6. Bermalam

1880 Kata
Berdeham, Elard tersenyum pada Anin, yang baru saja menyuguhkan gelas berisi teh hangat untuknya, dan diletakkan di samping kasur lantai yang berada di ruang tv. Mengalihkan atensi pada pria yang kini berada di kontrakannya, Anin berjalan menghampiri. "Sudah Kak? Gimana? Pas?" Tanyanya, sembari menelusuri penampilan Elard yang berubah drastis. Pakaian rapi yang pria itu kenakan tadi di pesta ulangtahun Saras sudah ditanggalkan. Berganti dengan kaus sederhana yang sebetulnya milik sang Bibi. Tenang, itu kaus baru yang baru saja wanita paruh baya itu beli di sebuah pasar yang tengah menjajakan dengan harga miring.  Tubuh Ningrum memang cukup berisi, hingga kadang membeli kaus, selain daster, berukuran cukup besar, untuk digunakan sebagai pakaian santai saat berada di rumah.  Sementara untuk bawahan, Elard mengenakan sebuah sarung. Mengingat, tak mungkin meminjam celana dari Ningrum, apalagi Anin.  Sekujur tubuh Elard basah kuyup, membuat pria itu diminta untuk segera membersihkan diri dengan air hangat yang Ningrum siapkan. Tak memedulikan atas rasa sungkan dari Elard yang tak ingin merepotkan.  Sebetulnya, Elard bisa saja kembali ke mobil untuk mengambil pakaian ganti. Sayangnya, Ningrum melarang karena diluar tengah hujan deras dengan angin yang cukup kencang. Belum lagi, payung di rumahnya tengah rusak. Padahal Elard sendiri tak keberatan jika harus menerobos hujan. Toh, dia sudah terlanjur basah kuyup. Sayangnya, Ningrum tak sependapat dan justru menawarkan diri untuk meminjamkan pakaian sementara. Membuat Elard sempat sangsi apakah cukup ditubuhnya atau tidak? Dan ternyata, kaus yang wanita paruh baya itu pinjamkan bisa pas di badannya. Untuk bawahan, karena tak mungkin meminjam celana, Elard akhirnya diberi sarung. Untungnya, saat tadi memeriksa di kamar mandi, dalamannya tak ikut kuyup. Bisa bahaya kalau basah juga. Masa iya, dia berkeliaran di kontrakan Anin hanya menggunakan sarung dengan aset yang tak terlindungi apa pun dari balik sarung tersebut?  "Kak?" "Hah? Kenapa?" Mengerjap, Elard meringis sembari menggaruk rambutnya yang masih setengah basah. Sibuk terseret lamunan, membuat Elard kehilangan fokus dan tak mendengar apa yang tadi Anin ucapkan.  "Itu, kaus dari Bibi, cukup sama Kak Elard?" "O—oh ... Cukup kok, nih, lihat sendiri. Sedikit agak ketat sih, tapi lumayan nyaman kok." Mengangguk, Anin kemudian menurunkan pandangan, dan menjatuhkan tatapan pada kedua tangan Elard yang membawa sebuah kantung plastik berwarna hitam. "Itu apa, Kak?" Seingatnya, Elard tak membawa apa pun saat tadi mengantarnya hingga ke kontrakan. Mereka sibuk menyelamatkan diri dari jamahan para hujan. "Ini pakaian basah, maaf nggak izin dulu, tadi nemu kantung plastik cukup besar di dapur. Jadi aku ambil buat wadah baju basah. Kalau nggak, nanti airnya bisa netes kemana-mana." Ber'oh panjang, Anin kemudian mengulurkan tangan dan meminta kantung plastik berisi pakaian basah milik Elard. "Buat apa?" Tanya pria itu kebingungan atas tindakannya. "Mau aku taro di tempat cucian Kak, biar besok sekalian di cuci." "Eh, nggak usah, Nin. Udah cukup aku ngerepotin, nggak mau nambah daftar yang lain." Terkekeh, Anin tetap mengambil alih kantung plastik tersebut. Mengabaikan kesungkanan Elard. "Nggak apa-apa Kak, lagian, nggak mungkin kan, Kak El bawa-bawa ini terus kemana-mana?" Meringis, Elard tampak mengiyakan meski dalam hati. Dan akhirnya, hanya bisa pasrah, saat kantung plastik berisi pakaian basahnya sudah berpindah ke tangan Anin. "Aku udah bikin teh hangat. Sama ada biskuit di kaleng, buat camilan kalau Kak Elard mau." "Yaelah, ngapain repot-repot sih?" "Nggak repot sama sekali, Kak." Anin yang juga sudah membersihkan diri, bahkan lebih dulu dari Elard, kemudian pamit ke belakang, untuk meletakkan kantung plastik berisi pakaian basah milik Elard yang keesokannya akan ia cuci. "Bibi kemana, Nin?" Baru saja gadis itu mengayunkan langkah pertamanya, Elard melempar tanya hingga membuat Anin urung untuk beranjak.  "Bibi udah di kamarnya Kak, udah tidur. Kadang suka lebih awal tidurnya." Menganggukkan kepala usai mendapat informasi tersebut, Elard menyilakan Anin yang ingin menuju ke belakang. Sepeninggal Anin, Elard mengusap tengkuk dengan pandangan yang ia edarkan ke sekitar kontrakan sederhana yang di tempati Anin dan Bibinya.  Astaga ... Ruang tengah yang kini di tempatinya bahkan tak lebih luas dari kamar mandinya yang berada di apartemen. Menundukkan pandangan, Elard menemukan segelas teh yang tampak masih mengepulkan uap meski samar, sudah tersuguh. Dengan satu kaleng biskuit di sampingnya. Bersila di atas kasur lantai yang tergelar di depan tv yang tengah menayangkan sinetron, Elard mengambil gelas yang sejak kepergian Anin tadi, kini mendapat fokus utama darinya.  Menyesap pelan, Elard merasa lega saat rasa hangat, kini bisa tubuhnya rasakan. Meletakkan kembali gelas tersebut ke atas sebuah piring kecil yang menjadi tatakan. Elard beralih pada kaleng biskuit. Sejujurnya, ia cukup lapar, karena belum mengisi perut. Saat membuka kaleng yang bergambar aneka bentuk biskuit yang cukup menggiurkan, untuk sekadar menjadi pengganjal perut malam ini. Kening Elard mengerut, pria itu meraih salah satu isinya dan memerhatikan dengan seksama. Mengerjap-ngerjapkan mata, Elard meneliti bentuk biskuit yang tampak ganjil. Dia bahkan mencoba mencocokan dengan salah satu gambar biskuit yang berada di kaleng. Tapi sayangnya, tidak ada yang mirip dengan biskuit yang kini berada ditangannya. "Kenapa, Kak?" Anin yang baru saja kembali dari belakang. Mengambil tempat di sebelah Elard, dengan menyisakan ruang kosong sebagai batas di antara keduanya. Gadis itu ikut mengerutkan kening, saat melihat wajah Elard yang tampak serius bercampur heran. "Eh, ini Nin, lagi bingung aja." "Bingung kenapa?" "Ini kan dikaleng gambarnya beda-beda ya, tapi kok, pas gue buka, beda banget bentuknya sama yang di kaleng. Gue cari-cari yang kayak gini nggak ada." Tunjuknya pada Anin yang tampak tertegun sejenak. Sebelum tawa kecilnya mengudara. "Lah, malah ketawa." Heran Elard yang membuat Anin berusaha menyingkirkan rasa geli yang menggelitik melihat kepolosan Elard yang jarang terlihat. Mengingat, pria itu selalu tampak dominan dan tak jarang, membuat orang di sekitarnya menjadi segan. "Maaf Kak," ucap Anin sembari berdeham, sebelum kemudian berusaha menjelaskan sesuatu. "Itu memang bukan salah satu biskuit yang ada di kaleng." "Lah, terus?" "Itu biskuitnya habis, terus sama Bibi, di isi ulang sama rengginang." Anin jarang menikmati camilan di rumah, jadi ia pun tak tau, jika isi kaleng biskuit yang berada di dekat Elard, sudah berganti menjadi rengginang. Ber'oh panjang, Elard kembali mengamati makanan yang masih berada ditangannya. Anin sendiri hanya mengulum senyum, melihat raut Elard bak anak kecil menemukan sesuatu yang membuatnya begitu penasaran. "Coba aja Kak, siapa tau suka. Enak kok buat camilan." "Hm ... Oke, gue coba ya?" Tanya Elard pada Anin yang menganggukkan kepala.  Menggigit rengginang yang beberapa remahannya jatuh ke atas sarung yang dikenakan, Elard mengernyit. "Kenapa Kak? Nggak suka ya?" "Hm ... Bukan nggak suka sih," meringis, Elard menggaruk pelipis dengan gerakan canggung. "Rengganongnya gurih—" "Rengginang Kak, bukan rengganong." Koreksi Anin yang membuat ucapan Elard terinterupsi. "O—oh, iya, rengginangnya gurih, tapi ... Baunya agak aneh ya?" Anin manggut-manggut mendengar penuturan Elard, gadis itu teringat sesuatu dan diberitahukannya pada pria itu, "mungkin karena itu ada rasa terasinya Kak. Bibi memang doyannya rengginang yang rasa terasi." "Terasi?" Beo Elard sembari mengunyah, "yang buat bikin sambal itu?" "Iya Kak, terasi, salah satu bahan buat bikin sambal." Setelahnya, Elard tak sadar sudah menghabiskan satu bulatan rengginang. Meski awalnya asing dan terasa aneh, tapi lama-lama dia doyan dan terus memakannya. Membuat Anin kembali mengulum senyum. "Kamu nggak tidur, Nin?" Melirik penunjuk waktu yang tergantung di dinding ruangan, Elard kembali meletakkan atensi pada Anin, "udah jam sepuluh malam." Menggaruk pipi, Anin terkekeh kecil, "tidur kok Kak, tapi ... Nanti, aku mau bikin mie dulu. Tiba-tiba lapar, apalagi lagi hujan kayak sekarang." "Bikin mie?" Elard yang baru saja menyesap teh, tiba-tiba membayangkan semangkuk mie instan yang masih mengepulkan uap panas. Astaga ... Perutnya seketika meronta-ronta. "Iya Kak, dibawa tidur juga pasti nggak akan nyenyak kalau perut keroncongan." "Hm ... Nin, aku ngikut boleh nggak?" "Hah? Ngikut? Ngikut kemana, Kak?" Mengerutkan kening, Anin tampak tak mengerti dengan ucapan Elard. "Itu ... Maksudnya, aku ikut bikin mie." Dengan gerakan canggung, Elard mengusap perutnya, "sebenarnya, perutku juga keroncongan." "Ya ampun, kenapa nggak bilang? Yaudah, Kak El di sini aja, biar aku yang masak mie." "Aku bantu-bantu deh, biar cepet, cuma cemplungin mie doang mah, aku juga bisa." "Nggak usah Kak, nggak apa-apa, aku aja." Tak menunggu jawaban dari Elard, Anin segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Meninggalkan Elard yang akhirnya hanya bisa mengela napas, sebelum kemudian meletakkan kaleng biskuit berisi rengginang yang mulai disukanya dengan pandangan terarah pada televisi yang tengah menayangkan adegan sinetron. "Astaga ... Jadi itu cewek anaknya siapa? Ribet amat silsilahnya." Gumamnya sembari menggelengkan kepala. Entah berapa lama Elard sibuk menonton tv dengan mengunyah rengginang yang nyaris tandas. Saat penciumannya menangkap aroma sedap dari bumbu mie instan yang membuatnya meneguk ludah. Menahan diri agar air liur tak sampai menetes keluar. Elard memerhatikan kedatangan Anin. "Maaf ya Kak, nunggu." Anin datang dengan sebuah nampan berisi dua mangkuk mie kuah dengan tambahan potongan cabe rawit, sawi, dan telur rebus. Tak lupa ditambahkan saus sambal meski sudah ada rasa pedas dari potongan cabe rawit. "Ya ampun Nin, aromanya bikin nggak nahan." Terkekeh, Anin meletakkan satu mangkuk ke hadapan Elard yang tak melepaskan pandangannya. "Ayo Kak, di makan. Mumpung mienya belum ngembang. Eh, tapi hati-hati makannya, nanti melepuh soalnya masih panas banget." Mengangguk sembari mengucap terima kasih, Elard mengangkat mangkuk yang sudah diberi tatakan piring kecil agar tangannya tak kepanasan saat mengangkatnya. Karena tak ada meja kecil. Kalau makan sambil menunduk, lehernya terasa pegal. "Eh, Nin, maaf, itu renggonang—" "Rengginang, Kak." "Oh, iya, maksudnya rengginang, tinggal dikit. Nggak sadar aku cemilin terus sampai mau habis. Nanti aku ganti uang buat beli lagi ya?" "Nggak perlu Kak, biasanya Bibi ada stok kok dilemari dapur." "Tetap aja, aku nggak enak. Udah numpang, malah ngerampok camilan Bibi." Nyaris tersedak, Anin hanya bisa meringis. Elard dan keras kepalanya memang sulit untuk dilawan. "Yaudah, terserah Kak El aja." "Nah, gitu dong." Tersenyum puas, Elard kembali fokus pada mangkuk berisi mie miliknya. Mengabaikan tayangan yang tadi ditontonnya.  Usai makan mie bersama. Anin membereskan bekas makan mereka, dengan Elard yang memaksa membantu mencucinya. "Kak, aku ke kamar ya, kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu, ketuk aja pintunya." "Iya, nggak usah pikirin aku, perut udah aman, nggak butuh apa-apa lagi kok, udah sana, istirahat." Menganggukkan kepala, Anin beranjak pergi. Meninggalkan Elard seorang diri yang kini tengah menyaksikan siaran pertandingan sepak bola.  Entah berapa lama pria itu fokus menonton? Saat mencuri pandang pada penunjuk waktu yang tergantung di dinding ruangan, rupanya jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Pantas saja matanya sudah terasa berat dan mulai sering menguap.  Mematikan televisi, Elard berbaring di atas kasur lantai, dengan kepala yang ia rebahkan di bantal bermotif bunga-bunga.  Suara hujan yang masih riuh di luar sana, bak menjadi musik pengantar tidur. Tanpa sadar, sudut bibir Elard terangkat, hingga membentuk senyuman. Saat ingatannya tengah merunut kembali, semua kebersamaannya dengan Anin hari ini.  Semua terasa menyenangkan. Elard bahkan tak pernah terpikirkan bisa menginap di kediaman gadis itu. Meski kini tidur di tempat yang tak seempuk dan senyaman kamarnya di apartemen, dan—oh, jangan lupakan para nyamuk nakal yang terus menjadikannya target makan malam, meski keberadaan kipas duduk cukup membantu membuat para nyamuk kepayahan mendarat di kulitnya karena berjibaku dengan embusan angin dari kipas tersebut. Semua kesederhanaan yang sekarang Elard rasakan, begitu membahagiakan.  Sebelum ... Wajah Gavin tiba-tiba bergentayangan di benaknya, meluruhkan suka cita yang tadi Elard rasakan. Berganti rasa tak nyaman, seolah dia tengah menikung saudara tirinya itu dengan kedekatannya saat ini bersama Anin. Mengela napas panjang, Elard mengusap wajah lelahnya. Berusaha mengusir apa pun yang kini berjejal di kepala. Sebelum kemudian meringkuk dan memejamkan mata, berusaha mengundang kembali kantuk, agar bisa segera terseret lelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN