"Hah, Renggonang? Jenis makanan apaan itu Bos?" Panca melempar tanya pada Elard yang tengah berkunjung ke rumah barunya.
Sebelum menikah, pria itu tinggal di apartemen. Kemudian memilih untuk membeli sebuah rumah yang akan di tempati bersama Nara, sepulangnya dari honeymoon.
"Bentuknya bulet, kayak nasi kering. Terus menurut Anin, ada yang original, sama rasa terasi."
"Gue nggak tau, boro-boro pernah beli, lihat wujudnya aja belum pernah."
Mengela napas, Elard menyandarkan punggung pada sandaran sofa yang berada di belakangnya. Mengacak rambut pelan.
Walau Anin tak mempermasalahkan camilan bibinya dia kudeta. Tapi tetap saja, Elard ingin menggantinya. Yang jadi masalah, dia bingung harus membeli di mana?
"Bahas apa sih? Muka Masnya sampai kusut kayak baju lupa disetrika." Nara datang membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring kue bolu. Menyajikannya untuk Elard dan sang suami.
"Makasih, maaf ya, kamu masih harus repot sendiri. Aku masih cari-cari asisten rumah tangga yang cocok."
"Nggak apa-apa, aku biasa urus pekerjaan rumah. Lupa apa, dulu sempat magang jadi ART sama yang duduk di sana." Dengan dagunya, Nara menunjuk sosok Elard.
"Kamu hebat juga ya, dulu tahan sama si Bos."
"Siapa bilang? Kupingku rasanya pengang tiap hari dapat omelan."
"Bos itu luarnya doang galak, tapi hatinya kayak mochi kok, Sayang." Ucap Panca, sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Nara.
Memutar bola mata, gondok melihat kemesraan di depan matanya, Elard berdeham-deham untuk mencuri atensi sejoli yang menganggapnya bak makhluk tak kasat mata.
"Lo berdua ngomongin gue gampang banget kayak ngupil. Seolah-olah yang dibicarakan nggak ada orangnya."
"Loh, bukannya bagus? Daripada kita ngomongin Masnya di belakang. Nanti kuping Masnya berdengung terus. Begitu sih kata orang."
Elard nyaris menjawab, tapi suara ponsel milik Panca sudah lebih dulu menginterupsi.
"Lo berdua udah di luar? Oke, tunggu sebentar." Usai mengakhiri panggilan secara singkat, Panca memberitahukan kedatangan Dika dan Dafa.
"Biar aku aja yang buka," ucapnya, saat Nara bersiap untuk beranjak menuju pintu.
Tak mendebat, dia biarkan sang suami yang pergi membukakan pintu untuk si kembar yang sudah menunggu.
"Jadi, apa yang Masnya bahas sama Pak suami tadi?" Tanya Nara usai kepergian Panca.
Meski enggan, Elard akhirnya memberitahu Nara, "gue cuma nanya tentang renggonang."
"Hah?" Mengerjap, Nara mengerutkan kening dengan wajah bingung. "Itu apaan Masnya?"
"Ck! Kenapa nggak ada yang tau sih?"
"Memangnya itu apaan?"
"Makanan."
"Makanan?" Beo Nara sembari mencangkul ingatan dikepala, apa dia pernah mengetahui jenis makanan bernama renggonang sebelumnya?
"Iya, makanan, bentuknya bulet kayak nasi kering gitu."
Mendengar penjelasan lebih detail dari Elard, Nara menepuk kening dengan keras. "Astaga ... Maksud Masnya rengginang?"
Mengerjap, Elard sempat terdiam sejenak. Sebelum kemudian menegakkan posisi duduknya dan menatap Nara penuh harap. "Iya benar! Itu! Itu maksud gue! Lo tau?"
Nara menganggukkan kepala, membuat Elard segera menjentikkan jari penuh semangat. "Tolong beliin dong Na. Gue transfer uangnya." Bergegas merogoh saku celana, Elard mengutak-atik ponselnya. "Rekening lo masih sama kan?"
"Masih kok. Tapi nggak harus sekarang, nanti aku belikan dulu. Memangnya mau berapa banyak rengginang yang Masnya mau beli?"
"Terserah, yang banyak aja pokoknya." Usai mentransfer sejumlah uang ke rekening Nara, Elard meletakkan ponsel miliknya ke atas meja.
Tak lama, suara dentingan pertanda adanya notifikasi masuk, membuat Nara merogoh saku bajunya.
Jika saja tengah berada di dunia kartun. Dia yakin, kedua bola matanya pasti sudah menggelinding jatuh saat ini. Melihat nominal uang yang baru saja Elard transfer padanya untuk membeli rengginang.
Sepuluh juta?!
Astaga ... Berapa banyak rengginang yang harus dibelinya dengan uang sepuluh juta?
"Masnya?"
"Hm?" Jawab Elard dengan gumaman, ketika meletakkan cangkir teh yang baru saja dia sesap.
"I—ini, nggak salah?"
Mengerutkan kening, Elard menatap Nara heran. "Kenapa, Na? Kurang ya uangnya? Perlu berapa lagi beli reng—reng apa sih namanya? Astaga ... Lupa terus gue!" Kesalnya sembari menggaruk belakang kepala.
"Rengginang!"
"Nah, iya itu."
"Masnya mau hajatan? Banyak banget beli rengginangnya?"
"Hajatan itu apa?"
Belum sempat Nara menjawab, suara obrolan dan gelak tawa yang tertangkap pendengaran, membuat atensinya teralihkan yang sebelumnya pada Elard. Kini kearah sang suami dan teman-temannya.
Loh, tunggu!
"Mbak Anin?!" Seru Nara antusias. Segera bangkit dari duduknya. Meninggalkan Elard yang terbatuk-batuk karena tersedak kue bolu. Terkejut saat nama seseorang yang tak diduganya baru saja Nara teriakan.
Meraih cangkir teh dan meneguknya rakus untuk meredakan batuk. Elard menolehkan kepala, dan benar saja. Ada sosok Anin yang tengah bercipika-cipiki dengan Nara. Kedua wanita itu segera sibuk terlibat perbincangan seru.
Kenapa bisa ada Anin di sini?
"Yaudah si Bos, santai aja. Itu mata mau copot lihat si 'dia'. Gue nggak ada solatip di rumah nih, buat tempelin lagi mata lo kalau copot." Gurauan Panca yang tertangkap pendengarannya membuat Elard segera sadar. Sebelum kemudian mendengkus dan berusaha bersikap tak acuh.
"Apaan sih lo, ulekan sambel!"
"Ih, Masnya. Suami aku disamain ulekan sambel." Protes Nara yang Elard abaikan.
"Halo, Kak." Sapa Anin sungkan, sembari mengangkat tangan kanannya singkat.
Menggaruk pelipis, Elard membalas tak kalah canggung.
"Mbak Anin, mau temenin aku ke dapur nggak? Biar para lelaki di sini. Mereka kalau udah saling ketemu pasti sibuk sama obrolan sendiri."
Menganggukkan kepala sebagai persetujuan, Nara segera menariknya kearah dapur.
Sementara itu, para lelaki mendudukkan diri di tempat duduk masing-masing.
"Kalau dilihat dari reaksi heboh Nara, kayaknya dia nggak tau sama kedatangan Anin." Ucap Elard yang memulai pembicaraan.
Panca terkekeh sembari menganggukkan kepala, "memang nggak Bos. Sejujurnya, pas kalian semua berencana datang ke sini, gue tentu senang. Tapi kemudian, mikir lagi. Nara pasti merasa terabaikan kalau kita asyik ngobrol. Jadi, gue inisiatif hubungi Anin. Untungnya dia bersedia datang."
"Bareng lo berdua?" Kali ini, tatapan Elard tertuju pada Dika dan Dafa.
"Ya, nggak Bos. Kebetulan ketemu di depan tadi." Jawab Dika sembari mencomot kue bolu yang tersuguh di atas meja.
"Nggak ada satu menit kita sampai, Anin juga tiba di sini. Makanya kita bisa barengan tadi." Beritahu Dafa.
"Kita kagak berani colak-colek calis masdepnya Bos." Ucap Dika kemudian.
"Lo ngomong apaan sih, Dik?" Heran Elard, pada sahabatnya yang sibuk mengunyah.
"Ah, elah. Itu singkatan dari calon istri masa depan Bos."
Tersedak ludah sendiri. Elard melempar pelototan pada Dika yang hanya nyengir. "Duh, seret tenggorokan gue. Pan, minta air dong!" Ucap Dika sembari mengelus jakunnya.
"Noh, di kolam renang banyak air. Lo sedot sana!"
"Bener-bener ya, lo. Tuan rumah nggak ada akhlak!" Dengkus Dika. Tapi wajah masamnya seketika berubah sumringah. Mendapati kedatangan Anin yang membawa nampan berisi dua gelas es jeruk.
"Ini dia bidadari penyelamat gue." Belum sempat Anin memindahkan gelas berisi es jeruk ke atas meja. Dika sudah lebih dulu menyerobotnya.
Mengucap terima kasih ala kadarnya, pria itu bergegas meneguk rakus. "Akh! Segarnya ... Berasa nemu oase di tengah gurun."
Mengabaikan dengkusan para pria lainnya, serta ringisan Anin yang meletakkan gelas satunya untuk Dafa. Dika sibuk menggigit es batu.
Berhubung ada banyak tamu di rumahnya. Nara kemudian berinisiatif untuk membuat nasi liwet yang nanti akan di makan bersama-sama.
Dengan ditemani Anin yang membantunya, gadis itu tampak begitu bersemangat.
Sementara para pria, masih asyik berbincang. Sesekali terdengar gelak tawa hingga tertangkap pendengaran Nara dan Anin yang berada di dapur.
Setelah berkutat beberapa lama, Nara bergegas menemui para pria untuk mengajak mereka makan.
"Oke, Bapak-bapak, bincang-bincangnya tolong ditunda dulu, sekarang saatnya isi perut." Menarik lengan sang suami hingga berdiri, Nara mengabaikan wajah-wajah para lajang yang tampak jengah melihatnya bergelayut manja pada Panca. "Kita makan di ruang tengah ya." Tambahnya kemudian.
"Loh, kenapa nggak di meja makan, Yang? Kursinya cukup banyak, jadi kalau kita semua isi pasti kebagian."
"Kan mau ngeliwet, Sayangku. Nggak seru kalau di meja makan. Kita semua makan sambil lesehan. Udah ayo, makanya lihat dulu, sebelum protes."
"Nggak protes, Yang. Aku kan cuma—"
"Ekhm! Maaf ya, ini kapan makannya? Lo berdua sibuk debat-debat manja. Asam lambung gue keburu naik ini." Gerutu Dafa yang diangguki Dika serta Elard.
Membuat suami-istri itu saling tatap, sebelum kemudian meringis meminta maaf.
Mereka semua melangkah menuju ruang tengah. Meja dan sofa untuk bersantai sudah Nara geser—dibantu Anin.
Para pria itu menatap takjub. Melihat daun pisang yang memanjang, di penuhi nasi serta berbagai lauk.
"Wah ... Kita mau lomba makan apa gimana?" Tanya Dika, pria itu nyaris duduk di samping Anin yang sudah selesai meletakkan beberapa lalapan. Tapi, belum sempat pant*t Dika menyentuh lantai, kerah bagian belakangnya ditarik Dafa hingga saudara kembarnya itu meronta karena merasa tercekik.
"Heh! Lo apa-apaan sih?! Gue belum kawin, mau dibikin the end lebih cepat?"
"Itu tempat duduk jatahnya si Bos." Bisik Dafa sembari melempar delikan.
Mengerjap, Dika menoleh pada Anin yang mengernyitkan kening bingung karena mendapat tatapan intens dari Dika.
Dehaman keras dari Elard membuat Dika akhirnya memutus tatapannya. Cengengesan, pria itu mengangkat jari telunjuk dan tengah hingga membentuk huruf V. "Maaf Bos, khilaf."
Segera berpindah posisi, Dika merebut posisi duduk yang sebelumnya akan Elard tempati. "Jangan di sini, tuh, Bos di sana, dekat sama Anin." Ucapnya sembari menaik turunkan alis mata. Membuat Elard jengah.
Tak mau memperumit keadaan hanya karena masalah tempat duduk. Elard mengalah dan segera mendudukkan diri di samping Anin.
"Akhirnya ... Salah satu keinginanku bisa terwujud. Nggak nyangka bisa ngeliwet bareng-bareng." Ucap Nara antusias dengan wajah berbinar.
"Yang, ini sendoknya mana?"
"Pake tangan dong cinta. Biar makin endol!"
"Hah? Cendol? Mana enak makan nasi pake cendol? Kamu kira-kira kalau mau bikin eksperimen, Yang."
"Ish! Bukan. Endol itu maksudnya enak. Oh, lupa. Kalian, para pria. Sana, cuci tangan dulu yang bersih. Aku sama Mbak Anin udah."
Mengela napas pasrah, ke-empat pria itu akhirnya bangkit untuk membersihkan tangan, sesuai titah sang nyonya rumah.
Selesai membersihkan tangan, mereka kembali duduk di tempat masing-masing.
"Baiklah, nggak usah berlama-lama lagi, silakan makan!" Seru Nara, yang kemudian mulai makan dengan lahap. Sementara Panca di sampingnya tampak mencomot nasi dengan kikuk. Tak terbiasa makan tanpa sendok.
Hal yang sama terjadi pada si kembar. Jika Dika menjadikan potongan timun sebagai pengganti sendok. Dafa makan nasi liwet ala drama Korea yang kekasihnya sering tonton. Meraih selada, lalu memasukan nasi dan berbagai lauk serta sambal, kemudian menggulungnya sebelum akhirnya dimasukan ke dalam mulut hingga pipinya menggembung.
Elard yang sebelumnya memerhatikan kesibukan orang-orang yang makan dengan cara masing-masing, mengambil ikan, tapi baru satu gigitan, wajahnya mengernyit.
"Kenapa Kak?" Tanya Anin yang tak sengaja memergoki ekspresi Elard.
"Asin banget ikannya. Garamnya sekilo ya? Atau si Nara mau kawin lagi?"
Meringis, Anin mengambilkan ikan goreng yang lain dan meletakkan di nasi Elard. "Yang tadi itu ikan asin. Jadi rasanya ya asin. Kak El makan yang ini aja, ikan goreng biasa. Tapi banyak durinya, sebentar aku bantu pisahkan."
Elard mengangguk, sembari memerhatikan Anin yang tampak fokus memisahkan daging ikan dari duri untuknya.
Hal sederhana, tapi sangat berarti baginya.
***
"Gimana? Pas nggak?" Suara Gavin dia seberang sambungan tertangkap pendengaran Elard yang menjepit ponsel dengan bahu. Pria itu sibuk memperbaiki letak dasi kupu-kupu yang miring.
"Kenapa repot-repot sih? Gue juga punya pakaian formal. Meskipun nggak banyak."
Terdengar suara dengkusan dari Gavin, "gue berusaha bantu lo biar nggak malu di sana. Itu pesta bukan kaleng-kaleng yang punya acara."
Memutar bola mata, meski saudara tirinya tak bisa melihatnya, Elard memastikan sekali lagi penampilannya melalui pantulan cermin.
Tuxedo hitam yang ia kenakan tampak melekat dengan pas ditubuhnya.
Elard meringis melihat tampilannya sendiri. Jika bukan karena janji yang sudah terlanjur, dia pasti sangat enggan mendatangi acara yang akan membuatnya menguap bosan.
"Lo coba manfaatkan, El. Di sana pasti banyak pengusaha. Setidaknya, coba buat relasi dengan orang-orang penting itu. Jangan cuma setor muka terus balik, ya!" Seolah memahami isi kepala Elard, Gavin akhirnya mewanti-wanti.
"Ck! Ribet lo! Yang penting kan gue datang sebagai perwakilan Papa."
"Ya tapi jangan numpang minum sama makan doang di sana, El."
"Iye! Iye! Bawel! Udah, gue tutup teleponnya. Kalau lo ngoceh terus. Yang ada gue terlambat datang."
Usai mengakhiri sambungan teleponnya dengan Gavin, Elard mengela napas panjang, sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Demi menjaga penampilannya yang sudah sangat rapi. Elard memutuskan membawa mobil.
Berkendara beberapa lama, pria itu akhirnya sampai di tempat acara.
Baru juga masuk, kepalanya serasa migren. Melihat kerumunan orang-orang dengan penampilan yang meneriakkan kata mahal.
Ucapan Gavin yang bercokol di kepala, membuat Elard akhirnya mencoba untuk menyapa beberapa orang yang merupakan rekan bisnis sang Papa.
Dibanding Gavin, Elard memang cukup jarang menghadiri acara semacam ini. Tapi dia pernah bertemu dan dikenalkan dengan beberapa rekan kerja Anggoro.
Rahangnya pegal, karena harus mengumbar senyuman ramah.
Merasa haus, Elard undur diri dari pembicaraan bersama tiga pria yang lebih tua darinya.
Saat berniat mengambil minuman, bahunya bertabrakan dengan seseorang yang nyaris terjungkal andai tak ia tahan lengannya.
"Anda tidak apa-apa? Maaf," ucap Elard pada wanita yang hanya diam terpaku.
Merasa risih karena ditatap begitu lekat, Elard berdeham untuk mendapat atensi wanita itu.
Mengerjap, wanita dengan gaun hitam tanpa lengan yang panjangnya hingga mata kaki itu tersenyum gugup. "A—aku yang harusnya meminta maaf, tadi buru-buru dan tak sengaja menabrak ka—"
"El!" Suara lantang seseorang yang memanggil namanya membuat Elard mengalihkan perhatian. Pria itu mengangkat tangan kanannya dengan sumringah pada pria seusianya.
"Oy! Jo!" Lupa pada wanita di depannya, Elard pergi begitu saja, menuju temannya yang tak disangka berada di pesta membosankan yang membuatnya ingin cepat-cepat pulang.
Meninggalkan seorang wanita yang tak melepas tatapan dari punggung tegapnya.
"Sayang?" Suara itu yang akhirnya berhasil memecah lamunan sang wanita.
"Ada apa? Katanya tadi ambil minum? Atau, itu cuma akal-akalan kamu supaya bisa kabur? Malas menemani Papa menyambut para tamu di pesta ini, hm?"
Meringis, wanita itu menggelayut manja pada lengan pria paruh baya yang menaikkan satu alis mata. Dia hafal sekali, jika putrinya tengah bermanja, itu berarti ada hal yang diinginkan.
"Papa,"
Nah, benarkan?
Pasti putrinya sedang ada maunya.
"Hm?" Jawabannya dengan gumaman. "Kali ini, apa yang diinginkan oleh putri cantik Papa? Mobil baru? Atau liburan di kapal pesiar yang baru Papa beli?"
"Bukan," menggelengkan kepala, wanita itu kemudian menjatuhkan pandangan pada sosok Elard yang tampak berbincang seru dengan temannya.
"Papa."
"Ya?"
"Aku mau dia." Ucapnya, sembari mengedikkan dagu kearah Elard, yang mungkin merasa diperhatikan, hingga akhirnya menolehkan kepala. Membuat tatapannya bersirobok dengan netra berwarna hazel, milik seorang wanita yang menyunggingkan senyuman misterius padanya.