Bab 13. Cinta Lama Yang Menyakitkan

1082 Kata
Cassidy memutuskan bangun dari tidur ayamnya setelah ponselnya bergetar. Bunyi getaran yang berasal dari dalam tasnya membuatnya berdiri. Ia merogoh salah satu saku dan memeriksa peneleponnya. “Uncle Erik?” sapa Cassidy lebih dulu. “Apa kabarmu, Nak?” “Aku baik-baik saja, Uncle.” Cassidy dengan santai berjalan ke salah satu sofa dan duduk. “Aku dengar kamu sudah menemukan Sophie. Bagaimana keadaannya?” Cassidy menghela napas agak panjang tapi tersenyum getir. “Dia hamil, Uncle.” Cassidy menjawab singkat dengan nada rendah. “Apa menurutmu itu bayimu?” “Aku tidak yakin 100 persen tapi aku rasa dia memang sedang hamil bayiku, Uncle.” “Kalau begitu kamu harus menjaganya. Dia baru saja menghubungi Laura dan berencana melarikan diri lagi. Laura akan datang ke sana untuk menjemputnya.” Kening Cassidy sontak mengernyit sekaligus memicingkan matanya. Ia sudah punya firasat jika Sophie akan bertindak aneh lagi kali ini. Rasanya Sophie seperti tidak kapok kabur-kaburan darinya. “Kapan dia menghubungi Laura? Aku pikir kita sudah melacak nomor Laura dan keluarga Marigold. Sejauh ini mereka tidak menghubungi Sophie,” ujar Cassidy dengan raut mulai serius. “Memang. Tadi aku mendapatkan notifikasi sambungan dari ponsel Laura dan Sophie akhirnya menghubungi Kakaknya. Jadi aku menghubungimu untuk memberitahukan soal ini. Ngomong-ngomong kamu di mana sekarang?” “Huff, aku sudah di rumah Sophie. Sepertinya dia tidak memakai uangku sama sekali, Uncle. Rumahnya kecil dan tidak mewah sama sekali,” ujar Cassidy mengeluh sambil melihat ke seluruh kamar. “Itu artinya dia memang sengaja memerasmu sampai 22 juta dolar hanya untuk menjebak Angelica agar dia menjadi kambing hitam dan kamu bisa menghabisinya. Istrimu licik seperti rubah, Cassidy. Kamu benar-benar harus berhati-hati mulai sekarang.” “Terima kasih, Uncle. Bisakah aku memintamu untuk menghalangi Laura datang?” “Dengan senang hati. Tenang saja, Laura tidak akan pernah sampai ke sana. Yang penting kamu urus dulu semuanya sampai selesai. Jika itu memang anakmu temani Ibunya sampai dia melahirkan, setelah itu kalian bisa bercerai. Aku pikir itu lebih baik.” Cassidy tidak menjawab dan hanya menunduk menghela napasnya. Sehingga hanya Erikkson yang lebih dulu mengucapkan pamit padanya. “Aku akan menghubungimu lagi, Cass. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sering minum alkohol lagi.” Cassidy hanya menyunggingkan senyumannya mendengar perhatian salah satu Pamannya tersebut. “Sampai jumpa, Uncle. Selamat bersenang-senang dengan Laura.” “Hehe, kamu juga. Selamat bersenang-senang dengan Sophie.” Setelah memutuskan sambungan telepon, Cassidy menarik napas panjang dan berpikir sejenak. Matanya menatap pada Frost yang sedang berbaring di lantai karpet. Anjing itu juga melihat ke arahnya sambil menundukkan kepala. “Aku rasa aku harus mengeluarkan senjata terakhirku untuk menahan Sophie, iya kan, Frost?” ujar Cassidy bicara pada anjingnya. Anjing itu hanya melenguh pelan dan menoleh ke arah lain. Cassidy pun mengangguk. Ia berdiri dan berjalan ke luar kamar. Sebelum keluar, Cassidy memberikan tanda pada Frost agar tetap di kamar saja. “Aku akan segera kembali!” Cassidy turun ke bawah dan melihat Sophie sedang membersihkan dapur yang berserakan. Keduanya bersirobok dan diam tak bicara. Cassidy yang lebih dulu pergi keluar lewat jalan dapur dan Sophie masih terus memperhatikannya. Kening Sophie mengernyit kala Cassidy berjalan menuju mobil Camper Van yang ia parkir di halaman. “Mau apa dia?” gumam Sophie masih terus memperhatikan gerak gerik Cassidy. Cassidy masuk ke dalam Van tersebut dan tidak keluar lagi. Setelah menunggu lebih dari 10 menit, barulah Sophie sadar yang ia lakukan. “Untuk apa aku malah menunggunya!” Sophie merutuk dirinya sendiri. Ia langsung berbalik dan meneruskan mengepel. Meskipun sedang hamil tapi Sophie mengerjakan tugas membersihkan rumah sendirian. Ia sudah terbiasa terlebih bayinya tenang dan tidak banyak bergerak. Baru akhir-akhir ini saja setelah bertemu Cassidy bayinya jadi aktif. Setelah memasak makan malam, Sophie masih terus mengintip ke arah luar. Camper Van itu masih di tempat semula dan Cassidy masih belum keluar dari sana. “Apa dia tidak lapar? Kenapa dia tidak keluar dari sana?” Sophie masih bermonolog pada dirinya sendiri. Setelah menarik napas panjang, Sophie pun meneruskan untuk menghidangkan makan malam baginya. Sampai Sophie akan makan malam, Cassidy masih belum keluar. Awalnya Sophie mencoba tidak peduli. Ia terus makan malam tapi hatinya tidak tenang. Sophie menghentikan makan malam dan menatap lagi ke arah pintu dapur. Ia terus memandangi mobil itu dari balik kaca. Tangannya mengelus perutnya dan bayinya tampak tenang. Sophie kembali menepis perasaannya. “Aku harus mengabaikannya. Apa peduliku dia mau makan atau tidak ... aahhk!” bayinya menendang tiba-tiba dan membuat Sophie mengaduh sakit. “Kenapa kamu menendang Mommy, Sayang? Uh, apa kamu marah padaku sekarang?” gumam Sophie mengelus perutnya. Raut wajah Sophie kini kembali berubah sendu sambil memandang mobil Van tersebut. Di pikirannya kembali melintas kenangan yang pernah ia alami bersama Cassidy kala masih bersama. Air mata itu kembali tumpah disadari Sophie. Rasa cintanya pada Cassidy membuat Sophie pernah ingin mengakhiri hidupnya. Hanya saja Sophie belum tahu jika hal yang sama juga nyaris dialami oleh Cassidy. “Tidak bisakah kita hanya berdua saja? Sekalipun Ayahmu kembali tapi kami tidak bisa bersama. Dia sudah berselingkuh dan menipuku. Maka aku pun melakukan hal yang sama,” ujar Sophie masih terus berbicara dengan bayinya. Sophie memilih menyeka air matanya dari pada terus menerus menangisi Cassidy. Ia sudah memutuskan pergi dan melupakan cintanya untuk Cassidy meskipun sedang mengandung anaknya. Sophie lantas bergegas membereskan meja makan agar segera beristirahat. Ia tidak peduli jika Cassidy belum makan malam. “Sudah selesai makan?” Sophie terperanjat kaget dan nyaris menjatuhkan piring yang ia bereskan. “Oh Tuhan. Kapan kamu masuk?” hardik Sophie kesal dengan jantung masih berdegup kencang. “Baru saja. Apa ini makan malam? Apa kamu yang memasak?” Sophie tidak menjawab dan malah mendelik keras pada Cassidy. Cassidy tidak peduli, ia langsung duduk dan bersiul kencang memanggil anjingnya Frost. Frost berlari dari kamar Sophie dan turun ke bawah tepatnya di depan Sophie. Ia menggonggong membuat Sophie beringsut takut ke belakang. “Berikan kami makan malam!” perintah Cassidy seenaknya. “Apa?” sahut Sophie memekik. “Iya. Frost bisa makan apa saja tapi jika kamu punya makanan anjing lebih baik─” “Aku tidak punya makanan anjing!” tegas Sophie kesal bukan main. “Kalau begitu berikan saja stok daging di kulkas!” “Anjingmu itu sudah menghabiskannya!” Frost langsung menggonggong pada Sophie yang beringsut ke belakang. Sophie menyambar sebuah teflon untuk melindungi diri dari anjing tersebut. Ia mengacungkannya ke depan. “Jangan dekat-dekat. Aku tidak punya makanan untukmu.” “Berikan kami makan malam, nanti kamu akan aku lepaskan. Setelah makan kita akan bicara tentang hubungan ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN