“Tunggu sebentar. Kita langsung bertemu dengan Pak Hendra saja. Anda jawab penolakan pada beliau. Daripada saya langsung dia pecat bila Anda sudah tak ada di sini tanpa dia tahu kalau Anda menolak pekerjaan yang dia berikan,” jawab Wahyu. Lelaki ini bisa membayangkan murkanya Boss kalem itu bila perintahnya terabaikan.
“Ayo ikut saya,” perintah Wahyu. Dia juga tak mau salah dan tak tahu harus mencari gadis ini ke mana bila telah keluar dari kantor ini.
Kia pun ikut Pak Wahyu untuk menemui wakil CEO yang Kia bilang, ‘Arogan! Seenaknya memecat orang hanya karena tak bisa memenuhi perintahnya.’
“Ada apa?” tanya Hendra ketika Wahyu diikuti oleh Kia memasuki ruangannya. Tadi Wahyu tentu sudah mengetuk pintu ruang kerjanya dan dipersilakan masuk oleh Hendra.
Hendra menatap tajam gadis yang sangat dia idam-idamkan. Gadis tersebut tidak memperlihatkan wajah takut, dia menatap Hendra lalu mengangguk hormat dengan sedikit senyum, membuat Hendra serasa meleleh.
“Boleh kami bicara Pak?” kata Wahyu.
“Silakan, kita santai saja ya, duduk di sofa saja, jawab Hendra sambil tangannya mempersilakan dua orang tersebut duduk di sofa ruangan tersebut. Hendra pun berdiri dari kursi meja kerjanya lalu ikut duduk di sofa ruang kerja tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu?” Hendra menduga Wahyu ingin memperjelas di mana ruang kerja Rizkia nanti.
“Ini Pak,” ucap Wahyu ragu.
“Saya sudah mengatakan pada Rizkia masalah tugas yang Bapak berikan pada saya, yaitu agar nona Rizkia ini bekerja menjadi sekretaris pribadi Bapak. Belum saya memberitahu berapa besar salary sekretaris dan belum saya memberitahu tugas kerjanya, ternyata nona Rizkia sudah menolak Pak,” Hendra masih diam mendengar semua keterangan Wahyu. Dia hanya melihat Rizkia. Gadis itu tidak menunduk takut. Dia memandang Wahyu bicara.
“Alasannya apa?” tanya Hendra tenang.
“Silakan Anda yang langsung jelaskan alasan Anda pada Pak Hendra agar tak ada salah paham,” Kata Wahyu.
“Terima kasih pak Wahyu,” ucap Kia sambil mengangguk pada Wahyu.
“Selamat siang Pak Hendra. Saya Rizkia Khairana. Saya melamar di sini karena ada lowongan untuk bagian marketing. Saya berharap saya bisa diterima karena sesuai dengan ijazah saya, dan saya juga tahu di sini yang dibutuhkan adalah fresh graduate, sesuai dengan kondisi saya saat ini. Saya baru saja di wisuda sepuluh hari lalu,” Kia memperkenalkan diri.
“Alasan saya melamar menjadi marketing adalah jam kerjanya fleksibel. Saya berharap saya diterima dan bisa bekerja di sini karena yang diperlukan adalah target. Saya yakin saya bisa mencapai target.” Kia menjeda kalimatnya sesaat agar dua pimpinan PH Kejora Pratama mengerti kalimatnya.
“Itu alasan saya melamar pekerjaan di sini. Tapi saat saya akan diwawancara tadi, tiba-tiba Pak Wahyu memanggil saya untuk menghadap ke ruangan beliau. Pak Wahyu memberitahu bahwa saya diminta oleh Bapak untuk menjadi sekretarisnya. Tentu saja ini bertolak belakang dengan keinginan awal saya. Saya memang langsung menolak karena saya tidak sanggup bekerja dengan waktu jam kantor eight to five.”
“Alasannya apa?” tanya Hendra setelah Kia bicara tadi. Dia tetap tenang dan tak langsung bereaksi. Walau dia kecewa bila Kia tidak bekerja di tempatnya, karena dia ingin selalu memandang wajah ayu tersebut. Wajah yang sekarang hampir polos tanpa sapuan apa pun selain lip balm tipis.
“Saya akan meneruskan S2 saya Pak. Dalam tiga minggu lagi saya akan mulai kuliah. Jadi saya tidak bisa bekerja untuk menjadi sekretaris dengan waktu kerja rutin,” jawab Kia sambil memandang sosok berkharisma dan tenang di hadapannya. Sosok yang ditakuti oleh karyawannya karena katanya tegas.
“Hanya itu?” tanya Hendra santai. Wahyu melihat ada senyum yang seakan Hendra tahan. Senyum yang jarang karyawannya lihat.
“Iya Pak. Hanya itu kendala saya, yaitu waktu kerja. Karena saya ingin melanjutkan S2 saya hingga selesai,” balas Rizkia.
“Kamu bilang tadi tiga minggu lagi kamu baru akan kuliah? Berarti tiga minggu atau minimal dua minggu lagi kamu sudah punya jadwal kuliah kan?” desak Hendra.
“Benar Pak. Saya sudah terdaftar sebagai mahasiswa S2 dan dua minggu lagi menyusun jadwal kuliah.”
“Nanti kamu buat saja jadwal kuliahmu itu fleksibel dalam artian misalnya kamu padatkan tiga hari. Sehingga hari lain kamu bisa bekerja full. Saya tetap mau kamu bekerja di sini,” ucap Hendra tegas.
“Atau kamu bisa juga bekerja sehabis makan siang. Jadi dari pagi sampai jam dua belas siang kamu kuliah. Lalu jam satu siang kamu mulai kerja. Mungkin tidak sampai jam lima tapi sampai jam tujuh malam,” ucap Hendra.
“Silakan kamu atur waktu kamu dan berikan copy jadwal kuliah kamu pada Wahyu sehingga kita tahu jam kuliah kamu,” ucap Hendra.
“Tapi Pak ….”
“Tidak ada tetapi. Pokoknya saya mau kamu bekerja mulai besok dan mulai besok kamu langsung dibawah bimbingan Wahyu juga bagian lain yang berkepentingan dengan pekerjaan kamu sebagai sekretaris pribadi saya. Selamat siang.”
Wahyu hanya memandang Kia dengan bingung. Pada intinya Boss mereka tak mau Rizkia menolak tawarannya.
Mereka sudah diusir dengan kata selamat siang dari Hendra tadi. Tentunya mereka harus segera keluar ruangan itu.
“Baik Pak. Terima kasih,” Kata Wahyu sambil berdiri. Dia menyadari pengusiran Boss mereka. Mau tak mau Kia pun berdiri dan memberi salam pada Hendra. Tangan lembut Kia disambut dengan senang hati oleh Hendra.
“Ingat, besok kamu sudah mulai masuk eight to five sampai kamu kuliah nanti!” Hendra langsung bicara keras sebelum Wahyu dan Kia menutup pintu untuk keluar meninggalkan ruangannya.
“Ayo. Kita langsung kembali ke ruangan saya. Kita bahas tentang poin-poin yang harus kamu lakukan mulai besok, dan ingat kamu mulai besok sudah mulai belajar dengan saya dan Retno serta Wening soal pekerjaan sekretaris. Retno itu sekretaris saya dan Wening sekretaris bagian umum. Saya nggak mau tahu kamu harus mahir dalam waktu satu minggu. Mereka akan mengajarimu secara bergantian,” ucap Wahyu.
“Jadi enggak ada seleksi yang lainnya Pak? Kan penerimaan pelamar yang lain sekarang belum selesai Pak. Baru pada tahap pencocokan berkas. Masa saya langsung kerja?”
“Memangnya saya yang menentukan? Kamu tahu kan siapa yang menentukan tadi. Saya nggak berani membantah soal itu,” jawab Wahyu.
“Boss itu orangnya kalem, diam, datar, tidak pernah bercanda, dan serius serta teliti.”
“Beda sama Big Boss. Big Boss itu lebih banyak candanya selain semau gue dan orang bilang sih nggak bisa kerja!”
“Maksudnya Big Boss itu siapa Pak?” tanya Kia.
“Big Boss itu Pak Arya. Dia Big Boss karena dia pemiliknya, tetapi karena Big Boss enggak pernah turun, maka nama perusahaan ini menggunakan nama pak Hendra. Pratama itu nama keluarga Pak Hendra. Dan sejak lahir memang ini dibidani pak Hendra. Big Boss tak pernah tahu apa pun. Hanya namanya tercantum di dokumen kepemilikan dan tiap bulan uang masuk ke koceknya tanpa pernah bekerja.”
“Baik Pak, saya mengerti,” kata Kia.
Kia sungguh tak percaya niatnya melamar hanya sebagai marketing malah sekarang jadi sekretaris pribadi Boss.
Rupanya di sini ada istilah Boss dan Big Boss. Boss itu sebutan untuk pak Hendra. Big Boss itu untuk pak Arya. Sedang papanya Arya disebut JURAGAN.