SAYA KIA, BUKAN RIZKY

1140 Kata
“Mungkin banyak alasan yang dia pikir semua yang dia putuskan itu paling bagus. Tapi cara dia menentukannya itu yang salah,” jawab Kia bijak. “Maksud kamu apa Ding (ading adalah sebutan adik dalam bahasa Banjar ~ Kalimantan, tempat asal orang tua Kia dan Alkaff )?” “Pabrik kosmetik itu memang harus Kakak pegang karena di tangan Kak Mira pabrik itu stagnan. Bahkan sebentar lagi bisa bangkrut karena tak ada kemajuan apa pun. Yang namanya usaha, stagnan selama tiga tahun itu pasti defisit. Lama-lama namanya alat ada yang harus diganti, SDM juga harus diganti dan segala macamnya harus diubah. Di tangan Kak Mira semua 0 besar. Itu yang bikin papa harus menaruh Kak Alkaff di Cibitung.” “Lalu kenapa Papa taruh Kakak di bagian perbekalan tambang itu karena posisi tersebut rawan bila dipegang oleh orang lain. Aku tahu itu! Tapi cara Papa menyampaikannya yang salah. Jadi Kakak salah duga.” “Aku pun tahu kenapa aku mau dijadikan CEO tambang tersebut. Karena sifat kerasku, sifat ingin tahuku, dan segala macam yang ada di otak aku itu akan membuat pertambangan kita semakin maju. Masalahnya bukan aku mau membuat keluarga hancur. Enggak!” “Tapi aku nggak mau dibawah perintah nyonya Shafa. Aku bukan anaknya, jadi aku pun tak mau membuat dia ongkang-ongkang kaki. Dari usahanya Alkano dia sudah dapat 30% kan? Lalu masa aku harus ngembangin lagi?” “Rugilah otakku, aku pergunakan buat usaha dia.” “30% itu kan dapat karena masalah video be-jatnya Alkano. Waktu mau nikah kan dia dapat jatah 10% buat Amira!” ucap Alkaff. “Itulah, dia sudah punya 40%. Makanya buat apa aku majuin tambang? Karena aku tahu uang tambang itu cuma buat papa foya-foya sama perempuan-perempuan itu. Sejak aku kecil aku tahu papa hobinya main perempuan. Aku tidak mau ngidupin orang yang hobinya berzina!” “Kalau menurut aku, terima saja pabrik Cibitung, tapi harus ada keputusan tertulis kalau semua harus 100% di tangan Kakak tanpa campur tangan nyonya Shafa dan papa dan kak Mira harus out dari sana. Jangan biarkan dia bercokol di sana apa pun jabatannya.” ucap Kia memberi saran pada Alkaff. “Kalau masih ada kak Mira, dia masih saja bikin ribet. Dan kalau tak ada perjanjian tertulis, nyonya akan tetap mengatur kebijakan kita. Kita cuma boneka!” Alkaff mempertimbangkan saran adiknya yang memang selalu dia anggap waras dibanding kedua orang tua mereka dan Mira. “Di apartemen ini ada kamar kosong di lantai atasmu, juga ada di apartemen seberang. Sebaiknya Kakak ambil yang mana?” tanya Alkaff. “Kalau menurutku, sebaiknya kita tak perlu satu gedung. Agar privasi kita tak terganggu. Tapi kalau Kakak mau satu gedung, ya silakan saja. Aku enggak keberatan koq,” kata Kia. Dia tak mau dicampuri walau oleh kakaknya sekali pun. Bahkan dia sengaja ambil apartemen dengan hanya satu kamar karena tak ingin ada siapa pun menginap di huniannya. Kalau sekarang Alkaff menginap, dia tidur di sofa. Bukan Kia tak mampu membeli apartemen yang lebih besar, tapi dia memiliki uang dari menabung, belum punya penghasilan sendiri. Jadi tak mau membuang uang lebih untuk satu kamar kosong yang tak berguna. Beda dengan Alkaff yang telah lama bekerja. Kalau tak punya uang seperti Mira ya super bodoh. Karena tanpa bekerja seharusnya Mira nyaman karena sejak menikah dia punya 10% saham perusahaan Maliq. “Rizky pagi ini kamu akan belajar dengan Retno ya, nanti siang sehabis makan kamu belajar dengan Wening karena pagi ini Bu Fatma sedang banyak pekerjaan sehingga dia tidak membiarkan Wening untuk mengajari kamu. Saya sudah jadwalkan Wening akan mengajari kamu sesudah jam makan siang,” kata Wahyu kepada Retno dan Kia. “Mohon maaf Bapak biar saya tidak bingung, panggil saya Kia saja, sama seperti orang lain. Panggilan sehari-hari saya Kia,” Jawab Kia. Dia kok aneh dipanggil Rizky. “Baik, saya tinggal kalian berdua. Jadwal kerja saya sudah diberitahu oleh Retno sejak tadi. Nanti kalau saya butuh-butuh saya akan interupsi kalian untuk bertanya sesuatu pada Retno,” jawab manager HRD yaitu Wahyu. “Iya Pak. Terima kasih,” jawab Kia hormat. “Kamu itu dari ekonomi kan? Kenapa bisa kamu nyasar ke sekretaris padahal basic kita beda loh,” kata Retno sebelum dia memberi tutorial pada yu-niornya itu. “Iya Bu Retno. Saya juga bingung. Saya melamar sesuai dengan lowongan kok dan tujuan saya memang hanya ingin jadi marketing, bukan staff kantor, karena saya ingin kerja di lapangan dan bebas. Hanya sesekali setor laporan kerja. Tapi tiba-tiba saya dipanggil pak Wahyu, katanya atas perintah Pak Hendra,” jelas Kia jujur. “Saya sudah dengar itu dari Pak Wahyu. Saya beserta Wening diminta untuk mengajari kamu yang memang buta bidang sekretaris. Jadi wajar kami harus benar-benar all out untuk ngajarin kamu, kalau kamu nggak bisa nanti kami yang disalahkan oleh Pak Hendra. Itu kebiasaan beliau. Sebab beliau nggak mau kalau kami mengajari setengah-setengah. sebelum kamu ada sekretaris yang kami ajarin dan dia nggak menangkap apa yang kami ajarkan. Yang disalahkan kami.” “Kasihan dong gadis itu,” jawab Kia. “Dia laki-laki dan selama ini Pak Hendra itu enggak pernah punya atau perempuan sama sekali apalagi sekretaris. Dia sama sekali enggak mau sekretaris perempuan. Maka kemarin saya dan Pak Wahyu serta Bu Fatma dan Wening bingung kenapa dia minta kamu. Apa kalian pernah berkenalan?” tanya Retno. “Demi Allah belum Bu. Saya baru lihat Pak Hendra kemarin saat di sini. Kalau nama dan strukturnya saya sudah pelajari sebelum saya melamar.” “Nah itu yang membuat kami bingung kenapa Pak Hendra bisa meminta Pak Wahyu untuk memanggil kamu sebagai sekretaris. Padahal dia juga tidak memegang berkas lamaran siapa pun.” “Kalau berkas saya tak pernah dipegang Pak Hendra, dia tahu nama saya dari mana? Karena kata Pak Wahyu tiba-tiba Pak Hendra menyebut nama lengkap saya untuk dipisahkan dari pelamar lain,” Kia malah bingung mendengar fakta dari Retno saat ini. “Itu hanya Pak Hendra yang tahu, kalau kamu sendiri emang belum pernah kenal atau bertemu dengan beliau. Apa kamu punya orang kuat yang membuat kamu diminta kerja di perusahaan Pak Hendra?” “Apalah saya ini Bu. Saya ini nggak mengerti apa-apa. Orang kuat dari mana?” jawab Kia. “Kamu jangan panggil saya Ibu dong. Kayaknya tua banget. Kayaknya selisih usia kita nggak terlalu jauh, panggil nama saja ya,” pinta Retno. “Wah kalau panggil nama kayaknya nggak sopan Bu. Nanti semua orang akan bilang saya songong. Sudah masuk jalur kerjanya di bidang yang salah, lalu memanggil orang dengan langsung nama. Tentu akan dituduh saya berbuat macam-macam. Nanti malah saya dituduh aji mumpung atau seperti yang tadi ibu bilang saya punya orang kuat, sehingga berani songong.” ucap Kia. “Kalau begitu saya panggil Mbak saja ya, kalau enggak mau dipanggil Bu,” lanjut Kia. “Ya Mbak juga boleh deh, daripada ibu atau tante. Ketuaan kan?” jawab Retno dengan senyum manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN