Untuk pertama kalinya bagi Uli naik pesawat, dan ini adalah salah satu pengalaman Uli yang luar biasa buruk. Kepalanya pusing dan perutnya sedikit mual. Benar-benar Uli merasa kampungan karena dia harus mabuk kendaraan. Perjalanan yang memakan waktu dua jam bagi Uli serasa satu hari.
"Hoek ... Hoek ...."
Ini sudah lima belas menit berlalu dan Uli masih saja merasa mual. Perutnya bergejolak dan tidak dapat ia tahan. Bahkan sedari tadi Uli tak kunjung ke luar dari dalam toilet bandara.
Jujur, Uli merasa semua bagai mimpi. Ini pertama kali kakinya menginjak di bumi luar negeri. Siapa sangka dirinya bisa berada di negara Malaysia. Bukan sebagai Tenaga Kerja Indonesia, melainkan sebagai seorang istri dari seseorang yang memang berdarah Malaysia.
Setelah mencuci mulutnya, Uli mengelap mulut dengan tissu. Berdiri di depan wastafel melihat pantulan dirinya di cermin. Uli menerawang mengingat kisah hidup perjalanan dirinya hingga sampai di titik ini.
Dahulu saat dirinya bukanlah siapa-siapa dan masih berstatus pelajar di sebuah Sekolah Menengah Atas, Uli sempat pupus harapan. Keluarganya yang bisa dibilang adalah keluarga petani yang cukup sederhana bahkan untuk biaya hidup sehari-hari saja bapaknya harus banting tulang untuk menghidupinya dan kedua adiknya.
Saat itu sedang gencar-gencarnya banyak muda mudi di kampung yang memilih mengadu nasib bekerja ke Luar Negeri sebagai seorang Tenaga Kerja Indonesia. Dengan iming-iming gaji yang cukup tinggi mereka mengesampingkan semuanya. Mengesampingkan keluarga bahkan mereka tidak pernah menyangka akan dipekerjakan sebagai apa. Kebanyakan dari mereka adalah bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga. Ada sebagian dari mereka yang telah berhasil mendapat majikan baik dengan gaji dan perlakuan yang baik pula. Tapi tak jarang diantara mereka juga banyak yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari sang majikan.
Sempat terlintas di benak Uli untuk mengikuti jejak mereka. Waktu itu Uli sudah ada rencana, bahwa setelah lulus nanti dia akan mendaftar ke sebuah agency penyalur TKI untuk pergi ke Malaysia. Tak apa sekalipun dia akan dijadikan pembantu rumah tangga. Asalkan dia bisa bekerja dan mendapat duit untuk membantu Bapak dan Ibunya.
Tanpa Uli sadari buliran bening mengalir membasahi pipinya. Pandangan Uli masih menerawang jauh di masa silam. Andai saja dulu Bapaknya tidak melarang ia pergi dan ibunya tidak menangisinya, mungkin dia sudah berada di negara ini sejak beberapa waktu silam.
Takdir dan jalan hidup manusia memang susah ditebak. Dan Uli percaya bahwa garis kehidupan manusia sudah ada yang mengatur semua.
Hari ini Uli benar-benar sudah berdiri di sini, di negara Malaysia. Tidak perlu untuk menjadi seorang TKI untuknya dapat berada di sini. Melainkan karena ketulusan dan cinta seorang lelaki. Lelaki baik yang telah memboyongnya ke negara ini.
"Sayang ... Sayang masih di dalam ke'?" Ketukan pelan di pintu toilet menyadarkan Uli.
Segera di usapnya air mata yang membasahi pipi, lalu Uli menyalakan keran air dan membasuh mukanya. Sudah kelihatan lebih segar sekarang. Setelah mengeringkan wajahnya Uli bergegas ke luar dari dalam toilet. Mendapati suaminya yang masih berdiri menunggunya.
"Hei ... Sayang sudah selesai muntahnya. Macem mana, sayang masih mual ke'?" Kien menyentuh pipi Uli dan meneliti wajah istrinya.
"Sayang pucat. Jom kia pulang. Mama dah tunggu kita dekat rumah."
Uli mengangguk dan tersenyum lemah. "Okay." hanya itu jawaban yang terlontar dari mulutnya.
"Serius sayang dah okay? Abang risau lah tengok sayang macem tadi. Kalau sayang tak sehat kenapa tak cakap pun ke Abang tadi. Kita bisa pending pigi sini. Maybe besok."
"Abang jangan khawatir. Aku baik- baik saja. Hanya mabuk kendaraan biasa. Habis ini juga baikan." Uli berusaha menenangkan hati Kien.
"Bener macem tu?" tabya Kien memastikan.
Iya, bener, Abang."
"Okay. Kalau macem tu jom kita balik. Abang tak nak tengok sayang muntah-muntah macem tadi. Abang risau." Kien masih dengan kekhawatirannya menggandeng tangan Uli berjalan ke luar dari bandara.
****
Uli dengan kekagumannya menikmati seluruh pemandangan di sepanjang perjalanan yang mereka lewati. Ini pertamanya bagi Uli melihat bagaimana rupa Kuala Lumpur. Dan Uli senang berada di sini. Kota yang cukup indah.
Setelah melalui perjalanan kurang lebih tiga puluh menit sampailah mereka memasuki sebuah kawasan perumahan yang Uli tahu ini adalah kawasan elit. Penataan dan pembangunan yang menakjubkan. Uli rasa ini merupakan hunian yang istimewa.
Mobil berbelok dan memasuki sebuah rumah dua lantai yang cukup mewah. Uli masih tercengang dan menebak dalam hati, apakah ini rumah keluarga suaminya.
"Sayang! Jom turun."
"Hah!"
"Turun. Dah sampe lah kita."
"Owh .... "
Kien terkekeh melihat istrinya yang seperti terkejut. Mungkin istrinya itu gugup karena akan bertemu dengan keluarga besarnya. Ini bukan kali pertama keluarga Kien bertemu dengan Uli. Tapi ini sudah kali kedua. Pada saat Kien menikahi Uli, keluarga Kien yang ada di sini juga turut hadir. Tapi waktu itu intensitas pertemuan mereka hanya berlangsung beberapa jam saja. Karena mereka tidak menginap di rumah orang tua Ulia. Setelah acara ijab qabul dan resepsi waktu itu, keluarga Kien kembali pulang ke rumah pribadi Kien yang berada di kota. Jadi, kemungkinan besar Uli pun tak sempat bercakap lama dengan anggota keluarganya.
Kien turun dari mobil membiarkan istrinya yang masih terdiam duduk di dalam taxi bandara. Driver taxi sudah membuka bagasi dan menurunkan koper Uli dan koper Kien.
Dilihatnya sang istri yang termenung memandang rumah ini. Bahkan Uli tak juga beranjak dari duduknya. Masih nyaman duduk di dalam taxi.
Kien membungkukan badan.
"Sayang ... cepatlah turun."
Uli tergagap lalu tersenyum malu pada Kien. Semburat merah muncul di pipi Uli yang putih.
Setelah turun dari taxi, Uli masih juga dengan kekagumannya pada rumah di hadapannya ini. Lalu tiba-tiba saja terlintas di benaknya, dia bukanlah siapa-siapa dan hanya gadis biasa. Bagaimana bisa dia diterima di keluarga kaya seperti ini. Uli tidak percaya diri dan juga ragu untuk melangkah. Kepalanya menunduk menyadari siapa dirinya.
"Sayang ... Hei! kenapa ni."
Kien mengernyit mendapati wajah Uli yang berubah sendu. Diangkatnya dagu istrinya dan seolah Kien tahu apa yang sedang Ulia pikirkan.
"Jangan terlalu keras berpikir. Semua orang di rumah ini menerima kehadiran sayang dan sudah tak sabar tunggu sayang duduk bersama dalam rumah ni. Trust me. We love you. Okay."
Kata-kata yang terucap dari mulut Kien selalu bisa menentramkan hati Uli.
Dengan lembut Kien meraih tangan Uli. Menautkan jemari besarnya di sela jari-jari istrinya. Menggenggamnya erat sebelum di bawa nya Uli berjalan masuk ke dalam rumah.