‘Andai senyum kalian itu tulus, aku pasti sangat bahagia. Tapi kalian bermuka munafik,’ batin Kia dalam hatinya. Tapi dia tetap berupaya terlihat tersenyum bahagia untuk berfoto saat wisuda S1.
Kia ingat saat dua hari lalu dia menemui Asran Arnawarma, papa biologisnya yang tak punya power apa pun untuk membela dirinya. Kia menemui Asran. “Ini undangan wisuda lusa Pa.”
“Kamu diwisuda lusa dan baru sekarang kamu kasih undangan? Bagaimana sih? Papa kan harus atur waktu?” kata Asran.
“Enggak perlu atur waktu Pa, tidak datang juga enggak apa-apa kok. Datang pun Papa hanya formalitas bahwa aku anak Papa. Bahwa aku punya nama besar Arnawarma. Jadi nggak perlu repotlah. Aku cuma kasih tahu bahwa aku sudah lulus S1 dan aku akan langsung kerja!”
“Tidak bisa kamu tidak boleh kerja! Kamu harus langsung lanjutkan S2 mu!” perintah Asran tegas.
‘Tumben aku diminta kuliah lagi, waktu kak Mira begitu lulus S1, suruh langsung terima lamaran,’ batin Kia.
“Aku akan langsung melanjutkan S2 kok. Tenang saja Pa. Tapi aku tetap akan bekerja. Jadi nggak usah Papa ribet. Pokoknya aku akan langsung pergi cari pekerjaan dan mulai lusa aku juga sudah tidak lagi tinggal di rumah neraka ini!”
“Kamu nggak perlu cari pekerjaan. Kamu langsung jadi direktur di tambang Papa saja di Kalimantan,” ucap Asran.
“Tidak Pa. Aku mau kerja di Jakarta karena kuliah aku di Jakarta. Papa nggak usah atur-atur aku. Cukup! Cukup setelah aku selesai S1. Aku mau tentukan langkahku sendiri. Aku bukan boneka kalian seperti kak Mira. Dia idi-ot tak berani melawan kezaliman kalian sebagai orang tua!” balas Kia tanpa takut.
“Oke Papa kasih waktu kamu satu tahun untuk bekerja di luar, habis itu kamu langsung pegang perusahaan di Kalimantan,” Asran mulai mengalah.
“Ya nggak bisalah. Satu tahun itu aku belum selesai kuliah. Ngapain? Aku akan lanjutkan sampai S2 selesai dan Papa tak usah mengatur aku. Aku juga cukup diatur Papa sampai aku selesai S1. Aku mau kuliah arsitektur Papa suruh ekonomi, aku sudah turuti ambil ekonomi. Kurang apa aku berbakti? Sedangkan kehadiranku saja nggak dianggap oleh Papa. Kalau Papa anggap aku anak apa buktinya? Papa enggak pernah kok belain aku kalau aku diinjak-injak oleh mama. Aku sudah tanya ke semua orang aku anak kandung mama bukan, bahkan sejak SMA, aku sudah test DNA, ternyata aku anak kandung Shafa Arnawarma dan Asran Arnawarma. Bukan hanya anak salah satu dari kalian. Tapi entah mengapa mama sangat membenciku. Aku tak tahu salahku apa. Yang aku tahu sejak aku kecil, aku tak pernah merasakan dekap sayang mama!” ujar Kia getir. Sedang Asran kaget mendengar putri kandungnya telah melakukan test DNA.
“Jadi cukup Pa. Cukup sampai aku selesai S1. Habis ini aku keluar dari neraka ini,” ucap Kia sambil menuju pintu keluar ruang kerja papanya, Kia tidak menyampaikan pada sang ibunda karena bicara pun ibunya tak mau.
“Kamu tetap bisa kerja di kantor Jakarta kok, nggak harus di kantor pertambangan,” kata Asran sang papa sebelum Kia
“Enggak apa-apa, biar aku kerja tempat lain saja dulu. Nanti kalau memang aku sudah merasakan menjadi pegawai biasa baru akan aku akan kembali ke perusahaan Papa, bekerja di perusahaan Papa bila aku mau. Tapi aku yakin tak mau bekerja di bawah perintah nyonya Shafa,” tolak Kia.
“Papa tunggu. Pokoknya kamu harus kerja di perusahaan Papa seperti kedua kakakmu sudah bekerja di sana,” kata Asran tak mau kalah.
Kia pun tak peduli, dia segera keluar dan menutup pintu. Itu perdebatan kemarin saat Kia memberikan undangan wisuda untuk papa dan mamanya.
Kia tak mengharap mamanya hadir saat dia wisuda, sangat tak mengharapkan. Karena sejak kecil Kia sangat dibenci oleh sang mama.
Entah apa yang membuat Shafa sangat membenci Kia yang pasti tak pernah ada cinta seorang ibu buat Kia dari Shafa.
Dari Shafa Kia hanya mendapat target … target, dan target. Harus juara ini, harus juara itu, harus minum ini. harus minum itu, harus les ini, harus les itu. Tak boleh ini, tak boleh itu! Semuanya adalah harus tak pernah ada kata menghargai prestasi. Selalu ada kata jangan, jangan, dan jangan. Sehingga Kia juga sering membantah karena dia tak suka diatur oleh sang mama yang selalu berat sebelah lebih memperhatikan dan mencintai Mira.
Papanya?
Lelaki itu banci di depan istrinya! Tapi gagah diatas tubuh perempuan lain di luaran sana! papanya tak bisa berkutik kalau untuk masalah Kia. Papanya tak pernah bisa membela, entah mengapa. Tapi kalau masalah kakak sulungnya sang papa bisa membela di depan mamanya.
Yang sangat menyayangi Kia hanya Alkaff Callef Arnawarma yaitu kakaknya nomor dua. Laki-laki sendiri dari tiga anak yang Asran miliki. Dia yang paling mengerti Kia. Sejak kecil dia yang selalu melindungi Kia dari amarah sama mama, juga amarah kakak sulung mereka.
Karena mendapat perlakuan istimewa memang Mira menjadi sewenang-wenang terhadap kedua adiknya.
Papanya tidak pernah marah, tapi sangat lemah terhadap mamanya. Entah apa yang membuat mereka seperti itu.
‘Mimpi apa mereka datang? Bahkan kak Alkaff dan kak Mira juga datang. Dari mana mereka dapat tanda masuk?’ batin Kia saat dia melihat orang tua serta kakak-kakaknya datang ke gedung wisuda. Dia tadi berangkat sendiri dengan mobilnya. Dia tak peduli apakah orang tuanya akan datang atau tidak. Sudah menjadi hal yang lumrah dia ke mana-mana sendiri. Jadi dia sama sekali tak mengharap saat wisuda ini keduanya hadir.
‘Wow rupanya mereka mau show up! Mereka sudah sewa photographer dan presenter pula. Pantas mereka semua hadir,’ kata Kia dalam hatinya. Dia hanya memeluk Alkaff sang kakak lelakinya saja. Dia tak peduli pada Amira kakak pertamanya, apalagi terhadap ibunya. Kepada papanya saja Kia tak mau memberi salam. Cukup selama ini dia dijadikan anak pungut walau tidak diperlakukan buruk seperti pembantu, walau dia tetap diberi fasilitas yang sama dengan kakak-kakaknya. Tapi sikap papa dan mamanya terhadap dirinya tak bisa dia maafkan. Juga sikap papanya bila di depan sang istri yang terlalu mengalah.
Kia mengikuti pengarah gaya dari photographer tersebut. Senyum terpaksa dia lakukan untuk sesi foto tersebut. Benar-benar menyebalkan!
“Ayo kita makan dulu bersama-sama,” ajak Asran Arnawarma pada anak dan istrinya.
“Kita rayakan acara lulus wisudanya Kia.”
”Papa silakan saja makan bersama istri Papa dan anak-anak Papa. Saya tidak ingin ikut dan merusak kebahagiaan kalian! Selamat tinggal!” Kia langsung pergi meninggalkan papanya yang hanya bisa memandang sedih putri bungsunya.