Melihat Soferina yang masih mematung, Damar meraih tangan wanita itu membawanya duduk di pinggiran kasur, "dengar, aku adalah lelaki yang tidak pernah punya niat untuk berkomitmen dengan siapa pun, karena aku menyukai kebebasan dan tidak ingin menjalani hidup terkungkung bagaikan dipenjara." Damar menghela napas, "tapi untukmu, aku berani mengubah prinsip itu, denganmu aku rela kehilangan kebebasanku, apakah itu tidak cukup? Lagipula aku telah memilikimu sekarang, begitupun kamu, memilikiku, salahnya dimana?" tanya Damar tidak mengerti.
"Bukan karena kamu telah merenggut mahkotaku hingga membuatmu harus bertanggung jawab?" tanya soferina, tatapannya menyelidik.
"Itu hanya salah satunya, karena aku ingin bertanggung jawab atas dirimu. Alasan tadi yang utama, aku nyerah sama kamu. Jangan tanya alasannya, karena aku gak tahu. Menurutku, cinta tidak perlu alasan, karena ia hadir begitu saja," jawab Damar.
Soferina menundukkan wajahnya, ia memikirkan kata demi kata yang meluncur dari mulut Damar, mencoba mengkaji keseriusannya.
"Kalau kamu masih lama, aku akan naikin kamu lagi nih ...," celetuk Damar seraya menarik tubuh Soferina ke arah kasur.
Mengingat sakit yang menyiksa di bagian bawah sana, Soferina melonjak dan berlari ke arah lemari, mulai memilih baju mana saja yang harus diangkut dulu olehnya.
Damar tersenyum melihat ancamannya berhasil, meskipun harus menahan hasrat yang tiba-tiba muncul kembali.
"Aku bermasalah dengan lembaga yang menaungiku selama ini ...," tutur Damar mencoba mengalihkan gairahnya.
"Oh ya? Bagaimana bisa begitu?" tanya Soferina tanpa menghentikan kegiatannya.
"Aku di pecat karena mendaftarkan suatu kasus korupsi yang melibatkan instansi negara. Saat ini, aku sedang menyelidiki ada keterkaitan apa bos besar sampai memecatku," jawab Damar dengan tatapan nanar.
"Aku akan membantumu," ujar Soferina.
"Ya, untuk itulah kamu harus selalu ikut aku mulai besok." Damar mengecek telepon genggamnya, banyak notifikasi di sana.
"Kemarin aku dan Ronald menyewa kantor, minggu depan kami resmi membuka kantor, sekalian aja selamatan atas pernikahan kita. Gimana?" tanya Damar. Kali ini Soferina menghentikan kegiatannya dan menoleh kepada Damar.
"Bagaimana mungkin mempersiapkan pernikahan hanya dalam jangka waktu seminggu?" Soferina terperangah dengan mata mendelik.
"Trus mau berapa lama? Tiga bulan? Kalau ternyata kamu hamil, gimana? Baru nikah enam bulan anaknya berojol, kan kasihan anak kita dong," cetus Damar.
"Masa iya hamil? Kan baru sekali?" tanya Soferina polos.
"Pembuahan itu terjadinya hanya satu kali, Nyonya Rahit, tolong Anda waspada," sahut Damar dengan santai.
Wajah Soferina memerah, jantungnya berdebar, hatinya terkesiap mendengar Damar mengatakan Nyonya Rahit. Dia memalingkan wajahnya dan kembali membereskan baju sambil tersenyum tipis. Satu kata untuk menggambarkan itu semua; Bahagia.
Lima tas koper besar yang dibawa oleh Soferina, membuat Damar menggelengkan kepalanya, "Waduh, aku harus siapin rumah tinggal yang lebih besar dong ya ...," ujar Damar sambil menatap koper-koper itu memikirkan lemarinya yang mungil.
"Itu kan urusanmu," sahut Soferina, ia tidak ingin di protes dengan barang pribadinya yang super banyak.
"Iya, Nyonya. Sudah pasti jadi urusanku, Nyonya duduk manis saja, apalagi ada bayi dalam perut, makin duduk manis," seloroh Damar menggoda Soferina yang semakin cemberut.
"Udah semua?" tanya Damar yang sudah menghabiskan kopi dua cangkir selama menunggu Soferina beres-beres. Tidak heran kalau jadinya sebanyak lima koper besar.
"Kamu harus mengganti waktu menungguku dengan ...," ucapnya terhenti berganti dengan tatapan mata menjelajahi tubuh Soferina.
Soferina memukul Damar dengan gulungan koran saking kesalnya. "Dasar m***m!" seru Soferina galak. Damar terkekeh.
"Rumah yang aku beli, baru saja selesai interiornya, kamu mau di apartemen apa di rumah?" tanya Damar serius, menatap Soferina lekat-lekat, di sana lemari bajunya sepanjang dinding.
"Memang kenapa kalau tinggal di apartemen dulu?" sergah Soferina.
"Aku cuma khawatir baju kerjaku kehilangan tempat bernaung," sahut Damar dengan mimik wajah sedih.
"Syukurlah ...," sahut Soferina. "Jam berapa mau jalan?" tanyanya.
"Sekarang, pesan taksi dulu," sahut Damar seraya memesan taksi online.
Damar termenung, kini ia harus membeli kendaraan sendiri, karena tidak bisa mengangkut Soferina kemana-mana pakai taksi, 'bisa ngomel karena kelelahan' pikir Damar.
Sampai di apartemen jam empat sore, Soferina langsung membereskan baju dan beberapa make-up serta peralatan mandi, Mendadak Damar merasa sesak, apartemen ini memiliki dua kamar, tempat baju di kamar yang lebih kecil, tetap saja tidak cukup untuk mereka berdua.
Sementara Soferina beres-beres segala sesuatu di sana, Damar tertidur. Selama itu, banyak notifikasi masuk ke telepon genggam Damar. Soferina yang merasa terganggu mengambil telepon genggam Damar yang terletak di atas meja.
Seketika matanya membelalak, karena delapan puluh persen, dari para wanita yang mengajak Damar bertemu akibat mereka merindukan sentuhan Damar. Soferina melempar telepon genggam itu secara spontan sampai jatuh kelantai dan pecah menjadi tiga bagian.
Mendengar suara keras menabrak lantai, Damar terbangun dan segera keluar kamar yang terbuka pintunya. Ia melihat pecahan telepon genggam sambil memiringkan kepalanya, seperti mengenali telepon gengam itu. Ia menoleh kepada Soferina yang tengah mematung dengan mata memerah dan berkaca-kaca. Damar mengerti situasinya, "well, kamu telah membanting hantu-hantu itu, kenapa kamu menangis, Sayang?" tanya Damar seraya memeluk Soferina dari belakang.
Soferina menepis tangan Damar yang memeluknya dan berlari lalu menghempaskan diri di sofa. Damar menyeringai, ia tahu gadis seksinya itu sedang marah karena pesan-pesan perempuan lain di telepon genggamnya.
"Sayang, aku telah memilihmu dan aku janji tidak akan berpetualang lagi, makanya aku mau kamu dampingi aku kemanapun aku melangkah, supaya kamu yakin, bahwa aku tidak akan main-main lagi," bujuk Damar seraya mendekati Soferina dan memeluknya.
Soferina menangis dalam pelukan Damar, rasanya menyakitkan saat membaca tulisan para wanita yang semuanya menagih janji untuk bercinta dengan Damar. Matanya melirik pada telepon genggam yang pecah.
seketika Soferina bangkit dan meraih telepon hancur itu, lalu mengeluarkan simcard dari selot di samping body telepon. Ia membawa simcard itu ke dapur dan mengguntingnya. Tidak sampai situ, ia meletakkan simcard tersebut di atas meja marmer dapur itu lalu membasahinya dengan minyak goreng dan membakarnya.
"Sayang, buang saja ke toilet, kalau dibakar di sini, detektor asap akan menyala, basah semua nanti barang-barang sini, keamanan ke sini semua karena terhubung dengan alaram ke sana," ungkap Damar panik.
Soferina baru sadar bahwa sekarang sedang berada di apartemen, cepat-cepat ia mengguyur api dengan air kran melalui tangannya, lalu mengambil simcard tersebut dengan tissue dan pergi ke kamar mandi. Ia membuangnya di toilet dengan perasaan puas.
Damar menggelengkan kepalanya, sekarang Ronald tidak bisa menghubunginya. "Repotnya punya bini," keluh Damar dalam hati.
"Sayang, pinjam teleponnya mau menghubungi Ronald," pinta Damar kepada Soferina.
"Oh, mau kasih kode-kode ya, buat ngasih tahu semua dayang-dayang kamu kalau kamu gak bisa dihubungi, begitu?" sentak Soferina dengan beringas.
Damar terbengong-bengong sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia sama sekali tidak terpikir untuk main kode-kodean dengan Ronald, ditambah Ronald tidak mengenal satupun dari wanita-wanita itu. Karena tidak tahu cara lain selain berdiam diri, itulah yang dipilih Damar.
"Kenapa diam? Karena yang aku katakan, benar kan?" Perkataan Soferina membuat Damar semakin kalang kabut.
"Aku tidak seperti itu, sayang ...," sahut Damar lemas. Ia memutuskan kembali ke kasurnya dan tidur.
Telepon dinding yang tersambung ke lobi apartemen berbunyi. Soferina mengangkatnya, sebelum sempat berkata 'halo' suara seorang lelaki langsung menyembur.
"Bro, udah beres semua tugas, lu napa sih gak bisa di telepon? Gua mau cerita kalau operator yang diterima di kantor kita cakep banget Bro, uh seksi abis pokoknya, Lu turun dong jemput gua." Klek. Sambungan terputus.
Soferina kembali menggeram, "Damaaarr ...!" teriaknya kencang sekali.
Damar yang baru saja diambang tidak sadar, tersentak bangun mendengar teriakan Soferina, "Ada apa lagi sih ini," keluhnya dalam hati seraya melompat keluar dan bingung melihat wajah Soferina yang marah.
"Aku? Salah apa?!" tanya Damar dengan wajah bingung.
"Jadi, kamu sengaja terima cewe buat jadi pegawaimu itu yang cantik dan seksi?" serang Soferina.
"Aku tidak menerima pegawai, kan hari ini ke rumahmu ... yang terima Ronald," sahut Damar masih tidak mengerti.
"Ayo, ke bawah!" ajak soferina berseru.
"Ngapain?" tanya Ronald semakin tidak mengerti.
"Ayoo ...," Soferina menarik tangan Damar, tidak lupa mengambil kunci akses di dinding samping pintu.
Wajah dan rambut Damar kusut masai, tapi justru tampak tampan menggoda. Bahkan di mata Soferina, lelaki yang sedang menyender pada besi pegangan lift itu sangat seksi memakai kaus tipis yang agak lusuh.
Mereka sampai di lobi, dan Ronald langsung menghampiri Damar dengan langkah-langkah panjangnya. "Bro, telepon lu mati ya? Gimana gua mau laporan?" Ronald nyerocos sementara Damar hanya menatapnya dengan pandangan mata nanar.
"Lu kenapa sih, Bro? Sakit ya? Kaya habis dihajar aja, cewek yang tadi siang bikin lu terbirit-b***t dari kantor galak banget emang?" tanya Ronald terkekeh.
"Ya, galak banget, tuh dia orangnya. Lu salah-salah ngomong, dia ngamuk ke gua, gua bunuh lu!" Damar teriak emosi.
Ronald terkejut melihat keseriusan Damar, begitupun Soferina. Ia tidak menyangka kalau sikapnya membuat Damar sedemikian marah kepada Ronald.
"Sorry, Bro, gua gak ngomong apa-apa sama dia, baru juga lihat, tadi kan elo yang angkat telepon gua ...," Ronald menjelaskan.
BUK
Damar meninju Ronald tepat di wajahnya. Ronald yang tidak waspada terhuyung ke belakang, darah segar mengucur dari hidung Ronald. "Pecat cewek yang katamu cantik seksi itu, cari cewe jelek yang udah tua! Paham?!" seru Damar dengan emosi kepada Ronald.
Damar menoleh kepada Soferina yang terbelalak, "Puas kamu, Ha?! Ini yang kamu mau? merusak persahabatan aku sama dia?!" Damar berteriak kepada Soferina. "Pulang!" teriaknya lagi menyuruh Soferina naik ke atas.
Soferina bergegas naik lift sendiri sambil bercucuran air mata. Merasa sakit karena dibentak oleh Damar di depan orang lain.
Damar meraih tangan Ronald dan membawanya ke klinik di lantai dua. Wajahnya semakin kusut. Ronald tidak percaya dengan penglihatannya. Setahu dirinya, Damar bukan pemarah seperti tadi.