“Kenapa gadis itu dipanggil Pak Wahyu ya?” kata seorang staff di bagian umum pada Azkadinasera.
“Entahlah kenapa dia dipanggil. Tadi sih Pak Wahyu sebelumnya sudah dipanggil oleh Pak Hendra,” timpal Dina. Dia staff bagian umum dan kebetulan tadi dia yang menerima telepon dari ruangan pak Hendra untuk pak Wahyu karena pak Wahyu dicari di ruangannya tak ada. Hendra tak mau menghubungi ponsel karyawannya untuk pekerjaan. Dia akan melacak keberadaan karyawannya dengan telepon ruangan.
“Yang aku tahu sih, tadi Pak Wahyu bilang gadis itu diminta pak Hendra menjadi sekretaris pribadinya Pak Hendra,” ucap karyawan lainnya.
“Bukannya kantor kita buka lamarannya buat marketing dan bagian keuangan? Kenapa orang keuangan suruh jadi sekretaris Pak Hendra?” kata Azkadinasera julid.
Tentu saja Azkadinasera tak suka karena jabatan itulah yang dia inginkan. Semua karyawan tahu ruangan Hendra itu paling steril dari perempuan. Jangankan untuk sekretaris, staffnya pun Hendra tak mau ada staff perempuan. Mengapa sekarang Hendra meminta gadis itu untuk menjadi sekretarisnya?
Azkadinasera yang mengincar Hendra sejak dulu menjadi benci sekali pada pegawai baru tersebut. Belum pegawai sih, tapi kalau sudah diminta oleh Pak Hendra pasti dia akan jadi pegawai.
‘Pasti dia pakai jalur belakang sehingga pak Hendra bisa berubah pikiran seperti itu. Pak Hendra yang untuk staff yang langsung di bawah dia saja tak mau ada yang perempuan, tiba-tiba minta seorang pelamar jadi sekprinya. Padahal sejak dulu maunya pakai sekpri ( sekrataris pribadi ) laki-laki.’
‘Kalau dia tak pakai jalur belakang, bila pak Hendra ingin sekpri perempuan pasti akan ambil dari staff yang sudah mahir di sini. Atau buka lowongan khusus untuk menjaring sekpri, dari orang yang memang kompeten. Aku yang lulusan sekretaris saja ditaruh di staff umum,’ dengan kesal Dina mendengar pelamar baru langsung diambil jadi sekretaris pribadi pak Hendra, sedang pelamar lain masih di proses berkasnya.
“Papa ini aneh. Aku ingat waktu Kia baru lulus, Papa menyuruh Kia jadi direktur di pertambangan di Kalimantan. Papa agak rusak sedikit otaknya karena benturan atau kenapa? Anak perempuan malah mau Papa buang ke daerah pertambangan di Kalimantan sini. Sekarang aku yang laki-laki malah suruh pegang pabrik kosmetik yang ada di Cibitung? Kalau aku bilang Papa tidak waras kayaknya terlalu kasar ya Pa? Tapi memang itu kan kenyataannya? Anak perempuan bungsu mau dibuang jauh ke Kalimantan sedang aku suruh pegang kosmetik yang harusnya itu tugas perempuan!” teriak Alkaff pada Asran. Hari ini papanya mendatangi dirinya di kantor tambang milik keluarga Arnawarma di Kalimantan.
“Dan yang aku lebih benci lagi selama ini pabrik kosmetik dipegang sama Kak Amira. Kenapa sekarang mau dioper ke aku? Maksud Papa apa? Biar aku berantem sama Kak Amira gitu? Sorry Pa, bukan seperti itu yang aku inginkan. Aku resign dari usaha Papa!”
“Kalau Papa pakai otak sedikit, kenapa enggak Papa jadiin aku saja yang manager di pertambangan ini karena Kia menolak? Kenapa aku hanya sebagai Kepala Divisi perbekalan? Lalu sekarang mau dioper ke Cibitung?”
“Aku benar-benar pikir memang Papa enggak waras. Jadi aku langsung keluar saja Pa. Lebih baik aku seperti Kia. Hidup sendiri, cari kerja sendiri. Tidak butuh tekanan dari Papa. Aku harap kak Mira tidak gila saja karena hidup hanya menurut kehendak Papa dan mama!”
Alkaff Callef Arnawarma tak percaya kedatangan papanya di Kalimantan ini hanya untuk memindahkan dia ke Cibitung, perusahaan yang sedang dipegang kakak perempuannya. Perusahaan itu hasil produksinya kosmetik pula. Sedang di tambang batubara ini dia hanya menjadi Kepala Divisi perbekalan, tadinya Kia yang akan jadi CEO di sini.
Alkaff Callef Arnawarma segera menuju rumah di Kalimantan, dia mengemasi semua barang miliknya dan dia kirim pulang dengan ekspedisi hari itu juga. Semua barang miliknya dia kirim dulu ke rumah papanya di Jakarta. Tapi dia akan mencari apartemen untuk tidak tinggal di rumah orang tuanya. Sama seperti yang Kia lakukan. Adik kecilnya itu sudah lebih dulu mandiri daripada dirinya.
Alkaff juga tak ingin tinggal bersama dengan Kia. Dia ingin mereka tetap mandiri tanpa saling bersinggungan.
Asran hanya terpaku melihat kepergian putra keduanya. Satu-satunya anak lelaki yang diharap bisa memegang usahanya malah sekarang marah. Dia memang ingin Alkaff memegang pabrik kosmetik di Cibitung karena merasa Mira sangat lemah dalam memimpin perusahaan. Pabriknya diam ditempat tak ada kemajuan. Tak ada terobosan baru.
“Iya, kenapa Kak?” tanya Kia, saat dia baru pulang kerja hari ini. Sebenarnya Kia belum bekerja. Tadi dengan Pak Wahyu cukup banyak yang mereka bicarakan, sehingga setelah diajak makan siang, sekarang setengah empat sore Kia bersiap akan meninggalkan production house milik Arya yang dikelola Hendra ini. Sudahlah gampangnya sebut saja ini milik Hendra karena Arya sama sekali tak pernah peduli pada kantor remahannya ini.
“Boleh, aku tunggu. Mau aku jemput di bandara atau bagaimana?”
“Ya sudah, aku tunggu di apartemen saja. Aku juga kangen banget. Kangeeeeen banget,” kata Kia. Dia tak sadar ada orang yang mendengarkan semua itu.
“Nanti aku masakin deh. Sudah lama kan kita nggak ngumpul bareng?”
“Itu kan sudah lama, pas aku wisuda kan sudah lebih dari sepuluh hari.”
“Ya sudah. Pokoknya aku masakin. Mau makan apa?” kata Kia lagi.
“Ini aku pulang langsung belanja keperluan itu, pokoknya aku akan bikin makanan kesukaanmu. Aku tunggu ya. Hati-hati, pokoknya dari bandara langsung ke apartemenku!”
‘Jadi dia tinggal di apartemen? Dia gadis sendirian, tinggal di apartemen?’ batin seorang yang mendengar Kia bicara.
‘Dia bilang kangen pula pada lawan bicaranya!’
‘Dia koq tinggal di apartement, padahal dia anak orang kaya. Orang super kaya malah. Bapaknya punya tambang batu bara. Bapaknya juga punya pabrik kosmetik, punya dua resort. Tapi dia nggak tinggal di rumah? Apa dia maunya bebas ya, sehingga bisa bawa lelaki ke apartemennya?’ batin orang lain yang juga mendengar percakapan Kia di telepon barusan.
‘Tapi rasanya dia nggak seperti itu. Lelaki yang ada saat dia wisuda seperti ucapannya barusan kayanya kakaknya. Mungkin kakaknya yang akan datang.’
Dua orang itu secara terpisah terus mengamati Kia.
‘Dengan mobil semewah itu, dia melamar kerja di sini? Apa dia memang penjaja ya? Mobilnya sekelas milik pak Hendra!’
‘Mengapa dia tak kerja di perusahaan milik orang tuanya saja? Mengapa dia butuh bekerja. Tadi sebelum di sebut salary yang akan dia dapat saja sudah menolak tawaran jadi sekretaris. Artinya dia tak butuh uang buat melanjutkan kuliahnya. Apa ya alasan dia bekerja?’ pikir orang kedua yang melihat Kia memasuki mobilnya.
Kia yang jadi fokus pengamatan kedua orang itu santai melenggang masuk ke mobil sport mewahnya.