PART. 3

984 Kata
Esok harinya, dua orang saudara sepupu kakek Asifa, Pak Syamsul, dan Pak Syaiful, datang ke rumah sakit. Mereka dipanggil kakek untuk membicarakan tentang pernikahan Asifa, dan Salman. Disepakati, akad nikah akan diadakan di dalam ruang perawatan Kakek. Tidak akan ada orang di luar keluarga yang tahu. Hanya ada dua orang saksi, yaitu Pak Syamsul, dan Pak Syaiful, kedua sepupu kakek. Salman hanya akan datang dengan kedua orang tuanya, dan dua orang saudara ayahnya. Akad akan dilakukan setelah sholat maghrib malam ini. Aska bisa melihat, raut bahagia terpancar jelas dari wajah kakek Asifa. Tapi, anehnya perasaan berdebar di dalam hatinya semakin menjadi saja, membuat ia merasa gelisah, takut ada hal buruk yang akan terjadi. Saudara sepupu kakek sudah pulang, kakek Asifa tertidur dengan raut wajah bahagia, dan bibir menyunggingkan senyuman. Asifa, dan Aska duduk di luar ruangan. "Kamu sudah benar-benar yakin, dan siap, untuk menikah dengan seorang pria, yang bahkan belum pernah bertemu denganmu, Sifa?" "Yakin, tidak yakin. Siap tidak siap, aku sudah memutuskan, Bang. Demi kakek," jawab Asifa lirih. "Apa yang akan aku katakan pada Adam nanti. Pasti ia pulang dengan harapan besar untuk bisa memilikimu." "Bang Adam, memiliki segalanya, akan mudah baginya untuk menemukan gadis lain di dalam hidupnya. Tapi, kakek ... saat ini hanya aku harapan, untuk memenuhi keinginannya." "Aku tidak mengerti, kenapa kakekmu bisa melakukan ini. Men ...." "Bang, jangan menggugat apa yang menjadi keinginan kakekku. Kakek tidak memaksa, tapi aku tahu dia sangat menginginkannya. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari, karena menolak permintaannya. Aku takut ... kalau ini adalah permintaan terakhirnya. Tapi ... tapi, semoga saja tidak, semoga dia bisa kembali sehat." Asifa menyeka air matanya, Aska menghela napasnya. "Aku tidak bisa bicara lagi, Asifa. Ini hidupmu, kamu sudah mengambil keputusan, apapun akibatnya, kamu juga yang akan merasakannya." "Akan kutanggung semua resikonya, Bang." Aska menolehkan kepala, ditatap dari samping gadis yang lima tahun ini sudah menjadi adik angkatnya. Mereka memang tidak terlalu dekat, karena Aska sendiri baru saja kembali tinggal di kampung halamannya. Bertahun-tahun, ia kuliah di Bandung. Setelah lulus, ia mencoba bekerja di beberapa tempat untuk mencari pengalaman. Dan, baru enam bulan ini ia kembali ke Banjarbaru. Siap untuk mengambil alih pengelolaan perusahaan kainya (kakek) yang saat ini masih dikelola oleh Abbanya (Ayah). Asifa, dan Asila, diangkat anak oleh orang tua Aska. Setelah ibu mereka yang dibunuh ayah mereka meninggal. Sang ibu sempat menitipkan Asifa, dan Asila, pada Asma, adik Aska. Dan, sampai sekarang, Asifa, dan Asila menjadi adik-adiknya. "Abang tidak memberitahu orang rumahkan?" Asifa menatap Aska yang masih menatapnya. Aska mengalihkan tatapannya ke depan. "Tidak, sesuai seperti yang kamu inginkan." "Abang marah?" "Aku sudah katakan, apa marahku bisa merubah keputusanmu? Tidak, bukan?" "Maafkan aku, Bang ...." "Apa yang harus dimaafkan, Asifa. Ini hidupmu, dirimu yang akan menjalaninya. Aku, dan keluargaku bukan siapa-siapa. Kami tidak punya hak untuk mengatur hidupmu." "Bang, jangan bicara seperti itu. Aku juga merasa dilema. Tapi, aku harus memilih ...." "Hhh, ya sudahlah. Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Aku hanya bisa berdoa, semoga pria itu baik, dan bisa memahami keadaanmu. Aku ingin makan siang dulu, kamu ikut, atau mau aku bawakan saja." "Bawakan saja, terima kasih, Bang." Aska pergi meninggalkan Asifa. Asifa menatap punggung kakak angkatnya. Lalu ia tundukan kepala, coba ia tahan air mata yang hampir jatuh menetes. **** Kakek, Asifa, Aska, Bik Sulis, Pak Syamsul, dan Pak Syaiful, akan menjadi saksi pernikahan, dan ada juga dokter yang menangani perawatan kakek Asifa, sudah berkumpul di ruang perawatan, untuk menunggu kedatangan Salman sekeluarga. Lama ditunggu tidak datang juga. Coba dihubungi tidak bisa tersambung. Kakek mulai gelisah, dokter sesekali memeriksa keadaan Kakek. Sampai akhirnya, mereka menerima kabar kalau keluarga Salman membatalkan kedatangan mereka malam itu, tanpa mengatakan dengan jelas alasannya. Kakek terkulai lemas. Dokter langsung bertindak cepat. Para juru rawat masuk, yang lain diminta untuk ke luar ruangan. Cukup lama mereka menunggu, sampai mereka semua diminta untuk masuk kembali. "Kek ...." Asifa menggenggam jemari kakeknya. "Apakah harapanku tidak akan bisa menjadi kenyataan, untuk bisa menikahkanmu sebelum aku pergi untuk selamanya." "Kakek pasti akan sembuh, dan bisa melihat aku, dan Asila sukses, dan punya rumah tangga yang bahagia. Kakek harus percaya itu!" "Bagaimana aku bisa meyakini itu, jika sakitku sudah separah ini, Sifa. Aku hanya tinggal menunggu waktu saja ...." dua bulir air mata meluncur dari kedua mata kakek Sifa. Sifa menggenggam jemari kakeknya dengan erat, air mata luruh, dan membasahi genggaman tangan mereka. Semua yang berada di dalam ruangan itu juga tak ada yang mampu menahan kesedihan. Melihat kekecewaan yang begitu dalam terlihat dari raut wajah, dan sorot mata kakek Asifa. "Aku tak ingin yang lain, Sifa. Bahkan aku tidak lagi berharap untuk sembuh. Hanya satu itu keinginanku, bisa menikahkanmu. Hanya itu ... tapi, satu hal itupun, sulit bisa aku dapatkan ...." "Kakek, kakek harus bersemangat, kakek pasti bisa sembuh." Suara Asifa disertai isakan. Kakek menarik napas dalam, matanya terpejam, dua bulir bening kembali jatuh di sudut matanya. Sebagai bukti bahwa ia tengah kecewa, sedang merasakan kesedihan, karena yang ia harapkan tak bisa ia dapatkan. Asifa menghapus air mata kakeknya, bahunya berguncang, ia teringat dengan saat-saat terkahir napas ibunya. "Kakek ...." Mata tua itu terbuka dengan perlahan. Tangan kurus kakek Asifa terangkat. Diusap lembut pipi cucunya yang basah oleh air mata. "Maaf, jika Kakek sudah menuntutmu. Maafkan keinginan kakekmu yang mungkin kamu pikir itu adalah keinginan gila. Tapi, hanya satu itu keinginanku, aku ...." "Kakek ...." "Mungkin, aku memang harus pergi, tanpa sempat menikahkanmu." "Kakek, jangan bicara seperti itu." "Aku ... Ya Allah, tak banyak yang aku pinta, aku hanya menginginkan yang satu itu saja, bisa menikahkan cucuku, sebelum aku pergi menghadapMu," Kakek menarik napas dalam, lalu melanjutkan. "Tapi Kau yang punya kuasa, Kau yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambaMu. Jika masih boleh aku memohon, tolong beri aku keajaibanMu, agar keinginan terakhirku bisa menjadi kenyataan, aamiin." Hati siapa yang tidak bergetar, mendengar doa yang penuh harap dari seseorang yang merasa dirinya sedang sekarat. Hati Aska juga bergetar mendengarnya. Hatinya tersentuh, dan sekarang ia bisa memahami, kenapa Asifa bersedia memenuhi keinginan kakeknya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN