Asifa terbangun lebih dulu, setelah ia mandi, baru ia bangunkan Aska yang sama seperti dirinya, tidur dengan duduk di sofa.
"Bang, subuh.... "
Aska membuka matanya perlahan.
"Mandi, Bang. Aku bangunkan kakek dulu, biar bisa sholat subuh sama-sama."
"Ya," suara Aska terdengar sedikit parau.
Asifa mendekati ranjang kakek. Ditatap wajah kakeknya, wajah itu tampak lebih segar dari biasanya. Bahkan senyum terlukis di bibir tua itu.
"Kakek.... " Asifa menggoyangkan lengan kakek yang terlipat di atas d**a.
"Kakek.... " Asifa mengulangi panggilan lirihnya. Tak ada reaksi dari kakek. Asifa berusaha tetap tenang. Diletakan jari telunjuk di bawah hidung kakeknya.
Tidak ada dengus napas yang ia rasakan. Tubuh Asifa mundur dua langkah. Hampir saja ia jatuh, andai Aska yang ingin ke kamar mandi tidak menahan tubuhnya.
"Sifa!"
"Kakek.... " Asifa menunjuk kakeknya. Aska mendekat, ia melakukan hal yang sama dengan Asifa, meletakan satu jari di bawah hidung kakek. Aska memejamkan mata, lalu menekan bell yang ada di dinding, untuk memanggil dokter.
"Bang.... " kepala Asifa mendongak, matanya mencari kepastian akan dugaannya di dalam mata Aska.
Kepala Aska mengangguk.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, kakek sudah pergi dengan senyum, dan wajahnya yang berbinar bahagia. Ikhlaskan.... "
Aska mengusap wajah kakek dengan telapak tangannya.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," suara Asifa bergetar, tubuhnya bergetar, perasaannya ternyata benar, kalau kakek hanya menunggu untuk menikahkan dirinya saja, sebelum pergi untuk selamanya.
Tidak ada lagi penyesalan di dalam dirinya, karena sudah memenuhi permintaan terakhir kakeknya.
"Kamu telpon Bik Sulis, ya."
"Ya.... "
Dokter, dan juru rawat masuk, mereka memeriksa kondisi kakek. Dokter memastikan, kalau kakek sudah meninggal beberapa menit yang lalu.
Aska menelpon orang tuanya, memberitahu kalau kakek Asifa meninggal. Abbanya berjanji akan segera menyusul ke kampung kakek Asifa. Perjalanan dari kampung mereka ke kampung kakek Asifa di tempuh sekitar lima jam. Jadi, dipastikan, Asila juga bisa menyaksikan pemakaman kakeknya.
Aska meminta kepada Pak Syamsul, Pak Syaiful, dan Bik Sulis, agar tetap merahasiakan pernikahannya dengan Asifa. Agar Asifa tetap bisa menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya.
Mereka berjanji, akan memenuhi permintaan Aska.
***
Soleh, Cantika, Asma, Revano, dan Asila sampai setelah tengah hari. Raka, dan Tari tidak ikut, karena perjalanan yang terlalu jauh lewat darat. Kedua anak Asma juga tidak ikut, mereka tinggal dengan Raka, dan Tari.
Asifa langsung berpelukan dengan Asila, begitu mereka bertemu.
"Kamu sudah sehat, Dek?" Asifa meletakan punggung tangan di atas dahi adiknya.
"Masih hangat."
"Dia belum sembuh betul," ujar Cantika.
"Iya, Amma."
"Yang sabar ya, Sayang." Asma memeluk Asifa, mereka berpelukan, Asifa berusaha menahan tangisnya.
"Terima kasih, Kak."
Pemakaman dilakukan setelah sholat Ashar. Banyak warga yang ikut mengantarkan ke pemakaman. Kakek Asifa memang orang baik. Tapi, kebaikannya tidak menurun pada ayah Asifa. Ayah Asifa memang tinggal bersama nenek Asifa, setalah kakek, dan neneknya bercerai, saat ayah Asifa berusia lima belas tahun.
Kakek tidak menikah lagi, sedang nenek, sudah beberapa kali menikah. Namun, hubungan mereka tetap baik. Sekarangpun nenek Asifa datang di pemakaman kakeknya. Namun, Asifa tidak dekat dengan neneknya. Hubungan mereka biasa saja, tidak seperti Asifa, dan kakeknya.
Salman, dan kedua orang tuanya ikut datang juga, untuk menyampaikan bela sungkawa. Dan, ini pertama kalinya, Salman melihat Asifa. Salman menyesal, karena semalam sudah menolak keinginan orang tuanya untuk menikahi Asifa, setelah hari ini ia melihat, seperti apa Asifa.
Salman pikir, Asifa hanya gadis kampung yang tidak ada menariknya. Ia tidak tahu, kalau Asifa adalah putri angkat orang kaya. Yang merawatnya dengan baik, seperti putri mereka sendiri.
Di pemakaman, warga sudah meninggalkan pemakaman. Tinggal Asifa, Asila, Aska, Asma, Revano, Cantika, dan Soleh yang tersisa.
"Selamat jalan Kakek, aku sudah ikhlas, dan hatiku juga lega, karena bisa memenuhi permintaan terakhir Kakek. Semoga Kakek tenang di alam sana, dan mendapatkan tempat terindah di sisiNya, aamiin." Suara Asifa nyaris berbisik, karena tidak ingin yang lain mendengar ucapannya.
"Sudah hampir maghrib, kita pulang sekarang?"
"Iya, Abba." Asifa, dan Asila berdiri. Asma memeluk bahu Asila. Cantika menggandeng lengan Asifa. Mereka meninggalkan pusara kakek, dengan langkah perlahan, tanpa ada yang bicara.
***
Soleh sekeluarga pulang pagi harinya. Sedang Asifa, dan Aska masih akan bertahan di sana sampai hari ketujuh.
Di malam ketiga, tidak ada lagi yang menginap di rumah kakek, kecuali Bik Sulis beserta suami, dan dua orang anaknya, yang memang sejak dulu tinggal di sana, menemani kakek yang hanya tinggal sendirian.
Aska, Paman Usai, suami Bik Sulis, dan Ubai, putra Bik Sulis, baru saja selesai menggulung karpet yang dihampar di ruang tamu, dan ruang tengah rumah kakek. Bik Sulis, dan Asifa membereskan perabot yang sudah dibantu para ibu-ibu tetangga untuk mencucinya.
"Istirahatlah Sifa, kamu seperti tidak ada istirahatnya."
"Tidak apa, Bik."
"Tinggalkan saja, biar Bibik, dan ulfa yang menyelesaikan. Ajak juga suamimu untuk istirahat."
"Suami?" Kening Asifa berkerut dalam. Bik Sulis menatap Asifa bingung.
"Kamu lupa, kamu sudah menikah sama Bang Aska."
"Astaghfirullah hal adzim, aku lupa, Bik." Semburat merah menjalari pipi Asifa.
"Belum sempat bermalam pertamakan?" Bisik bibik, karena takut terdengar Ulfa putrinya.
"Bibik, kami menikah hanya untuk ...."
"Bibik mengerti. Hhhhh, aku sangat berterima kasih, karena Bang Aska mau membantu memenuhi keinginan kakekmu, Sifa. Sehingga beliau bisa pergi dengan bibir tersenyum."
"Iya, Bik."
"Meski pernikahan kalian bukan karena keinginan sendiri, Bibik tetap mendoakan, agar kalian bisa menjadi keluarga bahagia."
"Terima kasih, Bik."
BERSAMBUNG