PART. 4

936 Kata
Aska memejamkan mata, satu keputusan sudah ia ambil. Ia melangkah, mendekat ke arah ranjang. Ia harus mengambil keputusan sebelum semuanya terlambat, dan akan menjadi penyesalan untuk sepanjang sisa hidupnya kelak. Urusan yang lain, akan ia pikirkan nanti saja. Yang penting, adalah memenuhi keinginan kakek Asifa. "Aku bersedia menikahi Asifa." Semua mata mengarah pada Aska, Asifa langsung bangun dari duduknya. "Jangan bercanda, Bang!" "Aku tidak sedang bercanda, Sifa. Bisa kita bicara berdua sebentar?" Asifa menatap kakeknya, kakek menganggukan kepala. Aska melangkah ke luar lebih dulu dari dalam kamar, diikuti oleh langkah Asifa. Tatapan kakek, bik sulis, dan kedua sepupu kakek mengikuti langkah mereka berdua. Mereka berdiri berhadapan di luar ruangan. "Abang.... " "Ini hanya untuk menyenangkan hati kakekmu, Sifa. Aku sudah menganggapmu sebagai adikku, kamu juga sudah menganggap aku kakakmu, bukan. Kamu jangan khawatir, tidak akan pernah ada cinta yang lebih dari saudara di antara kita berdua. Pulang dari sini, kita akan kembali sebagai saudara. Sampai tiba waktunya nanti aku memenuhi janjiku pada Adam." "Abang.... " "Pernikahan ini akan tetap menjadi rahasia kita, tidak boleh ada orang di luar kamar ini yang tahu. Terus terang, aku tidak tega melihat kesedihan, dan rasa kecewa yang terlihat jelas di wajah, dan mata kakek. Aku membayangkan, andai hal sama terjadi pada kaiku.... " "Terima kasih, Abang.... " Asifa tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia merasa terharu, karena Aska mau membantu meluluskan keinginan kakeknya. "Kita masuk ke dalam, oh sebentar.... " Aska merogoh dompetnya, lalu mengeluarkan uang satu lembar seratus ribu dari sana. "Tidak keberatan, kalau maharnya cuma segini?" Kepala Asifa menggeleng. "Bukan mahar yang menentukan kebahagiaan sebuah pernikahan. Tapi, kita yang menjalaninya yang akan menjadi ... ehmm, maaf, Bang. Bicaraku jadi melantur." Asifa menundukan wajah, karena merasa sudah terlalu banyak bicara. "Ayolah kita masuk," Aska melangkah lebih dulu. Di dalam hati, ia memohon ampun pada kedua orang tuanya, pada kai, dan nininya, karena memutuskan untuk bersedia menikahi Asifa, tanpa meminta restu dari keluarganya. Tapi, situasi yang terjadi, membuat ia harus melakukan ini semua. Demi melihat binar bahagia di wajah kakek Asifa. Saat mereka masuk ke dalam ruangan, kakek tengah duduk di atas ranjang. "Kami siap untuk menikah sekarang juga," ucap Aska dengan nada mantap. "Alhamdulillah!" Tarikan napas lega terdengar dari semua orang yang ada di sana. Kakek tersenyum sumringah mendengarnya. Kabut kesedihan itu seketika sirna dari wajah tuanya, berganti dengan cahaya kebahagiaan. Hati Aska kembali bergetar, melihat rona bahagia di wajah kakek Asifa. Ia yakin, apa yang sudah ia putuskan bukanlah sebuah kesalahan. Karena sudah memberikan kebahagiaan pada pria tua yang ada di depannya. "Terima kasih, Nak Aska. Mau membantu memenuhi keinginan terakhir pria tua ini." "Kalau begitu menunggu apa lagi, semua syarat sahnya sebuah pernikahan sudah terpenuhi. Ada mempelai pria, ada mempelai wanita, ada wali nikah, ada dua orang saksi, bukan begitu? Lebih cepat kita lakukan, aku rasa lebih baik," kata salah satu saudara sepupu kakek yang akan menjadi salah satu saksi. Aska naik ke atas ranjang. Ia duduk bersila, berhadapan dengan kakek Asifa, ada bantal yang diletakan di antara mereka berdua. Aska berusaha menghapal dulu akad di dalam hatinya. Asifa duduk di kursi bersama bik Sulis yang siap mengabadikan pernikahan sederhana itu dengan ponselnya. Tatapan keduanya lekat pada dua sosok yang tengah duduk berhadapan di atas ranjang. Kedua saksi duduk di kursi, dikedua sisi ranjang. Siap menjadi saksi untuk akad nikah yang akan dilakukan. Tanpa tamu undangan, tanpa hidangan, tanpa pakaian pernikahan, tanpa mahar yang mengesankan, juga tanpa cincin pernikahan. Semua seadanya saja. Karena, tadinya, pihak Salman yang menyanggupi untuk menyiapkan, dan membawa semua itu. Asifa menundukan kepala, saat kakeknya, dan Aska mengucapkan ijab kabul di atas ranjang rumah sakit. Air mata menetes membasahi pipinya. Apa yang terjadi, tidak pernah terbayangkan akan ia alami di dalam hidupnya. Saat kedua saksi menyatakan sah, semua mengucapkan Alhamdulillah. Kakek memindahkan bantal yang jadi penghalang dirinya, dan Aska. Digapainya tubuh Aska, Aska beringsut mendekat. Kakek Asifa memeluk Aska dengan erat. "Terima kasih, sudah mau memenuhi keinginan terakhirku. Aku tahu, di antara kalian tidak ada cinta, semua kalian lakukan untuk menyenangkan hatiku saja. Tapi, aku berharap, cinta akan tumbuh di antara kalian berdua. Rumah tangga kalian bisa bahagia, aamiin. Sekali lagi, terima kasih Aska. Aku bisa pergi dengan tenang sekarang." Kakek menepuk bahu Aska pelan. Hati Aska bergetar mendengarnya, bulu tubuhnya terasa meremang mendengar ucapan kakek Asifa yang merasa sudah siap pergi. Kakek melepaskan pelukannya, ia melambaikan tangan pada Asifa, Asifa segera mendekat. Ditarik tangan Asifa, ia persatukan telapak tangan Asifa, dengan telapak tangan Aska. "Tolong jaga dia, Aska. Aku percayakan dia padamu. Asifa, pandai-pandailah membawa diri, jangan kecewakan orang-orang yang menyayangimu." "Iya, Kek." "Sekarang aku sudah lega. Aku ingin beristirahat." Aska turun dari atas ranjang. Dibantunya kakek berbaring. Kakek menatap saudara-saudara sepupunya. "Terima kasih karena kalian mau merawatku sampai saat ini. Aku berharap, tidak akan ada pertengkaran di antara kalian nantinya, menyangkut harta tak seberapa yang aku tinggalkan." "Mas tidak perlu berterima kasih, karena selama ini Mas juga sudah banyak membantu kami." "Kalian bisa pulang sekarang. Biar Asifa, dan Aska yang menemaniku. Mereka sudah sah suami istri, tidak ada larangan lagi bagi mereka untuk berdua menunggui aku di sini." "Baik, Mas. Aska, Sifa, kami pulang ya, kalau ada sesuatu telpon saja aku," kata Syamsul, ayah bik Sulis. "Iya, Kek." Asifa, dan Aska mengiringi langkah dua sepupu kakek, dan bik Sulis ke luar dari ruangan. Asifa kembali mendekati ranjang kakek, dirapikan selimut yang menutupi tubuh kakeknya. Aska duduk bersandar di sofa, di tatap Asifa yang berjalan ke arahnya. Asifa duduk di sofa yang sama dengan Aska, namun ia tetap menjaga jarak di antara mereka seperti biasanya. Tidak satupun dari mereka yang bicara, keduanya seperti sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. BERSAMBUNG 200 komen, tembus nggak ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN