Erikkson Stermstagg Thomas adalah CEO Stermstagg Energy yang merupakan anak perusahaan Kim Corporation yang sangat sukses di kawasan Amerika Utara. Sebagai CEO dan juga salah satu paman Cassidy Belgenza, Erikkson selalu memastikan bisnis dan kehidupan keluarga berjalan dengan baik. Ia juga adalah seorang paman yang akan selalu mendukung sang keponakan, Cassidy untuk mendapatkan yang diinginkannya.
Kini tugas Cassidy adalah membawa Sophie kembali ke New York untuk menyelesaikan masalah mereka. Bukan berarti, Cassidy bisa bekerja sendiri. Sophie masih dibantu oleh kakaknya Laura yang memberikan bantuan pada sang adik di luar sepengetahuan orang tua mereka.
Saat Cassidy dan Sophie masih tinggal bersama dalam pernikahan, Erikkson sempat nyaris menikah dengan Laura. Kini setelah keduanya putus karena kesalahpahaman, komunikasi mereka putus total. Sampai akhirnya beberapa minggu ini, Erikkson kembali memata-matai mantan kekasihnya dan meretas ponselnya.
Setelah menghubungi Cassidy, Erikkson lantas mempersiapkan dirinya untuk menghadiri sebuah pesta. Pesta para eksekutif, pejabat, para artis, pengusaha serta sosialita. Erikkson keluar dari mobil mewahnya menyentak sedikit jasnya tuxedonya lalu berjalan dengan gagah ke dalam.
“Uncle Erik?” sapa Mila Alexander yang ikut datang menemani ayahnya Bryan Alexander yang merupakan sahabat Erikkson. Erikkson tersenyum lalu mendekat untuk merangkul dan mencium pipi Mila.
“Apa kabarmu?”
“Baik, Uncle. Kamu datang sendirian?” Erikkson tersenyum mengangguk.
“Aku butuh pasangan malam ini, mau pergi denganku?” Erikkson menawarkan dengan senyumannya. Mila ikut terkekeh kecil lalu merangkul lengan Erikkson dan menjadi pasangannya.
“Apa aku harus minta ijin pada Suamimu?” Erikkson menyeletuk sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia sedang mencari keberadaan Laura.
“Kenapa memangnya?”
“Aku punya misi untuk membuat Laura cemburu.”
Kening Mila sedikit mengernyit dan berpikir sejenak. Ia baru membulatkan mulutnya beberapa saat kemudian.
“Laura Marigold? Kakaknya Sophie? Mantan tunanganmu?” tebak Mila dan Erikkson hanya menjawab dengan senyuman.
“Kalau kamu keberatan tidak apa-apa. Aku bisa mencari orang lain. Apa kamu keberatan?” Erikkson makin menyeringai lebar.
“Hhm, tidak. Apa kita harus mencarinya? Apa dia ada di pesta ini?”
Eriksson menaikkan sekali dagunya pada sosok yang berdiri di belakang Mila Alexander. Mila berbalik menoleh ke belakang untuk melihat Laura yang sedang berbicara dengan beberapa wanita.
“Oh ....”
“Ayo!” Erikkson memberikan sebelah tangannya agar Mila bisa menggenggamnya. Mila mengaitkan tangannya pada Erikkson yang membawanya melewati Laura seolah tidak sengaja.
“Lihat itu. Apa itu Tuan Thomas? Dia punya kekasih baru ya? Cantik sekali.” salah satu dari teman mengobrol Laura menyeletuk. Mau tidak mau mata Laura menangkap mantan kekasihnya tengah menggandeng seorang wanita muda dan cantik untuk berdansa.
“Mereka sangat serasi ya?” salah satu teman Laura menyikutnya lembut memintanya untuk berpendapat. Laura hanya tersenyum saja dan tidak menanggapi.
“Sepertinya hubunganmu dan Tuan Erikkson tidak lagi bisa kembali Laura,” ujar salah satu teman Laura lagi. Laura hanya membuang muka menahan kegetiran di hatinya.
“Apa kamu baik-baik saja?” Laura mengangguk saja dan meminta ijin untuk mengambil minuman. Erikkson sempat melihat hal itu dan matanya memicing nakal.
“Panggil aku Daddy Erik!” ucap Erikkson sedikit berbisik pada Mila. Mila mengernyitkan keningnya tapi tidak protes.
“Mau aku ambilkan minuman, Daddy Erik?” tanya Mila menyindir halus.
“Ya, tentu saja.” Erikkson mengedipkan sebelah matanya pada Mila lalu mengecup mesra punggung jemarinya. Matanya sempat melirik pada Laura yang ternyata mencuri-curi pandang padanya.
Mila berjalan ke arah bar di mana Laura sedang berada di sana untuk mengambil minuman. Laura memang tidak sempat mengenal Mila sebagai salah satu keponakan Erikkson sekaligus sahabat Cassidy. Ia berpikir jika Erikkson memang memiliki kekasih baru.
“Aku pesan satu Scotch dan satu American Night untukku. Terima kasih,” ujar Mila dengan senyuman pada bartender.
“Baik, Nona.”
“Ini minumanmu, Nona.” Bartender lain menghidangkan minuman pesanan Laura di depannya.
“Terima kasih.” Laura membalas lembut. Ia mengambil gelas dan ingin pergi tapi Mila menegurnya.
“Hai.” Laura menoleh dan tertegun sedangkan Mila justru tersenyum ramah dan cantik.
“Hai.” Laura pun membalas.
“Perkenalkan namaku Mila Alexander. Apa kamu juga tamu di sini?”
“Iya.”
“Siapa namamu?” Mila masih mendesak. Senyuman Mila yang cantik menawan membuat Laura tidak enak menolak. Ia pun tersenyum meski getir harus melayani sapaan kekasih dari mantan tunangannya.
“Laura, namaku Laura Marigold,” jawab Laura tersenyum. Mila mengulurkan tangannya dan keduanya bersalaman.
“Apa kamu datang sendirian?” Mila bertanya lagi.
“Iya. Aku mewakili perusahaanku.”
“Oh, apa namanya?”
“Marigold Design and Construction.” Mila membulatkan mulutnya dan tersenyum mengangguk.
“Oh apa kamu kenal kekasihku? Namanya Erikkson Thomas.”
Hati Laura bagai dihunjam belati saat Mila menyebutkan Erikkson sebagai kekasihnya. Meski sudah berpisah selama delapan bulan, nyatanya Laura belum melupakan Erikkson sama sekali. Ia masih kerap menangis dan merindukan pria itu. Sayangnya Erikkson pun tidak pernah lagi sama sekali mau menghubungi Laura. Terlebih setelah urusan dengan Cassidy mencuat. Skandal yang dibuat oleh Cassidy pada Sophie telah membuat Laura kehilangan kepercayaannya pada Erikkson Thomas.
“Aku─”
“Baby girl, kenapa kamu lama sekali?” tegur Erikkson yang tiba-tiba datang. Laura langsung berbalik menghadap meja konter bar dari pada berhadapan dengan Erikkson.
“Oh, aku sedang memesan minumanmu, Daddy. Lalu aku berkenalan dengan wanita cantik ini. Namanya Laura Marigold.” Mila menjawab dengan senyuman riang agak genit. Erikkson tersenyum lalu merangkul Mila dan mengecup sisi kepalanya.
“Kamu memang sangat baik hati. Oh, apa ini wanita yang berkenalan denganmu? Terima kasih, Nona Marigold sudah mau menemani kekasihku, Mila.”
Laura langsung berpaling cepat pada Erikkson. Ia memberikannya delikan tajam. Akan tetapi, Erikkson memang tengah memainkan perannya untuk menyiksa batin Laura.
“Apa kamu mengenalnya, Daddy?” celetuk Mila sedikit genit mendekatkan dirinya pada Erikkson.
“Dia? Oh, tidak.”
Laura makin mengeraskan rahangnya. Matanya sudah berkaca-kaca seperti akan menangis. Erikkson menyadarinya tapi ia makin senang memainkan perannya.
“Permisi, aku harus pergi─” Laura sudah tidak tahan lagi dan langsung berbalik pergi. Ia bahkan lupa mengambil minumannya.
“Uh, Nona ....” Erikkson langsung memegang lengan Mila yang merasa bersalah hendak mengejar Laura.
“Jangan. Biarkan saja dia,” larang Erikkson.
“Tapi Uncle, dia sudah menangis. Kamu tidak kasihan!” Mila akhirnya protes. Erikkson hanya mengedikkan bahunya lalu mengedipkan sebelah matanya. Tangannya mengambil gelas berisi Scotch yang dipesan Mila dan menikmatinya perlahan. Matanya terus mengawasi Laura yang memilih pergi ke belakang.
“Bagaimana ini?” tanya Mila mulai cemas.
“Tidak apa-apa. Biar saja.”
Erikkson masih bersikeras. Matanya terus menatap ke arah pintu menuju rest room. Ia ingin mengawasi Laura dan menunggunya keluar.
“Sayang, kenapa kamu di sini? Dari tadi aku mencarimu!”
Suami Mila yaitu Brema akhirnya datang menghampiri. Untung saja Mila tidak tertangkap sedang beradegan mesra dengan Erikkson.
“Oh, hai!” Mila memekik aneh tapi sesungguhnya ia kaget setengah mati. Brema langsung mendelik lalu ia menoleh pada Erikkson yang hanya tersenyum saja.
“Maaf, Brema. Aku pinjam Mila sebentar,” ujar Erikkson mengakui. Kening Brema sedikit mengernyit.
“Memangnya ada apa?”
“Tidak ada. Ayo kita pergi!” Mila langsung menarik Brema pergi dan meminta ijin pada Erikkson. Brema pun tidak mempertanyakannya lagi. Setelah selesai minum, Erikkson mendekat pada minuman Laura yang tadi ia tinggal lalu melihat ke semua arah.
Setelah tidak ada yang menyadari, Erikkson mengeluarkan sebuah tablet kecil dan memasukkannya ke dalam minuman tersebut. Erikkson memastikan jika tablet tersebut larut dengan sempurna sebelum Laura keluar dari kamar mandi. Untuk sementara Erikkson masih berdiri di depan konter bar menjaga agar minuman itu tidak diambil oleh orang lain.
“Aku harus tenang. Untuk apa aku menangisinya lagi? Dia memang jahat,” ujar Laura di depan cermin rest room sendirian. Ia menangis lalu menyeka air mata dengan tisu berkali-kali.
Sepertinya Laura tidak begitu peduli dengan dandanannya. Ia memang tidak mengenakan dandanan berlebihan dari dulu. Wajahnya cantik dan polos. Hal itu adalah satu dari banyak hal yang sempat membuat Erikkson jatuh cinta padanya. Tetapi jika kini membandingkannya dengan gadis muda bernama Mila Alexander, Laura merasa kalah jauh.
“Huff, sudah cukup Laura. Ada baiknya kamu pulang dan bersiap untuk pergi bertemu Sophie besok. Ya, itu lebih baik.” Laura bermonolog sekali lagi lalu mengeringkan air matanya. Ia berjalan keluar setelah mencuci tangan.
Laura kemudian dihampiri oleh salah seorang pelayan yang menyodorkannya minuman. Kening Laura mengernyit.
“Aku tidak pesan minuman.”
“Maaf, Nyonya. Tuan itu bilang jika ini adalah minumanmu. Aku diminta untuk mengantarkannya,” jawab si pelayan itu masih menawarkan. Laura baru ingat jika ia memang meninggalkan minuman pesanannya di atas meja bar. Masalahnya dia sudah tidak berselera untuk minum lagi setelah kejadian dengan Erikkson.
“Tidak usah. Aku sudah tidak mau minum lagi─”
“Maaf, Nona. Minuman yang sudah dipesan tidak bisa lagi dibawa kembali ke bar atau kami akan terkena teguran,” ujar si pelayan sedikit meringis. Laura menghela napas panjang dan kasihan. Ia akhirnya mengambil gelasnya dan mengangguk.
“Terima kasih.” Pelayan itu tersenyum mengangguk dan pergi.
Laura lalu mencari salah satu sudut untuk menghabiskan minumannya dan pergi. Tempat itu sudah membuatnya sesak.
“Senang bertemu denganmu lagi, Peaches!”
Laura tersentak kaget saat ia sedang minum. Erikkson tiba-tiba datang menyapanya. Pria itu entah muncul dari mana.
“Apa maumu?”
“Hanya menyapa,” jawab Erikkson singkat tapi menyebalkan.
“Bukankah kamu mengatakan tidak mengenalku? Untuk apa menyapa?” sahut Laura dengan nada kesal lalu membuang muka.
“Apa salah menyapa mantan calon istriku?”
“Jangan ganggu aku. Pergi saja dengan kekasihmu itu!” Laura begitu marah tapi suaranya begitu lembut. Erikkson mengulum senyuman sedari tadi dan nyaris kelepasan ingin mencumbu.
“Kamu cemburu?”
“Tidak akan!” Laura menegaskan lalu menghabiskan minumannya. Ia berbalik meletakkan minuman di atas meja dan melengos pergi. Erikkson hanya diam saja dan menunggu jarak yang tepat untuk mengikuti Laura.
Setibanya di lobi depan, kepala Laura seperti berputar dan pandangannya kabur. Rasa ngantuk yang teramat besar langsung membuatnya seperti melayang.
“Ada apa denganku?” Laura jatuh dan langsung ditangkap oleh Erikkson. Erikkson menggendong Laura saat sebuah mobil berhenti di depannya. Pengawal Erikkson membukakan pintu dan sekejap Laura menghilang bersama Erikkson di dalamnya.