EX MY BOSS - 6

1254 Kata
Rasanya ada yang berbeda, setelah beberapa hari tak bertemu. Jantung Uli berdegub terlalu kencang. Ini masih berada di dalam mobil, tapi Kien sedari tadi terus saja mencuri pandang ke arah istrinya. Dan yang ditatap seperti itu, tentu saja merasa tak nyaman. Duduk pun gelisah dengan pipi bersemu merah. "Abang!" "Hemm," jawab Kien hanya dengan deheman. "Kenapa pandang saya seperti itu?" tanya Uli malu-malu. "Abang rindu sayang. Tak sabar menanti kita berdua duduk serumah, selalu bersama. Tak ada lagi tinggal berjauhan semacam ini lagi." "Abang! Kapan kita pulang kampung untuk bertemu Bapak dan Ibu. Bukannya kita harus pamit dengan mereka. Pasti mereka sedih aku tinggalkan." wajah Uli berubah sendu setelah mengatakan hal itu. "Besok hari terakhir sayang bekerja, kan? Macem mana kalau selepas sayang pulang kerja, malamnya kita pulang kampung. Setuju tak?" Uli mengagguk mantap dengan mata berbinar. Dia sudah merindukan kedua orangtua dan adiknya. "Setuju lah, Abang. Aku sudah sangat merindukan mereka. " "Dekat Abang rindu tak?" Goda Kien sembari mengulurkan satu tangannya untuk mengusap kepala Uli yang tertutup hijab. Melihat aura kebahagiaan dimata istrinya, membuat Kien ikut bahagia. Sementara Uli, dengan sekuat tenaga berusaha menyembunyikan kegugupannya. Tiba dirumah sudah hampir jam sepuluh malam. Beberapa barang pribadi yang ada di rumah kos sudah Uli bawa. Sebagian lagi dia tinggalkan untuk teman-temannya. Kien membuka bagasi mobil, membawa beberapa barang istrinya yang sudah dimasukkan rapi ke dalam sebuah kardus. Uli sudah membuka pintu rumah dengan lebar memberi jalan bagi Kien agar masuk terlebih dahulu. Selama Kien tak ada bersamanya, Uli masih pulang ke rumah ini. Rumah yang ditinggalkan oleh Kien. Masuk ke dalam kamar yang sudah sangat Kien rindukan. Lebih dari satu tahun Kien menempati rumah ini. Baginya rumah adalah surga di mana dia melepas segala penat setelah seharian berada di luar untuk bekerja dan beraktifitas. Apalagi setelah dia menikah, rumah ini semakin hidup dengan kehadiran sang istri tercinta. Kien betah tinggal disl rumah ini, oleh karenanya tak ada niat bagi Kien untuk menjual rumahnya. Apalagi banyak kenangan yang dia tinggalkan di rumah ini. Dan rumah ini pulalah saksi kebersamaannya bersama dengan Uli. Kien tersenyum lebar melihat Uli yang berdiri memunggunginya. Istrinya itu sedang membuka lemari dan sepertinya sedang mengambil baju ganti. Tanpa membuang kesempatan, Kien segera menghampiri Uli. Memeluk pinggang Uli dari belakang. "Abang!" Uli terjengit kaget. Pelukan Kien semakin erat membuat Uli semakin salah tingkah. Diputarnya tubuh Uli hingga menghadap ke arahnya. Dipegangnya kedua bahu istrinya hingga membuat Uli mendongak. Mereka berdua saling bertatapan. Tangan Kien terulur mengelus pipi Ulia. Pipi itu sudah bersemu merah membuat Kien semakin gemas. Ditangkupnya kedua pipi Uli. "Sedari tadi aku sudah menahan diri menginginkan ini," ucap Kien. Kien semakin memajukan wajahnya mendekat pada wajah Ulia. Bibirnya bertemu dengan bibir Uli. Perlahan, Kien melumat bibir istrinya yang sudah sangat dia rindukan. Ciuman yang semakin dalam dan menuntut. Kien tak mampu menghentikannya. Hingga nafas mereka berdua yang memburu. Kien melepas ciumannya setelah dirasanya Uli sudah kehabisan nafas. Disekanya sudut bibir Uli, membuat wanita itu harus menunduk menyembunyikan rona pipinya. Kien melepas jilbab yang menutupi kepala Ulia. Lalu melepas ikatan rambut hingga rambut panjang Uli tergerai. Diambilnya sehelai rambut panjang Uli, dibawanya ke depan hidungmya. Kien menghirup dalam wangi rambut istrinya. "Sayang ... Aku sangat merindukanmu." Tanpa berkata apa-apa lagi, Kien mengangkat tubuh Uli membawanya ke atas ranjang. "Abang ... Aku belum mandi," cicit Uli. Kien tak peduli. Justru lelaki itu sudah membungkuk diatas tubuh Uli. "Satu kali. Baru kita mandi." ucapan Kien tak terbantahkan lagi. **** Keesokan harinya, Uli pergi ke kantor dengan diantar suaminya. Dan kebetulannya lagi Kien bertemu dengan rekan-rekan kantornya di lobi. Saling sapa dan bertanya kabar sebentar. Setelah Uli menghilang karena masuk ke dalam ruang kerjanya, Kien berjalan menghampiri Ana yang berada di balik meja reseptionis. Berbicara sesuatu pada wanita itu. Setelahnya, Kien berlalu keluar dari dalam kantor menuju di mana mobilnya di parkir. Lelaki itu ada sebuah kejutan untuk istrinya. Dia sudah merencakan sebuah pesta kecil-kecilan untuk merayakan hari terakhir istrinya bekerja di kantor ini. Hingga siang hatinya di saat jam makan siang tiba. Kien yang selalu penuh kejutan, berlimpah kasih sayang dan tak hentinya berusaha membuat Ulia bahagia. Dengan mata berkaca-kaca Uli menatap suaminya yang di tengah hari seperti ini datang lagi ke kantor dengan membawa banyak makanan dan cemilan untuk teman-teman kantornya. Padahal tadi pagi saat Kien mengantarnya, lelaki itu tak mengatakan apa-apa jika ada surprise farewell party untuknya. Tapi sekarang lihatlah, suasana kantor lebih berwarna dengan diiringi suara canda tawa teman-temannya. Beberapa diantara mereka bahkan memeluknya dengan berat hati melepas hari terakhirnya bekerja. Terutama Ana dan Titik yang tak lain adalah teman terbaik Ulia. Mereka berdua tentu saja sedih karena kehilangan Uli, tapi mereka sekaligus senang karena Uli telah menemukan kebahagiaannya bersama Mister Kien. "Jangan pernah lupakan kami, ya, Uli, " ucap Ana. "Seringlah mampir ke sini jika kau pulang Indonesia," timpal titik. "Aku tak akan mungkin melupakan kalian. Pasti aku akan merindukan semuanya, " jawab Uli. Dan mereka bertiga berpelukan. Semua yang dilakukan Uli bersama teman-temannya tak lepas dari pandangan Kien. Karena dia, Uli harus melepaskan pekerjaannya. Kien berharap semoga Uli mampu menemukan kebahagiaan dengan hidup bersamanya. *** Sore hatinya, sesuai janji Kien, setelah pulang dari bekerja mereka langsung melakukan perjalanan pulang ke kampung Ulia. "Abang tidak capek?." "Tak. Lihatlah, Abang ini terlalu bersemangat jika itu menyangkut tentang sayang." Uli hanya mencebik menanggapi. Kien tergelak. Bersama Uli, Kien merasa telah menemukan kebahagiannya. Apapun yang ada pada diri Uli selalu mampu membuatnya bersemangat, membuatnya bahagia dan Kien berdoa semoga kebahagiaan selalu menyertainya dalam kehidupan rumah tangganya bersama Ulia. Tengah malam mereka baru tiba di kampung. Ini adalah pengalaman perjalanan ke kampung yang kesekian kali bagi Kien dan sejauh ini Kien tak menemui kesulitan sedikit pun. Semakin terbiasa menginjakkan kaki di kampung Uli. Kien suka sekali dengan pemandangan dan suasana di kampung ini. Mungkin dia harus mengagendakan waktu agar bisa berada di kampung ini lebih lama lagi. "Kalian istirahat saja. Pasti sangat capek, kan, " pinta Harti dengan membawa dua gelas teh hangat untuk Uli dan Kien, begitu mereka berdua sampai di rumah kedua orang tua Uli. Safi'i sudah berpamitan pada mereka untuk masuk kamar dan istirahat. Sementara Harti masih menunggu mereka duduk di kursi ruang tamu. Uli tak habis pikir dengan semuanya. Jujur, dirinya sangat kaget saat Kien menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang bagi Uli sangat asing. Suasana di sekitar masih sama dengan rumah lama Ulia. Tapi yang membuat Uli bertanya- tanya kenapa dia tidak tahu jika rumah kedua orangtuanya telah di renovasi sedemikian rupa. Dan yang membuat Uli tercengang saat bapaknya tadi memberitahu jika semua ini adalah Kien yang buat. "Abang! Kenapa Abang tak pernah menceritakan padaku tentang semua ini." "Haruskah Abang mengatakan semuanya? Lagipun tak banyak yang Abang buat. Abang hanya tak tega lihat Bapak yang selalu capek-capek dan kepanasan berada di sawah. Kalau macam ini, kan, Bapak juga Ibu bisa berdiam diri di rumah menjaga toko. Tak payah harus berpanas- panasan lagi." jelas Kien. "Tapi seharusnya Abang bisa menceritakan padaku." Ucapan Uli tak diteruskan karena Harti sudah menyela. "Nduk ... jangan menyalahkan suamimu. Sudah malam sebaiknya kalian istirahat. Kita bicarakan lagi besok. " Ucapan Harti yang mau tak mau harus Uli turuti. Uli bangkit dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Kien hanya mengamati Uli tak berniat mengikutinya. Di ruang tamu tinggal ada Kien berdua bersama ibu mertuanya. "Daniel, minta maaf, Bu. Sebab Daniel, Uli jadi marah seperti itu." "Tidak apa-apa nak Daniel. Besok juga Uli sudah baik. Mungkin dia hanya kaget saja karena tidak tahu apa-apa. Sebaiknya nak Daniel istirahat. Pasti capek membawa mobil sendirian." "Baiklah, Bu. Kalau begitu saya istirahat dulu. Selamat malam. "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN