungkin saja Raka belum sempat untuk menempelkannya.
"Kalau kamu kesepian, ke rumah Tante aja. Nanti Tante kasih kue coklat yang banyak."
"Beneran, Tante?" Vika terlihat sangat antusias. Wajahnya berseri-seri.
Vika yang sudah duduk di bangku SMP itu langsung berubah seperti anak-anak jika sudah mendengar kata coklat. Usia 14 tahunnya seketika langsung berubah menjadi anak TK yang ditawari kue kesukaannya.
"Mulai besok Vika udah sekolah, Tante. Tapi Tante tenang aja, nanti Vika bakal main ke rumah Tante."
Vika melanjutkan menyuap.
Bersambung...