Bab 5. Unek-unek

1009 Kata
Terdengar suara klakson mobil. Abira balik badan. Toyota Agya merah merapat ke pinggiran jalan.  Gladis keluar.  "Sorry, Bira…," ujar Gladis memasang wajah bersalah. Dia juga mengatupkan kedua tangannya sebagai simbol permohonan maaf. Abira berkacak pinggang. Ingin marah sebenarnya, tapi Abira langsung teringat, kalau bukan karena Gladis, dia tidak akan bisa menumpang mobil Raka tadi. Jadi, Abira hanya menghela napas saja. "Kali ini gue maafin," Abira berkata dengan nada polos. Wajah bersalah Gladis pudar digantikan senyuman manis.  Mobil berjalan memasuki area kampus. Pepohonan yang rindang di pinggiran jalan aspal membuat suasana terlihat asri. Beberapa mahasiswa dengan outfit mereka yang bermacam-macam menambah warna di sekitaran kampus. Beberapa duduk di bangku di bawah pohon sambil membaca buku, ngerumpi, bercanda-gurau, dll. Mobil Toyota Agya merah Abira diparkirkan Gladis. Masih sunyi, hanya ada dua mobil di sana. Mobil Abira dan mobil yang Abira dan Gladis hapal betul milik siapa. "Lo duluan deh yang turun." Gladis melepas sabuk pengamannya, menoleh. "Bukannya lo bilang lo udah putus sama Doni?"  Abira masih melihat dari jendela mobil. Dia ingin memastikan apakah Doni sudah keluar dari mobilnya atau belum. "Bira." "Ha?" Abira menoleh. "Udah seminggu yang lalu. Tapi, lo tau sendiri kan Doni itu orangnya gimana." Gladis geleng-geleng kepala. "Lo udah tau Doni orangnya ringan tangan, masih aja lo pacarin." "Namanya juga ganteng, Dis. Lagian sekarang kan udah putus gue sama dia." "Terus sekarang gimana?" "Lo keluar duluan. Lo intip si Doni masih ada di dalam atau udah ke kelas." Gladis hanya bisa mengeluh dalam hati. Sahabatnya yang hobi gonta-ganti pacar ternyata mentalnya masih mental tahu.  Gladis meraih tas kemudian keluar dari mobil. Abira melihat dari dalam mobil. Gladis mendekati mobil hitam Doni. Dia mengetuk jendela. Tidak ada balasan. Gladis memberikan kode, menyuruh Abira keluar. Doni tidak ada di dalam mobilnya. __00__ Seminggu yang lalu. Usai makan malam Abira langsung naik ke kamarnya. Abira berniat ingin mengerjakan tugasnya.  Baru saja menekan tombol on di kibor laptop, ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Doni. "Halo, Sayang!" sapa Doni riang seperti biasa.  "Ada apa, Sayang?"  "Kamu lagi apa?" "Mau ngerjain tugas. Kenapa?" Abira membuka folder file, memilah tugas mana dulu yang mau dia kerjakan. "Keluar yuk. Ada yang mau gue omongin." Abira langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Rasanya ini adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan segala unek-uneknya yang sudah Abira pendam selama dua bulan lamanya. "Halo?" Abira mengepalkan tangan kirinya, memukulkan ke meja. Baiklah, sekarang waktunya. "Ya, Sayang?" Abira melembutkan suaranya. "Mau?" "Oke. Aku siap-siap dulu, ya." Abira memutuskan sambungan telepon.  Waktu yang Abira tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Sudah muak rasanya terus berpacaran dengan Doni. Abira sama sekali tidak pernah menyangka bahwa sosok Doni yang diminati para mahasiswa di kampusnya ternyata tidak semenarik itu. Maka sekarang Abira memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Doni. Rasanya memang harus dilakukan. Dan faktor lainnya Abira memang sudah bosan berhubungan dengan Doni. Abira memang tipe perempuan yang mudah bosan saat pacaran dan dialah yang biasanya akan memutuskan hubungan pertama kali. Ditambah lagi dengan tingkah Doni yang membuat Abira muak, maka tidak ada tindakan yang lebih tepat lagi untuk dilakukan Abira selain memutuskan Doni. Abira memilih atasan kemeja warna krim dan celana jeans hitam dipadukan dengan sepatu putih. Dan jangan lupakan tas samping hitam kesukaan Abira. Seperti biasa make-up yang Abira poleskan di wajahnya tidak terlalu mencolok. Setelah semuanya siap Abira mengambil ponselnya yang tadi dia lemparkan ke atas tempat tidur. Dia berjalan keluar kamar.  Saat menuruni tangga, Monica melihat Abira. Saat itu Monica tengah membaca majalah di ruang tengah. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Monica seraya melepas kacamatanya. "Mau keluar, Ma." "Sama Doni?" "Iya, Ma." Abira ikut duduk di sofa di samping mamanya. "Jangan pulang kemalaman!" "Mama tenang aja. Bira gak bakal pulang kemalaman. Paling pagi aja." Abira tertawa sambil bangkit dari sofa mengindari cubitan mamanya. Suara klakson mobil. "Bira berangkat, ya, Ma. Itu Doni udah sampai." Usai mencium pipi kanan dan kiri mamanya Abira bergegas keluar rumah. Doni membawa Abira ke restoran yang biasa mereka datangi saat nge-date. Restoran dengan gaya klasik ini tidak pernah mengenal kata sunyi. Pengunjungnya selalu ramai. Mulai dari anak kuliahan seperti mereka dan juga orang tua yang membawa anak-anak mereka. Selain itu para pekerja kantoran juga sering mampir ke restoran itu karena letaknya strategis. Abira tidak ingin berlama-lama. Dia ingin keluar dan memenuhi ajakan Doni karena ingin menyampaikan unek-uneknya. "Kamu mau pesen apa?" tanya Doni sembari membuka daftar menu. Abira menarik napas sebelum memulai pembicaraan.  "Gue mau kita putus." Tangan Doni seketika berhenti membalik lembaran selanjutnya dari buku menu. Kepalanya terangkat, beralih dari buku menu, menatap mata Abira dengan tanda tanya. Wajah Doni juga seketika datar. "Gue mau putus," ulang Abira. Dia kembali menarik napas. "Gue bosen pacaran sama lo, Doni." Doni langsung tertawa. Dia menempelkan punggung tangannya ke jidat Abira.  Diam beberapa saat. "Kamu gak demam. Gak lucu ah becandaan kamu." "Gue serius. Gue mau putus sama lo, Don." Alis Doni terangkat. Dia tidak bisa bohong, raut wajah Doni benar-benar berubah 180° sekarang. Ada raut wajah khawatir di sana. "Kamu kenapa, Bira? Emang aku salah apa?" "Gue gak suka cowok manja, Don. Dan menurut gue lo itu manja. Jadi gue mau kita putus." Itulah Abira dengan sifat ceplas-ceplosnya. Abira bukan tipe perempuan yang bisa menghaluskan atau memendam apa yang ingin dia sampaikan. Di saat Abira melihat sesuatu yang tidak dia sukai, maka Abira tidak akan berpikir dua kali untuk mengatakannya. Seperti sekarang contohnya. Tanpa rasa ragu ataupun takut sama sekali, dia mengutarakan bahwa Doni cowok manja langsung tanpa perantara. "Lo dikit-dikit ngadu inilah-itulah, gue jijik, Don. Gue kira lo bakal bisa menuju ekspektasi gue. Ternyata gue salah. Nyesel gue nerima lo waktu itu." Ada perasaan lega di hati Abira setelah menyampaikan unek-uneknya. Tidak ada rasa sakit hati atau apalah di hati Abira. Orang seperti memang mudah sekali untuk move on. Atau bisa dibilang Abira tidak mengenal kata itu. Karena baginya berhasil menaklukkan hati lelaki tampan adalah sebuah hobi yang menyenangkan. Abira pergi meninggalkan Doni yang masih terdiam di tempat. Doni hanya bisa menatap kepergian Abira tanpa bisa berkata-kata. Dia mengepalkan kedua tangannya. Ada perasaan yang sulit dideskripsikan di hati Doni. Perasaan itu membuat darah Doni mendidih. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN