"Elard!" Iva berseru girang, mendapati kedatangan putranya yang satu itu, karena akhir-akhir ini sangat jarang tertangkap penglihatannya. Memeluk erat, ia tabok gemas bahu tegap Elard yang meringis pura-pura.
"Mama rasa, jarak rumah ini sama apartemen kamu bukan seperti beda benua. Kok susahnya ... Minta ampun buat ke sini?"
Meringis, Elard menggaruk pelipis saat mendapat omelan dari Iva. "Maaf," hanya itu yang bisa dikatakan.
Melempar tatapan sengit pada Gavin yang menyeringai puas, Elard menahan diri agar tak menendang pant*t saudara tirinya itu.
"Kamu juga Gavin!" Mendengar namanya disebut dengan nada kesal, senyum puas yang tersungging di bibir Gavin seketika meredup.
Gawat! Ternyata dia terkena omelan juga.
"Kalau nggak Mama ter*r, mana mau kamu pulang ke sini? Lama-lama, Mama beneran minta Papa buat jual apartemen kalian."
"Ma, aku kan baru pulang dari luar kota. Belum sempat untuk menginap di sini. Apalagi nanti sore sudah harus balik ke sana. Jadi seharusnya nggak dapat porsi omelan." Mengedikkan dagu pada Elard yang mendelik, Gavin tak memedulikan tatapan protes saudara tirinya, "jadi, yang pantas Mama omeli itu Elard."
Sial*n si kutu kupret! Bisa-bisanya menyodorkan Elard untuk diomeli Iva sendirian.
"Sudah, kalian berdua itu sama aja. Mentang-mentang sudah bujangan, maunya tinggal sendirian. Kenapa? Malas dengar omelan Mama kalau tinggal di sini?"
"Astaga ... Mama sensitif banget hari ini. Kenapa? Nama Mama nggak keluar pas arisan ya?" Tanya Elard sembari memberi pijatan lembut dilengan Iva, "jangan marah-marah, nanti kerutan di wajah bertambah. Sayangkan, udah pake skincare mahal-mahal."
Mendelik, Iva akhirnya mengela napas panjang. Mencoba untuk menebalkan kesabaran, menghadapi dua putranya yang sudah dewasa, tapi kadang bersikap seperti remaja.
"Sudah, sekarang kalian makan siang sama-sama di sini. Awas kalau lempar alasan lagi."
Tak ingin membuat Iva kian kesal, Elard dan Gavin akhirnya mengangguk pasrah dengan kompak.
"Papa di mana, Ma?" Tanya Elard yang mendengar kabar jika Anggoro tengah tak sehat.
"Di kamar, Papa kalian sama saja keras kepalanya. Badan masih lemes masih maksa masuk kerja." Iva benar-benar pusing menghadapi tiga pria keras kepala dalam hidupnya. Tapi meski begitu, mereka adalah orang-orang yang sangat dia cinta.
Mengangguk, Elard kemudian pamit untuk menemui sang Papa. Sementara Gavin menemani sang Mama.
Sesampainya di lantai atas, Elard menatap pintu kamar Anggoro dengan gamang. Apa sebaiknya dia tunggu nanti untuk bicara pada sang Papa? Mungkin sekarang, pria paruh baya itu tengah beristirahat.
"Den?"
"Astaga!" Berjengit karena terkejut, Elard segera membalik tubuh, dan menemukan salah seorang asisten rumah tangga, tampak membawa nampan berisi teh serta kudapan.
"Itu ... Buat Papa, Bik?"
Wanita paruh baya itu mengangguk, "iya, Tuan minta dibawakan teh sama kudapan manis. Katanya, biar mulutnya nggak kerasa pahit lagi."
"Sini, biar saya saja yang bawa ke dalam." Mencoba mengambil alih nampan tersebut, Elard menenangkan asisten rumah tangganya yang tampak sungkan, "nggak apa-apa, biar sekalian temui Papa. Tapi, tolong bukakan pintunya Bik, tangan saya sedang repot sekarang."
Segera mengangguk, wanita paruh baya itu membukakan pintu untuk Elard. Usai anak majikannya masuk ke dalam, ia tutup kembali pintunya, sebelum kemudian berlalu pergi.
Saat memasuki kamar sang Papa, Elard dapati sosok Anggoro yang tengah berselonjor di atas tempat tidur, sembari memangku laptop. Dengan punggung yang disandarkan pada tumpukan bantal.
Astaga ... Jika Iva tau suaminya bukan istirahat, tapi sibuk bekerja, pasti akan kembali murka.
"Papa nggak takut diamuk Mama Iva kalau ketahuan?"
Tersentak, Anggoro mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Mengangkat kepala, ia dapati Elard yang berjalan kearahnya sembari membawa nampan yang kemudian diletakkan di atas nakas, samping tempat tidur. Sebelum kemudian, mendudukkan diri di pinggir kasur.
"Kamu di sini?" Tanya Anggoro, menutup laptop dan melepas kacamatanya. Memijat pangkal hidung yang membuat Elard berdecak.
"Istirahat Pa, kapan mau sembuh kalau sisa tenaganya di forsir terus?" Mengambil laptop dan kacamata kerja sang Papa, Elard meletakkannya cukup jauh dari jangkauan pria paruh baya itu. Lalu kembali ke tempat duduknya.
Anggoro sendiri hanya bisa pasrah dengan apa yang putranya lakukan.
"Gavin sudah bantu urus, apa itu belum cukup untuk menggantikan pekerjaan Papa?"
Saudara tirinya itu pontang-panting demi mengurusi banyak pekerjaan demi membantu sang Papa. Tapi Anggoro masih saja memaksakan diri ikut terlibat dalam urusan pekerjaan, di tengah kondisinya yang tengah tak sehat.
"Papa harus tetap membantu mengurusi pekerjaan, El. Saat ini, perusahaan kita dalam kondisi yang mengkhawatirkan." Salah satu hal yang membuat kondisi Anggoro akhirnya drop. Tak hanya lelah secara fisik, tapi juga pikiran.
Menjalankan sebuah bisnis tentu saja tak mudah. Selalu ada masa naik-turunnya. Tapi selama ini, Anggoro mampu membuat perusahannya tetap stabil, di tengah-tengah persaingan yang kian ketat.
Tapi, bak sebuah badai yang tiba-tiba datang menerjang. Anggoro kepayahan untuk mempertahankan perusahannya yang kini terombang-ambing dalam masa-masa sulit. Selama menjalankan perusahaan, baru kali ini menyentuh titik terendah hingga membuatnya nyaris menyerah. Andai tak mengingat keluarga serta keberlangsungan hidup karyawannya yang menggantungkan hidup padanya.
"Papa lengah, sampai makhluk tak tau diri itu memanfaatkan hal tersebut." Geram Elard, setiap kali mengingat, jika kekacauan yang terjadi pada perusahaan sang Papa, dikarenakan salah seorang Omnya yang picik.
Pria tua menjijik*n itu benar-benar tak taus diri. Sudah Papanya bantu, sekarang menikam dari belakang.
Menurut Gavin, bukan cuma melakukan korupsi, pria brengs*k yang si*lnya berstatus sebagai omnya itu, di indikasikan menjual beberapa informasi pada perusahaan yang menjadi saingan Anggoro.
"Buntelan kentut itu sudah tertangkap Pa? Kalau iya, jangan dulu diserahkan ke polisi. Kasihkan ke aku dulu."
"Memangnya, mau kamu apakan El?"
"Mau aku kasih semangkuk semut merah ke dalam celananya."
Anggoro meringis mendengar rencana anaknya. Elard selalu memiliki ide-ide ajaib yang membuatnya geleng-geleng kepala. Dan, hal itu bukan sekadar kata-kata. Jika Beno benar-benar tertangkap oleh Elard. Habislah sudah!
"Sebenarnya, mau aku jadikan dia santapan buaya. Tapi ... Kasihan kalau buayanya diare. Daging pria tua itu pasti pahit karena banyak dosa."
Mengela napas, Anggoro meraih cangkir teh dan menyesapnya pelan, sembari mendengarkan ocehan putranya yang masih menggebu-gebu.
"Dia sepupu Mama kamu, El."
Mendengkus, Elard bersedekap tangan, "terus, kalau buntelan kentut itu sepupu mendiang Mama Suci, bisa seenaknya melakukan tindak kejahatan? Nggak bisa Pa, orang itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
"Papa tau, Nak. Dan sekarang sedang dicari. Menurut informasi yang Papa dapatkan, dia melarikan diri ke luar negeri." Tersenyum muram, Anggoro tatap Elard yang kian berwajah masam, "itu artinya, jalan untuk menangkapnya semakin sulit. Prosesnya pasti rumit dan butuh waktu yang lebih lama karena ada banyak prosedur yang harus dilakukan. Tidak bisa seenaknya, apalagi di negara orang."
Sial*n! Jadi mereka kecolongan?
Meski begitu, Elard tak akan menyerah. Mau bersembunyi di ujung dunia pun, akan ia seret pamannya yang brenges*k itu.
"El?"
"Ya?" Meletakkan atensi pada sang Papa, Elard memilih untuk menunda segala rencana yang tersusun di kepala.
"Gavin bilang, kamu bersedia untuk menggantikan Papa dan dia menghadiri acara salah satu rekan kerja perusahaan kita?"
Sebenarnya Elard tak mau. Dia paling malas jika harus mendatangi acara-acara semacam itu. Tapi mau bagaimana lagi? Gavin sibuk menyelesaikan pekerjaan di luar kota, sementara Papanya tengah tak memungkinkan karena kondisinya belum sehat sepenuhnya.
"Hm ... Ya," jawabnya ragu.
"Tumben?" Menaikan satu alis mata, Anggoro menatap wajah putranya yang memasam. Jelas sekali, Elard sebenarnya tak berminat datang.
"Gavin bilang, pemilik pesta salah satu rekan kerja Papa yang penting. Jadi rasanya sungkan untuk absen," mengedikkan bahu tak acuh, Elard menatap Anggoro, "aku rasa sebaiknya menggantikan kalian berdua untuk setor muka."
"Setor muka?" Mengerutkan kening, Anggoro menggelengkan kepalanya pelan, mendengar istilah yang Elard gunakan.
"Iya Pa, setor muka. Mungkin basa-basi sedikit, habis itu pulang. Yang penting pria itu tau kalau Papa hadir meski dengan aku sebagai perwakilan."
Suara ketukan pintu membuat atensi Elard maupun Anggoro teralihkan. Keduanya serempak menolehkan kepala kearah pintu, di mana ada sosok Iva yang sudah berdiri di sana.
"Baiklah, pembahasan apa pun yang sedang kalian lakukan, tolong hentikan sejenak. Karena sekarang, waktunya untuk makan siang."
Bangkit dari duduknya, Elard kemudian pamit untuk keluar.
"Papa mau makan di kamar, atau bareng sama anak-anak di meja makan?"
Menyingkap selimut yang menutupi hingga pinggang. Anggoro bergerak turun dari tempat tidur. "Tentu saja makan bersama. Papa tidak mau melewatkan momen langka semacam ini. Kamu tau sendiri, dua pemuda itu cukup sulit untuk diminta pulang ke rumah."
Terkekeh sembari mengiyakan. Iva membantu sang suami untuk berjalan menuju meja makan.
Di sana, Elard dan Gavin sudah menempati kursi masing-masing. Menunggu Iva serta Anggoro turun.
Gavin mendesis, saat kakinya yang berada di bawah meja, mendapat tendangan dari Elard. Melempar pelototan, saudara tirinya itu justru bersikap tak acuh. "Apaan?" Tanyanya dengan kesal. Apa tidak bisa dengan cara normal? Ck! Dasar Elard.
Memajukan posisi duduknya, Elard mencondongkan tubuh kearah Gavin yang duduk berseberangan dengannya. "Gue minta foto buntelan—ekhm! Maksudnya, Om Beno."
"Buat apaan? Mau lo santet?" Kekeh Gavin yang membuat Elard mendengkus.
"Kurang greget kalau begitu, gue mau cara langsung." Mengela napas panjang, Elard menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang berada di belakangnya. "Gue udah lama nggak liat si tua bangka itu. Jadi agak lupa sama mukanya. Tapi kayaknya makin jelek dia."
"Lo mau cari Om Beno? Percuma, orangnya udah kabur ke luar negeri."
"Gue nggak peduli. Kabur ke planet lain pun bakal gue kejar. Apalagi ini, masih berada di bumi yang sama."
"Nggak semudah itu, El."
"Gue tau, udah lo tinggal kirim fotonya."
Tak lagi mendebat, Gavin akhirnya mengalah. Merogoh saku kemejanya, ia raih ponsel dan mulai membuka galeri foto. Mencari-cari potret Om Beno yang sempat terabadikan saat berfoto bersama, usai mereka merayakan hari ulangtahun Gavin waktu itu.
Karena tak enak mendapat kejutan dari para karyawan, Gavin akhirnya mentraktir mereka di salah satu restoran Jepang. Dan saat itu, ada Om Beno yang ikut serta bersama Anggoro.
Setelah mendapat notif berisi foto Om Beno, Elard mengacungkan ibu jari kanannya untuk Gavin. "Sip, makasih." Ucapnya, lalu memerhatikan foto Beno dengan mata memicing, "kan, apa gue bilang? Ini buntelan kentut makin jelek. Udah nggak good looking, bad attitude lagi. Nggak guna banget hidupnya. Cuma menuh-menuhi bumi doang!"
Gavin hanya bisa mendesah pasrah, saat pendengarannya dijejali ocehan Elard yang tengah melempar maki*n untuk Beno.
Tapi kemudian, tak ada lagi yang membahas tentang Beno saat melihat kedatangan kedua orangtuanya yang ikut bergabung di meja makan.
Sang Papa jelas tak akan menyetujui rencana Elard. Yang berusaha untuk mencari dan membawa Beno kembali ke tanah air untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pria paruh baya itu terlalu berbahaya. Tak segan untuk melenyapkan siapa pun yang dianggap sebagai penghalang jalannya. Jika saja tak memiliki keterkaitan dengan mendiang istrinya, Anggoro tak akan mau membantu.
Terlebih, jika menilik sepak terjang seorang Beno. Yang membuat perusahaan keluarga pria itu akhirnya berakhir bankrut.
Tapi, ketika tengah kesusahan dan tak lagi memiliki apa-apa. Beno mendatangi Anggoro dengan penampilan bak seorang gelandangan. Dia bahkan menangis dan memeluk kaki Anggoro agar bersedia membantunya.
Beno mengaku istirnya tengah sakit keras, sementara anaknya masih berada di pusat rehabilitasi karena kecanduan obat-obatan terlarang. Dia kebingungan mencari biaya untuk keluarganya setelah bankrut.
Mengaku menyesal dan berjanji akan menjadi seseorang yang lebih baik ke depannya. Beno kian memancing simpati Anggoro dengan membawa-bawa nama mendiang Suci yang merupakan adik sepupunya.
"Jika saja Suci masih ada, dia tak akan segan untuk memberikan bantuan. Aku menganggapnya seperti adik kandung sendiri. Dan ketika dia meninggal dengan cara tragis, hal itu benar-benar menghancurkan hati keluarga besar kami. Suci yang malang." Terguguk, Anggoro menangis sembari memukul-mukul dad*nya sendiri.
"Dia sangat mudah dicintai karena keelokan fisik serta hatinya. Tapi sayang, suaminya justru menyia-nyiakan." Ucapnya yang membuat Anggoro mengeraskan rahang, karena Beno seolah tengah menyindirnya.
"Meninggal dalam keadaan patah hati, bukankah itu sangat menyakitkan?"
Tak lagi tahan, Anggoro meminta pria itu untuk bangkit.
"Sungguh, aku akan bekerja dengan baik. Kau tau? Aku memiliki kemampuan yang hebat dalam mengelola perusahaan. Hal itu yang membuatku akhirnya ditunjuk dan dipercaya menjadi pemimpin. Sayangnya, aku tertipu rekan kerjaku hingga perusahaan akhirnya bankrut."
"Baiklah," mendengar keputusan Anggoro, wajah kusam Beno yang basah karena air mata, seketika sumringah.
"K—kau bersedia menerimaku untuk bekerja di perusahaanmu?"
Mengangguk kaku, Anggoro menatap sepupu iparnya itu. "Ya, kamu bisa bekerja di perusahaanku. Tapi ... Di salah satu cabang yang berada di luar kota. Karena, di perusahaan utama tidak ada lowongan."
Mengangguk-anggukkan kepalanya penuh semangat, Beno yang sebelumnya sudah duduk di sofa yang bersebrangan dengan Anggoro. Seketika turun untuk bersimpuh, lalu berjalan dengan lututnya mendekati Anggoro yang bertahan di tempat duduknya. "Tidak apa-apa," ia raih tangan suami dari mendiang adik sepupunya dengan erat. "Di mana pun di tempatkan, aku bersedia. Dan berjanji akan bekerja dengan baik."
Dan, ya, Beno memang menepati janjinya untuk bekerja dengan baik. Setahun berada di salah satu cabang perusahaan milik Anggoro. Pria itu mampu memperlihatkan kinerja yang memuaskan.
Hingga akhirnya, Anggoro menarik Beno ke perusahaan utamanya. Untuk menggantikan salah satu pekerjanya yang memilih resign karena akan berwirausaha.
Tak ada yang janggal pada awalnya. Beno masih bekerja dengan baik nyaris dua tahun di tempatkan ke perusahaan utama. Hal yang kini disesali Anggoro karena melonggarkan pengawasan. Pada sepupu mendiang istrinya itu.
Beno benar-benar pandai memanipulasi. Pria itu memupuk kepercayaan Anggoro secara perlahan padanya. Lalu, ketika dia akhirnya berhasil menjadi sosok yang dipercaya, jalannya untuk mengobrak-abrik perusahaan Anggoro semakin mudah.
Sekarang, pria itu melarikan diri, membawa banyak uang hasil korupsi dan menipu seseorang yang sudah membantunya agar tak menjadi gelandangan lebih lama.