Elard menatap gelas berisi kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas. Selain itu, Anin menyuguhkan sepiring pisang goreng yang baru saja matang.
"Silakan, Kak."
Mengangkat kepala, Elard menggaruk dagu, "Nin, belum ada lima menit perutku di isi nasi goreng. Sekarang aja, itu nasi goreng masih nongkrong di lambung. Belum otw usus halus, usus kecil, apalagi usus besar. Masa sekarang harus ngangkut sepiring pisang goreng?"
Meringis, Anin sudah membuka bibir, bersiap membalas ucapan Elard, saat Ningrum tiba-tiba ikut bergabung bersama mereka yang tengah duduk di depan tv, beralaskan karpet plastik bergambar Dora dan m*nyet kesayangannya.
"Di makan pisang gorengnya, Nak Elard. Mumpung masih panas. Kalau udah dingin kurang enak, bisa agak alot."
Jika Ningrum yang menawarkan, Elard mana mungkin mendebat.
Terkekeh hambar, pria itu menganggukkan kepala. Sebelum kemudian mencomot satu pisang goreng yang menyengat kulit tangannya, hingga kembali terlempar ke atas piring.
Astaga ... Itu pisang goreng kesurupan ikan lele yang mau di potong kayaknya.
"Hati-hati Kak, masih panas banget ya? Mau pakai garpu? Atau tisu? Biar nggak kena tangan langsung." Tawar Anin yang tak tega melihat Elard seperti itu.
"Nggak usah repot-repot, Nin. Nggak apa-apa kok."
"Di kipas aja, biar cepat hilang panasnya." Ningrum mengarahkan kipas duduk yang setiap kali berputar kepalanya, mengeluarkan bunyi deritan.
"Nin, buatkan Bibi kopi hitam juga ya. Sekalian kalau kamu mau."
"Nggak Bi, aku teh aja." Bangkit dari duduknya, Anin menuju dapur. Meninggalkan Ningrum, serta Elard yang masih sibuk menoel-noel pisang goreng di atas piring. Memastikan apa kadar panasnya sudah mulai menurun?
"Gimana tidurnya Nak Elard? Maaf ya, pasti kurang nyaman. Kalau dibandingkan sama tempat tidur Nak Elard di rumah."
Tersentak kaget, Elard segera mengalihkan perhatian dari pisang goreng pada Ningrum. "O—oh, nggak kok Bi, tidurnya enak-enak aja."
Elard sendiri heran dia bisa tertidur pulas. Bukannya tak bisa pulas karena tidur hanya beralaskan kasur lantai. Tapi, dia tipe yang tak mudah bisa tidur nyenyak jika di tempat baru.
Saat pulang ke rumah orangtuanya saja, Elard kadang kesulitan memejamkan mata karena cukup jarang menempati kamarnya di sana. Jadi ... Terasa seperti tempat asing.
"Syukurlah, Bibi senang mendengarnya."
Mengucap terima kasih karena sudah diberi tumpangan bermalam. Elard tengah memikirkan hadiah yang mungkin akan ia beri untuk Bibi Anin itu.
Tapi ... Kira-kira apa ya, hadiah yang cocok untuk diberikan pada Ningrum?
Tas? High heels? Peralatan make up? Parfum?
Itu semua cukup sering Elard jadikan alternatif untuk diberikan pada Iva sebagai hadiah.
Ah, apa dia belikan renggonang saja? Seingatnya, Anin bilang Bibinya sangat suka camilan itu. Tapi di mana beli renggonang?
Baiklah, nanti Elard akan cari tau. Mungkin ... Tak hanya untuk Bibi Anin, tapi dirinya juga. Karena sepertinya, dia pun mulai ketagihan dengan renggonang.
Eh, tapi, benar kan, namanya renggonang? Atau renggenong? Jangan-jangan renggineng?
Ck! Nanti sajalah, Elard cari tau.
Anin kembali datang dengan nampan berisi dua gelas. Kopi hitam untuk sang Bibi, dan teh manis untuknya sendiri.
Sejujurnya, saat membuka mata tadi. Elard yang masih setengah sadar, karena masih seperti orang linglung. Tersentak kaget, melihat tempat asing yang ada di sekelilingnya.
Elard kira dia diculik. Tapi memangnya siapa yang mau menculiknya?
Lalu, ingatan akan kejadian semalam menghantam ingatannya. Mendatangi pesta bersama Anin, mengantar gadis itu pulang tapi terkepung hujan di tengah jalan, tawaran menginap, hingga makan mie bersama Anin, sebelum akhirnya tertidur pulas.
Elard yang merasa sungkan, sudah berniat untuk segera pulang. Toh, matahari sudah berjinjit meneriakkan pagi.
Sayangnya, Ningrum tak menyetujui Elard yang langsung pulang. Wanita paruh baya itu mengajak Elard sarapan lebih dulu, karena Anin tengah memasak nasi goreng untuk mereka.
Sungkan untuk menolak, terlebih, menghargai sikap Bibi Anin yang selama ini sudah begitu baik padanya. Elard akhirnya mengalah. Masih dengan kaus dan sarung hasil pinjaman. Dia mencuci muka saja, sebelum akhirnya bergabung ke meja makan. Nanti saja bersih-bersih saat pulang nanti.
Sembari menikmati sepiring pisang goreng bersama-sama, mereka menyaksikan acara tv dengan obrolan ringan.
Elard menyukai semua suasana sederhana ini. Karena biasanya, setiap pagi, suasana sepi yang menjadi temannya di saat sarapan. Dia jarang menyalakan tv, lebih sering sibuk dengan ponsel.
"Kenapa Nak Elard?" Ningrum menahan keinginan tertawa melihat raut serius dan penasaran di wajah anak muda itu.
"O—oh, nggak apa-apa Bi, maaf." Mengelus belakang lehernya dengan gerakan canggung, Elard meringis malu saat tertangkap basah memerhatikan Ningrum yang mencelupkan pisang gorengnya ke dalam gelas kopi.
Sesuatu yang tak biasa bagi Elard. Walau saat kecil, dia kadang mencelupkan biskuit ke dalam s**u. Nyaris sama seperti yang Ningrum lakukan. Tapi itu pisang goreng yang dicelupkan dalam kopi, apa rasanya tidak aneh?
"Bibi memang punya kebiasaan seperti itu, Kak." Ucap Anin yang mencoba memberi penjelasan atas kebingungan Elard.
Ber'oh panjang, Elard memilih untuk fokus pada layar televisi yang tengah menayangkan acara gosip. Astaga ... Ini kan masih pagi. Kenapa dia harus dipusingkan dengan berbagai masalah para selebriti?
Tapi hal itu tak berlaku untuk Ningrum yang tampak fokus pada acara gosip yang tengah tayang.
Anin sendiri tak terlalu memerhatikan. Dia jarang mengikuti hal-hal seperti itu. Paling sekadar tau berita yang tengah menjadi topik pembicaraan.
Pukul sembilan pagi, Elard berpamitan. Mengucap terima kasih pada Anin dan Bi Ningrum yang sudah memberinya izin menginap.
Malas berganti pakaian, Elard tampak masa bodo karena berjalan menuju mobilnya dengan kaus dan sarung yang masih dikenakan.
Dia bisa saja mengambil pakaian ganti yang ada di mobil, lalu kembali ke rumah Anin untuk menumpang di kamar mandi. Atau ... Langsung saja ganti di dalam mobil? Toh, kaca jendelanya gelap dan tak akan terlihat dari luar.
Sayangnya, Elard sudah nyaman dengan apa yang dikenakannya sekarang.
Sembari bersiul, Elard mengendarai mobilnya dengan riang, karena perut pun sudah kenyang. Ah, atau hal lain yang membuat hatinya diletupi kebahagiaan?
Lalu, wajah Anin tiba-tiba saja terlintas di kepalanya. Membuat Elard berdeham canggung dan merubah raut wajahnya.
Padahal saat ini, tak ada siapa pun yang berada di dalam mobil selain dirinya. Tapi kenapa dia harus merasa malu seperti itu? Ck! Dasar payah.
Jika harus beradu pukul*n, atau mengurusi pekerjaan. Elard tentu bisa diandalkan. Tapi ... Sayangnya, jika soal percintaan, Elard benar-benar payah.
Dia bahkan belum pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita. Walau ada banyak yang mencoba untuk mendekatinya. Dari yang tipe malu-malu, hingga berani mengejarnya secara terang-terangan.
Sayangnya, hingga saat ini, hati Elard masih saja tertambat pada sosok yang tak juga peka.
Mungkin ... Karena masih tak bisa melepas cinta masa lalunya?
Oh, kasihan sekali dirinya?
Setelah berkendara beberapa lama, Elard akhirnya sampai di apartemennya.
Selesai memarkirkan mobil. Elard berjalan santai memasuki lobi gedung apartemennya. Mengabaikan beberapa mata yang secara terang-terangan, tampak tertarik memerhatikannya.
"Kalau orang ganteng, cuma sarungan, berasa liat model lagi fashion show ya?" Suara itu dan diakhiri sebuah kikikan tertangkap pendengaran Elard. Tapi pria itu tak mau ambil pusing. Membiarkan semua orang menilainya dengan pandangan apa pun.
Memasuki lift, lagi-lagi Elard menjadi pusat perhatian orang-orang yang satu lift dengannya.
"Masnya habis sunat ya?" Celetuk salah seorang wanita yang berdiri di sampingnya. Dia meringis karena mendapat cubitan dilengan dari temannya yang gemas bercampur malu.
Menolehkan kepala pada wanita itu, Elard menaikan satu alis mata, membuat sosok yang tengah ditatapnya berdebar-debar cemas. Tapi juga ada rasa malu karena mendapat tatapan seintens itu dari seseorang yang rupawan.
Mengangguk, Elard seolah membenarkan celetukan wanita itu. Membuat dua wanita yang satu lift dengannya tampak terkejut.
Tapi, hal itu belum seberapa. Dengan apa yang kemudian Elard katakan.
"Ya, baru selesai sunat. Mbaknya mau lihat?" Tanyanya sambil lalu, karena dentingan lift dan kotak besi itu akhirnya terbuka. Membuat Elard segera keluar dari sana. Meninggalkan dua wanita yang hanya bisa mematung di tempatnya.
"Yah ... Kok udah keluar sih? Kan gue belum lihat—aduh! Sakit, oy!" Keluh wanita itu setelah mendapat tabokan cukup keras di pundaknya.
"Astaga ... Lo bikin malu!" Keluh temannya yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Sementara itu, Elard berjalan santai di lorong apartemennya. Tapi ... Ketika tiba di unitnya. Tubuh pria itu menegang. Melihat seseorang yang ...entah sejak kapan, berdiri dengan menyandarkan punggung pada pintu, sembari bersedekap tangan.
Seolah sadar akan keberadaan Elard. Kepala yang sebelumnya tertunduk, tiba-tiba terangkat hingga tatapannya bersirobok dengan netra hitam milk Elard.
Keningnya mengernyit heran, sebelum kemudian, satu alisnya terangkat. Bersamaan dengan bibirnya yang membentuk senyuman. "Jadi, gue nunggu lama, karena lo baru selesai sunat?"
Elard memutar bola mata. Kenapa lagi-lagi mendapat tebakan seperti itu? Memangnya, jika keluyuran hanya dengan sarung, berarti habis sunat?
Tak menjawab, Elard justru mendorong Gavin hingga menyingkir dari pintu. Agar dia tak lagi terhalangi dan bisa masuk ke dalam apartemennya.
Mengekori Elard, Gavin menuju kulkas untuk mengambil minuman. Sebelum kemudian mendudukkan diri di sofa, dengan kaki bersilang dan meneguk santai minumannya.
Pria itu menyalakan tv, bertindak seolah-olah apartemennya sendiri.
Sementara Elard sudah menghilang ke dalam kamarnya.
Gavin sengaja menahan diri dan tak segera memborbardir Elard dengan pertanyaan. Membiarkan pria itu sibuk dengan aktivitasnya.
Meski begitu, ada tanya yang sudah berjejal di kepala Gavin.
Kenapa ponsel Elard tak bisa dihubungi sejak semalam?
Kemana pria itu pergi? Karena sepertinya, dia baru saja bermalam di luar.
Dan, yang paling membuat Gavin penasaran, kenapa Elard berkeliaran pagi-pagi, hanya dengan sarung?
Hal yang tentu saja sangat janggal. Gavin bahkan nyaris melotot melihat penampakan tak biasa Elard di depan matanya.
Beruntung, masih bisa menahan tawanya, agar tak pecah di depan saudara tirinya itu.
Jika tidak, bisa-bisa dia ditendang dan tak diperbolehkan untuk masuk.
Baiklah, sepertinya. Sebelum Gavin menyampaikan tujuannya datang pagi-pagi ke sini. Dia perlu mengulik lebih dulu, tentang semua kejanggalan yang terjadi pada Elard.
Suara pintu terbuka kemudian terdengar, diikuti langkah kaki. Tak lama, sosok Elard tertangkap penglihatan Gavin.
Pria itu tampak lebih segar dengan rambut yang masih setengah basah. Kaus abu-abu polos, dipadukan dengan celana cargo pendek warna coklat s*su.
"Jadi, dalam rangka apa lo pake sarung tadi?"
Elard mendengkus, dia bahkan baru menyentuhkan pant*tnya pada sofa di samping Gavin, saat pria itu segera melemparkan tanya padanya.
Jika Elard mengatakan yang sebenarnya, apa pagi ini akan terjadi huru-hara?