Bab 18. Mungkinkah Kembali Bersama?

1082 Kata
Laura hanya diam saja mendengar pengakuan Erikkson soal Cassidy. Sedangkan Erikkson tetap menatap lekat pada Laura. Sebelah tangannya membelai rambut Laura dan memindahkannya. “Aku rasa dendam tidak akan selesai hanya dengan saling membalas. Cass sudah mendapatkan pelajarannya. Dia bahkan sudah mengaku pada orang tuamu─” “Apa?” sahut Laura kaget. Erikkson menaikkan ujung bibirnya dan mengangguk. “Iya, sebelum dia pergi mencari Sophie. Cassidy sudah bertemu dengan kedua orang tuamu. Dia menjelaskan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Termasuk konspirasinya membuat Sophie terlihat hamil agar bisa menikahinya. Cassidy menerima semua hukuman yang akan diberikan pada orang tuamu,” ujar Erikkson menjelaskan. Laura masih tertegun. Ia tidak tahu jika kedua orang tuanya mengetahui apa yang sudah terjadi pada Sophie dan Cassidy yang sebenarnya. Selama ini Laura menutupi semuanya dari orang tuanya. Ia tidak ingin melihat mereka kecewa karena seluruh masalah terjadi berawal dari Cassidy. “Apa itu artinya orang tuaku sudah tahu di mana Sophie sekarang?” tanya Laura. “Iya, untuk apa kamu terus menutupinya.” Erikkson menjawab lalu kembali meneruskan makan. “Tapi Ayahku tidak mengatakan apa pun─” “Ayahmu dan aku sudah memiliki perjanjian, Laura,” jawab Erikkson lalu mengunyah pelan makanannya. “Perjanjian apa?” “Jika Cassidy berhasil membawa pulang Sophie ke New York, maka mereka bisa bercerai. Sophie bisa mendapatkan identitasnya kembali seperti dulu. Jadi untuk apa berlari terlalu jauh? Tidak ada gunanya.” “Aku sudah bilang dia melakukan itu untuk membalas Cassidy!” sahut Laura kembali ngotot. Erikkson mengangguk masih tersenyum. “Kalau begitu dia sudah bisa berhenti. Mereka sudah saling membalas satu sama lain bukan? Impas, semuanya sudah impas. Sekarang giliran kita─” Erikkson meletakkan lengannya di belakang punggung Laura untuk merangkulnya tetapi dengan cepat Laura menolak. “Kamu mau apa?” “Menikah denganmu!” jawab Erikkson cepat. Ia bahkan menyengir tanpa rasa bersalah sama sekali. “Huh? Tidak, aku tidak mau menikah dengan pria yang suka mempermainkan wanita sepertimu!” sahut Laura menyindir dengan suara lembutnya. Matanya membesar dan Erikkson makin terpana melihatnya. “Kamu sangat cantik jika cemburu dan marah. Juga ... seksi ...” Mata Erikkson dengan berani mengintip lekuk tubuh Laura dari balik jubahnya yang sedikit tersingkap oleh terpaan angin laut. “Jangan kurang ajar, Erik!” “Apanya yang kurang ajar? Aku hanya kekurangan kasih sayangmu, Peaches,” goda Erikkson lalu mengedipkan sebelah matanya. Laura jadi salah tingkah tapi gengsi. Ia membuang muka tak mau ketahuan merona karena digoda. Erikkson malah terkekeh kecil lalu sengaja menyingkap pundak Laura agar bisa menyentuh kulitnya yang lembut. “Jangan!” Laura melotot seketika. “Atau kamu mau yang lainnya? Aku bisa memberikannya kapan saja,” ujar Erikkson menawarkan diri tanpa malu-malu. Wajah Laura makin memerah. Bagaimana Laura bisa menolak Erikkson yang tampan? Pria itu punya seribu pesona yang membuat Laura tidak bisa mencari pria lain untuk menggantikan mantan kekasihnya itu. “Kamu sudah memiliki kekasih, Erik!” hardik Laura dengan sikap kesalnya yang manis. “Oh ya? Yang mana?” Erikkson pura-pura tidak tahu. “Oh apa kekasihmu terlalu banyak sampai melupakan nama mereka? Kamu benar-benar luar biasa, Erik!” sindir Laura mencoba memojokkan. Erikkson membalas dengan tertawa. Ia menggelengkan kepala pada Laura yang malah mengernyit tak mengerti. “Kenapa kamu tertawa? Apanya yang lucu! Sebaiknya lepaskan aku, aku tidak punya waktu bermain denganmu!” Laura menambahkan dengan rengek manja yang membuat Erikkson makin gemas. “Oh Peaches. Kamu tahu kenapa aku sangat mencintaimu? Kamu adalah wanita yang bisa membuat aku tertawa bahagia lepas seperti sekarang. Aku tahu kamu juga masih mencintaiku. Keputusanmu untuk memutuskan hubungan denganku dan membatalkan pernikahan kita adalah keputusan yang keliru, iya kan? Jangan gengsi mengakuinya!” ujar Erikkson membuat Laura mendengus kesal. Ketika Laura hendak membuka mulutnya, Erikkson kembali membungkamnya. “Aku akan memberikanmu pilihan. Besok, setelah kita berlabuh. Jika kamu datang ke kapel tempat pemberkatan maka, kita akan menikah. Jika kamu tidak datang, kamu boleh pergi dan aku tidak akan mengejarmu lagi.” Laura terdiam menatap Erikkson yang bicara serius dibalik senyumannya. Jantung Laura berdegup kencang saat ini. “Usiaku sudah tidak lagi muda, Sayang. Jika aku tidak menikah ya sudah. Kamu adalah pelabuhan terakhirku. Apa kamu juga merasakan yang sama? Kita buktikan besok.” Erikkson lalu mengambil gelas berisi air dan meminumnya sampai habis dan pergi meninggalkan Laura. Laura hanya diam memperhatikan Erikkson yang memilih masuk ke dalam. Tak berapa lama, kapal yang semula diam perlahan bergerak. Erikkson membawa kapalnya menuju sebuah dermaga dan berlabuh. Besok, ia akan menikah dengan Laura jika pengantin wanita itu datang. Sementara itu, Sophie tidur sangat nyenyak semalam. Selama ia hamil, baru kali ini Sophie tidur tanpa rasa cemas. Sophie memeluk sesuatu yang hangat dan terperanjat kaget saat melihat wajah Cassidy begitu dekat dengannya. Cassidy tersenyum lebar melihat Sophie yang memeluk lengannya yang begitu hangat. “Kamu ....” “Semalaman kamu memelukku, Sophie. Apa kamu menyadarinya?” ujar Cassidy menyandarkan kepala dengan sebelah lengan yang ditekuk ke belakang kepala. Sophie mencoba duduk dengan susah payah karena perutnya. “Lain kali jangan tidur lagi di ranjangku!” sahut Sophie memperingatkan Cassidy. Cass hanya tersenyum lalu ikut bangun. Ia melepaskan kaos yang dikenakannya di depan Sophie. Sophie jadi salah tingkah lalu membuang mukanya ke arah lain. “Untuk apa melepaskan pakaiannya seperti itu?” gumam Sophie menggerutu. “Aku mau olahraga dulu. Setelah aku pulang, aku ingin sarapan yang enak!” ujar Cassidy memerintahkan dengan santai. Ia mengganti pakaian dengan kaos baru berwarna putih yang sedikit ketat. Lekuk otot dan tato yang dimiliki Cassidy terlihat begitu menggugah selera akan rasa haus belaian. “Apa!” sahut Sophie tidak percaya. Tubuh Cassidy sudah sempat membuat konsentrasi Sophie teralihkan beberapa detik sebelumnya. “Iya.” Cassidy hanya menjawab ringan lalu berlalu pergi sambil bersiul keras memanggil anjingnya. Sophie pun segera bangun dari posisinya untuk mengintip Cassidy yang berjoging bersama anjingnya. Ia mengenakan topi dan keluar dari pekarangan rumah Sophie. “Ini kesempatanku untuk pergi. Oh, di mana ponselku?” Sophie mencari ponselnya untuk menghubungi Laura. Ia harus memastikan jika Laura datang untuk menjemputnya. Namun, berkali-kali Sophie menghubungi Laura, tidak ada jawaban sama sekali. “Apa yang terjadi? Kapan Laura tiba?” gumam Sophie lagi. “Sebaiknya aku bersiap-siap saja.” Sophie pun segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian. Ia bahkan ikut membereskan pakaian dan dimasukkan ke dalam koper. Sambil menunggu, Sophie membuat sarapan dan sedikit bekal. Ia tidak ingin kelaparan di jalanan. Sophie masih terus menghubungi Laura di sela-selanya mempersiapkan diri. Laura masih belum menjawabnya sama sekali. Kali ini perasaan Sophie makin resah. “Sophie?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN