Nelson memandangi Nicki agak lama. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, matanya memancar seolah dia habis menenggak secangkir espresso. “Gimana lututmu?” Pada akhirnya tatapan mata Nelson berhenti di lutut Nicki.
“Hilang untuk selamanya. Tamat,” kata Nicki.
“Aku mengingatnya.” Mata Nelson seolah memancarkan reaksi bahwa dirinya sedang menyelam ke masa lalu.
“Kau mau kopi? Aku punya kopi dari Brasil yang rasanya sangat luar biasa.”
Mereka berdua berjalan di sela rak ke bagian belakang tempat kafe dadakan berada. Nelson setengah berlari, seperti telah melupakan sesuatu. Dia menuju ke belakang meja yang penuh sesak dan mulai membereskan beberapa peralatan. Sementara Nicki duduk di bangku bulat dan mengawasi. Apa yang dilakukan Nelson tak ada keanggungan sama sekali.
“Kata mereka, waktunya kurang dari dua puluh empat jam lagi,” ujar Nelson dengan dingin, sambil dia mencuci panci kecil.
“Iya. Itu termasuk isu. Tapi kau sendiri tahu, isu selalu dapat dipercaya di kota ini, terutama menyangkut soal Maggie.”
“Tidak, yang aku katakan tadi bukanlah isu. Ini berasal dari seseorang yang ada di dalam rumah.” Yang paling tepat adalah bahwa tantangan di Lambeth bukan mendengarkan apa isu terakhir, melainkan memperoleh berita dari sumber terbaik.
“Kau mau rokok? Aku punya selundupan dari China. Nikmat sekali. Aku tak peduli dengan situasi geopolitik negeri ini, tapi China memproduksi rokok yang terbaik.”
Nicki tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali. “Tidak, terima kasih. Kau tahu, aku tidak merokok.”
Nelson menuang air ke dalam sebuah mesin besar yang dibuat di Italia. Bagi sebagian besar orang, melihat pesepak bola identik dengan jantung dan paru-paru yang sehat. Karena kebugaran dalam olahraga sepak bola adalah faktor paling primer jika dibandingkan faktor yang lain: faktor ketampanan, tinggi badan, kulit putih—faktor ini sama sekali tidak penting. Oleh karena itu, banyak orang yang menyangka bahwa atlet sepak bola selalu jauh dari barang yang disebut ‘rokok’. Karena mereka secara insinuatif mengira bahwa rokok adalah pengganggu paling ampuh pernapasan manusia. Tapi, tak sedikit juga dari mereka—para pemain sepak bola ini—yang merokok. Jangankan merokok, alkohol saja dikonsumsi. Zinedine Zidane, salah seorang gelandang terbaik di dunia diketahui merokok oleh media pada saat dia masih aktif menjadi pemain, tepatnya tertangkap kamera oleh salah satu media pada Piala Dunia 2006. Dan hebatnya, itu tak sedikit pun mempengaruhi performanya. Bahkan staminanya cenderung masih stabil. Di sisi lain tetap ada atlet yang konsisten menjaga kebugarannya dengan tidak merokok.
“Kau terlalu idealis dengan urusan merokok,” kata Nelson sedikit terkekeh. “Apa pekerjaanmu saat ini?”
“Di bidang properti.”
“Benar-benar autentik dengan dirimu yang sekarang.”
“Well, cukup untuk membayar semua tagihan. Tokomu terlihat hebat,” pujinya sambil melirik segala sudut ruangan. “Kata Lennon, kau cukup berhasil.”
“Aku cuma berusaha sedikit. Mencoba memasukkan kebudayaanku ke sini. Denis punya andil besar dari terciptanya toko ini. Dia memberikan pinjaman padaku sebesar tiga puluh ribu dolar, dan aku memulainya. Kau percaya itu? Tadinya aku tidak punya apa-apa sama sekali, selain ide kecil, dan sisa uangku yangs sekitar delapan ratus dolar saja. Dan sudah jelas kalau ibuku mau menandatangani surat pinjamannya.”
“Ibu gimana kabarnya?”
“Dia masih luar biasa. Dia menolak tua. Saat ini masih mengajar kelas tiga.”
Bunyi air mendidih terdengar, air itu diseduh menjadi kopi. Nelson bersandar ke samping wastafel kecil dan memainkan kumisnya yang tebal. “Maggie sebentar lagi akan meninggal, Nicki, apa kau percaya itu? Membayangkan Lambeth tanpa sosok James Maggie. Empat puluh empat tahun silam, dia memulai debutnya di sini. Di mana separo dari penduduk kota ini belum waktunya untuk lahir.”
“Kau sudah sempat ke sana?”
“Dia dulu kerap ke sini, tapi ketika penyakitnya itu sudah kronis, dia memutuskan untuk pulang dan meninggal di rumah. Tak ada satu pun yang pernah bertemu Maggie selama enam bulan ini.”
Nicki kembali memandang seisi ruangan sekilas. “Maggie pernah mampir ke sini?”
Nelson terkekeh, sebuah cengiran yang aneh. “Asal kau tahu saja. Maggie merupakan pelanggan pertamaku. Berdirinya tempat ini tidak hanya campur tangan aku, Ibuku, dan Denis semata, pun Maggie. Maggie adalah orang yang paling berpengaruh terhadap dibukanya tempat ini. Seperti biasa, dia suka menceramahi orang. Dia mengatakan padaku agar jangan takut, bekerja dan bekerja, lebih keras daripada orang lain, jangan pernah putus asa—celoteh setengah babak yang biasa. Ketika tempat ini berhasil dibuka, dia kerap mampir ke sini pada pagi hari untuk memesan secangkir kopi. Aku merasa kalau dia menganggap tempat ini adalah tempat yang aman buatnya, sebab pengunjung tempat ini tidak begitu banyak. Sebagian besar orang mengira kalau dengan datang kemari, mereka kemungkinan akan terjangkit AIDS.”
“Kapan kau mulai membuka tempat ini?”
“Sekitar tujuh setengah tahun silam. Lucu sekali, pernah pada masa awal-awal dulu aku tidak mampu membayar tagihan listrik. Nunggu selama dua tahun. Kemudian secara perlahan semuanya berangsur membaik. Isu kemudian menyebar bahwa para penduduk kota akhirnya tahu kalau tempat ini adalah tempat favorit Maggie.”
“Mungkin kopinya sudah siap,” sela Nicki ketika mendengar suara dari mesin kopi mendesis. “Aku tak pernah tahu Maggie membaca buku.”
Nelson menyeduh kopi ke dalam dua cangkir kecil, di atas piring kecil, lalu meletakannya di meja.
“Baunya benar-benar sedap,” puji Nicki.
“Ya, semestinya itu pakai resep. Oh ya, suatu hari Maggie tanya padaku, bacaan apa yang kemungkinan dia sukai. Aku beri satu buku karya Dale Carnegie. Keesokan harinya dia kembali dan meminta satu buku lagi. Dia sangat girang dengan buku itu. Setelah itu aku berikan buku karya Raymond Chandler. Kemudian dia semakin tergila-gila. Aku buka tempat ini jam delapan, tidak banyak toko buku yang melakukan hal itu. Dan satu hingga dua kali dalam satu minggu, Maggie akan datang ke sini pagi-pagi buta. Biasanya kami duduk di sebelah sana, dan membicarakan soal buku, tak pernah nyerempet ke sepak bola, politik, atau sekadar gosip. Hanya membicarakan mengenai buku. Dia sangat gemar membaca cerita-cerita soal detektif. Jika kami mendengar lonceng pintu depan berdentang, Maggie kemudian akan menyusup keluar melewati pintu belakang dan segera pulang.”
“Mengapa?”
Nelson mencium kepulan asap di cangkir kopinya cukup lama. “Kami tak banyak bicara soal itu. Maggie malu mengakui jika dia bisa kecanduan seperti itu. Dia mempunyai rasa bangga yang benar-benar besar, terhadap apa yang sudah dia ajarkan pada kita. Tapi di sisi lain dia juga merasa bertanggung jawab atas kematian Martin. Begitu banyak orang yang menyalahkan dia atas peristiwa kematian Martin, dan mungkin mereka akan selalu begitu. Bukankah itu beban yang sangat berat buat dia?”
Ada jeda yang cukup lama di antara percakapan mereka. “Kau suka kopinya?” tanya Nelson.
“Rasanya sangat kuat. Well, apakah kau merindukannya?”
Nelson kembali mendesis dan menyeruput kopinya perlahan-lahan.