“Aku bangga pada kamu,” Danendra Shahzada Pratama atau yang biasa dipanggil Hendra menepuk bahu Raditya Pratama adiknya.
”Makasih Mas, karena Mas aku bisa berdiri di sini menggunakan toga kata Radit.
“Itu memang tugasku menggantikan Aba yang sudah tak ada sejak aku SMA. Yang penting kamu tak boleh menyerah dan harus terus kuliah seperti aku. Cuma kalau untuk S2 kamu harus cari biaya sendiri. Tugas Mas hanya sampai kamu S1 saja ya,” ucap Hendra.
“Ya Mas. Selama ini aku juga sudah mulai mengambil pekerjaan. Mas kan tahu itu.” balas Radit.
“Mas tahu itu, tapi selama ini kan masih Mas bantu. Nanti di S2 kamu sudah benar-benar nggak Mas bantu. Mas akan fokus untuk Hessa,” ucap Hendra.
“Aku mengerti Mas, dan aku juga akan mulai membantu ibu buat bayar kuliah adik bungsu kita,” kata Radit.
“Ya kamu harus mulai bantu ibu untuk membantu kuliahnya Hessa, biar Mas tetap tanggung biaya hidup kita semuanya,” kata Hendra.
Sejak SMA memang Hendra harus jungkir balik sendiri karena ayahnya meninggal. Ayahnya tak banyak meninggalkan warisan karena sudah habis buat biaya berobat, walau tidak minus sampai berhutang.
Untungnya ibu mereka punya penghasilan tambahan yaitu berjualan kue, made by order, bukan memiliki toko kue, tapi setidaknya untuk makan sehari-hari mereka tak kekurangan sama sekali. Selain untuk makanlah yang ditanggung Hendra.
Sejak SMA Hendra bekerja di tempat sahabatnya, dia menjadi asisten dari papa sahabatnya. Tapi Hendra juga tak tinggal diam, kadang dia bersedia menjadi sopir menjadi OB atau apa pun, yang penting dia tetap bisa bergerak. Tapi yang pasti dia sangat dipercaya oleh papa sahabatnya yaitu Aryasatya Saptana. Putra Saptana, papa Arya sudah menganggap Hendra anak sambungnya, terlebih saat Arya kuliah di Amerika.
“Aku masuk ya Mas,” pamit Radit pada Hendra.
“Ya, nanti sehabis semua selesai, kamu kembali ke sini ya,” pinta Hendra.
“Pasti lah Mas, aku pasti ingin berfoto denganmu dan ibu,” ucap Radit.
Syakira Pratama tersenyum bahagia melihat anaknya maju ke bagian wisudawan.
Saat Hendra membalikkan badan, dia melihat seorang gadis manis yang juga mengenakan toga sarjana yang sama dengan Hendra, cuma beda di warna kerah toga. Artinya beda fakultasnya.
Gadis itu tidak menggunakan riasan tebal atau didandani oleh perias profesional. Sepertinya dia dandan sendiri karena riasannya sangat tipis Hendra yang biasa bekerja dengan artis tentu hafal hasil goresan tangan make up artis atau perias wisuda, tentu beda dengan rias diri sendiri. Hendra melihat gadis itu terlihat merias wajahnya sendiri secara natural. Tapi tetap sangat cantik dan Hendra menyukai itu. Sangat menyukai.
Hendra bekerja di sebuah production house milik Putra Saptana. Dia menjabat wakil direktur, tapi selama ini dia yang memimpin perusahaan itu full sendirian. Karena CEO sekaligus Direktur utama sekaligus sahabatnya tak pernah mau peduli. Aryasatya Saptana masih enjoy menikmati kebebasan masa muda di USA.
Hendra terpesona menatap gadis ayu nan lugu. Bagaimana mungkin zaman sekarang ada gadis semanis itu? Bukan manis wajahnya saja, tapi dengan tidak dandan menggunakan MUA itu suatu nilai plus dari Hendra buat gadis istimewa itu.
Acara demi acara diikuti dengan hikmat oleh semua wisudawan dan wisudawati. Tentu mereka memperhatikan semuanya. Hari terakhir menyandang mahasiswa, karena begitu tali di topi toga pindah posisi maka mereka sudah bukan mahasiswa lagi.
Sekarang tibalah pada pemberian penghargaan untuk mahasiswa terbaik di tiap fakultas. Ini yang Hendra tunggu karena Radit adalah sarjana terbaik dari jurusannya.
Hendra menangis menitikkan air mata haru melihat Raditya atau Radit adiknya berhasil meraih predikat sarjana terbaik di fakultasnya.
Saat itulah Hendra melihat sarjana ekonomi terbaik adalah gadis manis yang tadi dia lihat saat baru datang terburu-buru.
Hendra mendengar lamat-lamat nama gadis tersebut Rizkia Khairana Arnawarma demikian yang Hendra dengar.
“Nama yang cantik secantik wajahnya, sayang wajah itu tak menampakkan senyum tulus kebahagiaan. Dia seperti tersenyum terpaksa. Mengapa di hari wisuda dia terlihat tertekan seperti itu? Apa aku boleh membuat dia tersenyum?” Hendra bergumam sendiri.
Syakira Pratama tersenyum bangga semua anaknya bisa selesai kuliah bukan semua Hessa yang paling kecil masih semester empat.
Semua berkat perjuangan Hendra, walau ada uang pensiun kecil dari almarhum suaminya tapi itu hanya cukup kehidupannya dengan tiga anak. Uang dari pensiunan hanya untuk makan saja, tidak cukup untuk biaya kuliah dan yang lain-lain. Semua kekurangan Hendra lah yang mencari.
“Kita harus foto di luar sehingga Hessa bisa ikut, kalau di dalam sini kan nggak bisa,” kata ucap Hendra setelah mengambil foto Radit di podium.
“Iya Mas aku mengerti kok, tapi aku foto-foto dulu sama teman-teman ya Mas,” Radit meminta izin pada kakak sulungnya.
“Silakan saja, tak perlu terburu-buru. Tuntaskan semua kebutuhanmu. Mas tunggu di luar ya sama ibu dan Hessa.
Hessa memang baru datang, tapi kan dia hanya bisa menunggu di luar sebab tak punya undangan untuk masuk. Itu sebabnya Hendra menyuruhnya datang belakangan saja daripada bete menunggu lama diluar gedung.
“Aku nggak lama kok Mas,” jawab Hendra. Dia tahu sang ibu nanti terlalu lelah bila harus menunggu lama.
Saat itu di luar Hendra melihat gadis yang mencuri hatinya tadi, sedang berfoto-foto bersama teman-temannya. Hendra tersenyum sendiri melihat gadis itu tersenyum manis. Dia bisa lepas tersenyum dan tertawa saat bersama teman-temannya. Tak seperti saat di podium tadi.
Beberapa kali Hendra melihat gadis itu berfoto bersama kedua orang tua dan berlima dengan keluarga lain yang kemungkinan itu kakak-kakaknya. Dia lihat gadis itu lebih sering dipeluk kakak lelakinya. Saat berpose dengan kedua orang tuanya terlihat gestur tubuh gadis itu seperti kaku dan menarik diri, seperti tak nyaman.
“Mungkin dia anak bungsu,” kata Hendra. Hendra melihat ada seorang photographer profesional yang disewa oleh gadis tersebut untuk foto mereka berlima, foto resmi. Ada juga dia bertiga dengan kedua kakaknya. Ada foto berdua ibunya saja, atau dengan ayahnya saja. Hendra asyik memperhatikan mereka berpose sehingga tak merasa lama menunggu Radit keluar. Dia pikir kan sang ibu sudah ditemani Hessa.
Akhirnya Hendra pun berfoto bersama Hessa dan Hendra juga tentunya dengan ibu mereka. Kesempatan yang sangat mereka nantikan. Walau bukan dari keluarga kaya, Hendra juga membawa seorang photographer profesional. Dan tak perlu bayar, karena dia memang bekerja di PH atau production house.
“Kamu juga harus berhasil lulus kuliah tepat waktu ya Dek,” kata Hendra pada Hessa.
“Insya Allah Mas,” jawab Hessa si bungsu. Dia tak mau mengecewakan kakaknya juga tentu sang ibunda tercinta.
Syakira Pratama bangga dengan ketiga putranya Hendra, sekarang berusia 27 tahun, Radit 21 tahun, dan Hessa 18 tahun. Demi ketiga buah hatinya dia membanting tulang. Dia menerima order kue. Awalnya hanya dari para sahabatnya, tapi akhirnya dari mulut ke mulut, kuenya terus terkenal sehingga dia mempunyai tiga pegawai untuk membantu mengerjakan semua pesanan.