Saat memasuki kamar, Kien melihat Uli yang sudah meringkuk di atas ranjang. Lelaki itu mendekati istrinya, naik ke atas ranjang dan merapatkan d**a bidangnya pada punggung Ulia. Tangan Kien terulur memeluk pinggang Uli dari belakang.
"Sayang ... Abang minta maaf. Bukan maksud Abang tak mengindahkan keberadaan Sayang. Hanya saja, Abang nak beri surprise ke Sayang. Please jangan marah lagi pada Abang."
Uli terdiam dan masih dengan kekesalan pada suaminya. Sebenarnya Uli senang karena Kien pun tak hanya memperhatikan dirinya seorang. Tapi juga keluarganya serta adik-adiknya. Hanya saja yang membuat Uli tak habis pikir, suaminya itu seolah tak menghiraukan keberadaannya hingga berbuat apa pun sesuka hati tanpa mau memberitahunya terlebih dulu.
"Sayang ...." Kien sudah mengendus leher Uli karena istrinya itu masih diam saja.
Satu kecupan mendarat di leher Uli. Berlanjut dengan kecupan-kecupan lain yang Kien berikan.
"Abang ... hentikan. Jangan seperti ini," sergah Uli yang merasa geli karena ulah Kien.
"Sayang masih marah sama Abang?"
Uli hanya diam.
"Kenapa diam. Berarti benar, kan, Sayang marah sama Abang."
Kien membalikkan tubuh Uli hingga kini mereka berdua sedang berbaring miring saling berhadapan.
Mata Uli menatap Kien dalam, tapi yang ditatap seperti itu justru tersenyum lebar. Tangan besar Kien terulur menyapu pipi Ulia.
"Abang jangan seperti ini lagi tau. Jangan suka sembunyi- sembunyi melakukan sesuatu," ujar Uli kemudian. Membuat Kien terkekeh karena pada akhirnya ia berhasil menaklukkan Ulia.
"Okay. Abang minta maaf. Abang janji tidak akan mengulanginya lagi. Jangan marah lagi. Please!" Kien memohon.
Lelaki itu mendekatkan wajahnya, dengan sigap Uli menempelkan telapak tangannya di atas bibir Kien.
"Abang mau apa? "
Kien menangkap telapak tangan Uli.
"Cium Sayang," jawab Kien lalu mengecup tangan Uli.
Pipi Uli sudah merona, ditarik tangannya yang masih berada di genggaman tangan suaminya.
"Sudah malam. Kita tidur. Pasti Abang capek, kan. "
Satu senyuman Kien berikan pada Uli. Istrinya sudah tidak marah lagi kepadanya.
****
Hanya satu malam Kien dan Uli berada di kampung. Siangnya mereka berdua sudah harus kembali pulang ke rumah Kien. Uli harus mempersiapkan barang-barang yang akan dia bawa. Besok mereka berdua sudah harus berangkat ke Kuala Lumpur.
Saat berpamitan pada kedua orang tua serta adiknya, Uli tak sanggup menyembunyikan kesedihannya. Semua tak luput dari perhatian Kien. Dan Kien berjanji akan menjaga Uli semampu yang dia bisa lakukan.
Malam harinya Uli dan Kien sudah sampai lagi di rumah mereka. Rasa capek dan penat karena perjalanan cukup jauh yang telah mereka tempuh.
Uli yang merasa badannya lengket oleh keringat sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Kien pun juga melakukan hal yang sama, lebih memilih turun ke bawah memakai kamar mandi yang ada di lantai satu.
Selesai Kien membersihkan diri, dia kembali naik ke lantai dua masuk ke dalam kamarnya. Bertepatan dengan Uli yang juga keluar dari dalam kamar mandi. Handuk kecil yang berada di tangan Uli diusapkan ke rambut yang masih sedikit basah.
Harum sabun serta shampo yang menguar dari tubuh Uli bagaikan magnet yang menarik Kien mendekat. Tanpa membuang kesempatan, Kien sudah menarik tubuh Uli. Dipeluknya erat tubuh istrinya. Hidungnya sudah mengendus cerukan leher Ulia.
Tubuh Uli meremang, badan besar Kien mendekapnya begitu erat.
"Abang ...." suara yang keluar dari mulut Uli begitu lirih dan terdengar bagai desahan di telinga Kien. Membangunkan sisi kelelakiannya begitu saja.
Selalu berdua bersama Uli membuat Kien sangat susah mengendalikan dirinya. Diangkatnya tubuh Uli membuat sang empunya refleks melingkarkan tangan di leher Kien karena takut terjatuh.
Kalau dulu Uli akan selalu merasa ketakutan jika didekati Kien, sekarang pun sebenarnya rasa takut itu masih ada. Uli tak pernah bisa mengontrol degub jantungnya jika sedang berduaan bersama Kien seperti ini. Apalagi suaminya itu selalu bisa membuat pipi Uli merona.
****
Pagi harinya Uli terbangun dengan tubuh yang terasa pegal di mana-mana. Bahkan untuk bergerak pun susah. Lengan kekar Kien masih melingkar di atas perutnya. Dan hal itu membuat pipi Uli kembali merona. Malam panjang yang dia lalui bersama Kien sangat menguras energinya. Padahal hari ini mereka harus berangkat ke Kuala Lumpur.
"Abang ... bangun...." Uli menggoyang lengan suaminya.
"Eum ...." bukannya membuka mata, Kien justru merapatkan pelukannya.
"Abang ... Ayo bangun!"
"Ini sudah bangun, Sayang, " ucapan Kien membuat Uli mendongak.
Wajah tampan suaminya dengan mata yang masih terpejam. Uli seperti bermimpi berada di pelukan seorang pangeran. Gadis biasa saja seperti dirinya yang dengan beruntung mendapat lelaki yang tak hanya tampan wajahnya tapi juga baik hatinya.
"Abang tau lah yang Abang ni handsome. Tak payahlah mandang Abang macem tu."
Uli terkesiap, satu pukulan dia daratkan di d**a Kien yang telanjang. Lelaki itu tergelak lalu membuka matanya. Ditundukan wajahnya melihat pipi Uli yang merona karena candaannya.
Kemajuan yang cukup besar bagi hubungan mereka. Meski masih dengan malu-malu, setidaknya Uli sudah tak setakut dulu padanya. Kien tahu dan paham akan hal itu. Hingga sekarang pun Kien masih berusaha untuk bersabar. Berusaha membuat istrinya benar-benar menerima kehadiran dirinya.
Perlahan kepala Kien menunduk tapi lagi-lagi Uli segera menempelkan telapak tangannya di bibir Kien.
"Abang mau apa?" pertanyaan yang selalu Uli lontarkan ketika Kien ingin berbuat lebih padanya.
"Morning kiss," jawab Kien sederhana.
"Aku belum menggosok gigi."
"Tak masalah."
Kien menyingkirkan telapak tangan Uli, niatnya ingin mencium istrinya diurungkan karena sekarang Kien justru tersenyum geli melihat istrinya yang sudah mengatupkan bibirnya rapat-rapat karena tidak mau dia cium.
"Okelah kalau sayang tak mau abang cium," ucap Kien beringsut bangun lalu membungkuk diatas tubuh istrinya.
Mata Uli membulat, dipikirnya Kien akan bangun dan melepaskan dirinya. Tapi pikiran Uli salah karena Kien sudah kembali mengurung tubuhnya. Sesuatu yang menyentuh perutnya semakin membuat Uli merona.
Digelengkan kepalanya dengan kedua tangan berada di d**a Kien. Menahan suaminya yang semakin membungkuk mendekatkan wajah padanya.
"Abang mau apa lagi?" tanya Uli takut-takut. Justru Kien tertawa melihat wajah istrinya yang seperti itu. Ia tak mungkin menyakiti istrinya dan membuat Ulia kecapean lagi karena ulahnya.
Kien beringsut bangun dan sebelum meninggkan Ulia lelaki itu sempat berucap," Abang mandi dulu. Jika Sayang nak mandi sama Abang, masuk saja. Pintu tak Abang kunci."
****
Kien sudah memasukkan dua buah koper besar ke dalam bagasi mobil grab yang dia pesan. Setelah mengunci pintu rumahnya, Kien menghampiri Uli yang berdiri mematung sambil mengamati rumah.
"Sayang, sudah siap. Jom kita berangkat."
"Abang ...." Uli meraih lengan suaminya.
"Kenapa?"
"Abang ... Abang janji, kan, akan sering membawaku pulang ke sini lagi." Uli menatap suaminya penuh harap.
Kien yang ditatap sedemikian rupa melebarkan senyumnya.
"Abang janji akan sering membawa Sayang pulang ke rumah ini."
Senyum kelegaan dari bibir Uli tak lepas dari pandangan mata Kien.
Kien sudah berjanji pada Uli untuk sering membawanya ke Indonesia. Bahkan rumah serta mobil yang Kien punya juga tidak dia jual. Lelaki itu sudah mengatakan semua pada Uli jika mereka masih bisa pulang ke rumah ini kapanpun mereka mau. Karena di rumah ini juga banyak tersimpan kenangan tidak hanya untuk Kien tapi juga mereka berdua.
"Jom, kita berangkat."
Uli mengangguk. Kien merangkul bahu istrinya membawanya masuk ke dalam mobil.
Pandangan Uli tak lepas menatap rumah Kien yang menjadi saksi kebersamaan mereka beberapa bulan ini. Hingga mobil yang mereka tumpangi keluar melewati pagar, Uli menunduk berdoa dalam hati. Semoga dia bisa segera menyesuaikan diri tinggal di negara suaminya. Dan semoga dia betah tinggal di sana nanti.