Dua Puluh Dua

1114 Kata
Nelson mencium kepulan asap di cangkir kopinya cukup lama. “Kami tak banyak bicara soal itu. Maggie malu mengakui jika dia bisa kecanduan seperti itu. Dia mempunyai rasa bangga yang benar-benar besar, terhadap apa yang sudah dia ajarkan pada kita. Tapi di sisi lain dia juga merasa bertanggung jawab atas kematian Martin. Begitu banyak orang yang menyalahkan dia atas peristiwa kematian Martin, dan mungkin mereka akan selalu begitu. Bukankah itu beban yang sangat berat buat dia?” Ada jeda yang cukup lama di antara percakapan mereka. “Kau suka kopinya?” tanya Nelson. “Rasanya sangat kuat. Well, apakah kau merindukannya?” Nelson kembali mendesis dan menyeruput kopinya perlahan-lahan.  “Hebat sekali jika mantan pemainnya tidak merasakan itu. Bagaimana kau bisa tak merindukannya padahal kau pernah bermain sangat lama untuknya? Setiap hari aku melihat wajahnya. Setiap hari aku mendengar suaranya. Setiap hari aku terpapar bau keringatnya. Setiap hari aku merasakan genggaman tangannya yang menepukku supaya aku lebih giat berlari. Setiap hari aku menirukan omelannya, gerutuannya, dan setiap kata-k********r yang keluar dari mulutnya. Aku mengingat setiap ceritanya, ceramahnya, dan pelajarannya. Dan tidak pernah aku lupa, ketiga puluh delapan pertandingan dan keempat puluh permainan yang aku jalani ketika aku masih mengenakan seragam kebangaan. Empat tahun silam, ayah yang aku sayangi meninggal. Tetapi kali ini sulit untuk aku katakan, James Maggie lebih berpengaruh bagi kehidupanku dibandingkan ayahku sendiri.” Nelson tercenung. “Setelah itu, ketika aku membuka tempat ini, dan mengenal dirinya kembali bukan sebagai legenda, dan saat aku merasa tidak perlu khawatir lagi akan diteriaki sebagai pengacau, aku jadi memuja dirinya dalam segala keluh kesahnya. Yang perlu diketahui oleh banyak orang bahwa James Maggie bukanlah orang yang manis, bukan orang yang paling agung di kota ini, tapi tetap saja dia adalah manusia. Dia merasakan penderitaan yang begitu besar setelah dipastikannya kematian Martin, dan dia tak dapat berpaling dari siapa pun. Dia menjadi lebih banyak berdoa, dan rajin menghadiri misa setiap pagi. Awalnya aku berpikir kalau fiksi akan membantunya, sebab itu merupakan sisi baru dalam kehidupannya. Kemudian dia benar-benar tenggelam dalam buku-buku, sampai ratusan, bahkan mungkin hingga ribuan.” Nelson berupaya menepis gundahnya dengan mengendus kopinya cepat-cepat. “Aku sangat merindukannya, kembali setiap pagi dan duduk di sana, membicarakan soal beberapa buku dan pengarang supaya dia tak perlu berbicara soal sepak bola.” Lonceng pintu depan berdentang pelan. Nelson mengabaikannya dan mengatakan, “Mereka akan menemukan kita. Kau mau kue pastri?” “Tidak usah. Aku sudah sempat memakannya di Nineteen’s tadi. Semuanya masih tetap sama di sana. Menu yang sama, pernak-pernik yang sama, lemak yang sama, bahkan serangga yang mampir pun masih sama.” “Juga kumpulan orang kasar yang duduk di sana sambil tetap bersikeras kalau timnya yang tetap tak terkalahkan?” “Ya, begitulah. Apa kau menonton pertandingan?” “Sudah tidak pernah sama sekali. Karena jika kau homo di kota ini, kau tidak akan pernah nyaman ada di tengah-tengah keramaian. Mereka akan menatapmu, mencibirmu diam-diam, menyeret anak-anak mereka untuk segera menjauh, dan oleh karena aku telah terbiasa dengan reaksi penduduk setempat yang seperti itu, aku cenderung tidak mempedulikannya. Kemudian, entah aku pergi sendiri atau memilih mengajak teman kencan, yang akan menghentikanku menonton pertandingan. Bisa kau bayangkan, kalau aku berjalan dengan bocah laki-laki yang manis dan berpegangan dengannya di tempat umum?” “Mereka akan melemparimu dengan batu,” balas Nicki. Nelson tertawa. “Bagaimana kau berani berterus terang mengenai kondisimu yang seperti itu di kota ini?” Nelson meletakkan kembali cangkir kopinya, dan menjejalkan tangannya ke dalam saku celana. “Tidak sini tepatnya. Setelah kita semua lulus, aku bisa dikatakan pindah ke Cambs, dan di sana, aku tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui apa dan siapa diriku ini. Aku tidak takut saat aku harus berterus terang, Nicki. Suatu saat, di sana aku memperoleh sebuah pekerjaan di toko buku dan kemudian sedikit demi sedikit aku mempelahari cara bisnis itu. Aku menjalani kehidupan yang luar biasa liar hingga lima tahun aku di sana, berhura-hura hingga akhirnya aku bosan dengan kota. Kalau boleh jujur, pada waktu itu aku kangen sekali dengan rumah. Ayahku sedang drop, dan aku butuh untuk segera pulang. Aku bertemu Maggie di sini dan bicara panjang lebar. Aku katakan padanya yang sejujurnya. James Maggie adalah orang pertama di sini yang aku percaya menggenggam rahasiaku.” “Lalu gimana reaksinya?” “Dia mengatakan bahwa dia tak begitu tahu mengenai orang-orang homo, namun dia menyarankan kalau aku sudah tahu siapa diriku, persetan dengan orang lain. ‘Jalani hidupmu, Nak’, dia bilang. ‘Pasti akan ada orang yang akan membencimu, dan ada juga yang akan menyayangimu, tapi sebagian besar ada yang tak bisa mengambil keputusan. Semua terserah kau’.” “Terdengar seperti ciri khasnya.” “Dia adalah motivator sungguhan dalam hidupku, man. Kemudian dia juga yang meyakinkanku untuk membuka tempat ini, dan saat aku merasa kekacuan sudah semakin besar, Maggie mulai rutin mengunjungi tempat ini, tidak lama kemudian beritanya menyebar…” Nelson berlalu ke depan dan menyergap seorang perempuan tua yang tampak dari tadi menunggu. “Tunggu, jangan pergi.” Nelson memanggil nama perempuan itu dengan suara yang tidak bisa dibuat lebih manis lagi, dan tak lama setelah itu keduanya sibuk mencari buku. Nicki berjalan mengitar meja, dan dengan tangannya sendiri, dia menunangkan kopi. Saat Nelson kembali lagi, dia mengatakan, “Itu tadi adalah Mrs. Jakcson. Dulu dia mengelola penatu.” “Ah, iya, aku lumayan ingat soal dia.” “Usianya hampir mencapai seratus dua puluh tahun, dan dia adalah penggemar fanatic n****+ koboi e****s. Coba pikirkan. Kau akan belajar berbagai hal yang luar biasa baik saat membuka toko buku. Menurut Maggie, dia bisa membeli apa saja dariku karena aku memiliki rahasia yang tak seorang pun tahu.” “Well, Nel, aku tak tertarik membuka toko buku.” Nelson meletakkan sepotong kue pastri varian rasa blueberry besar di piring dan menaruhnya di meja. “Coba cicipi ini,” katanya, sambil membelah kue itu menjadi dua bagian supaya lebih mudah dikongsi. Dan Nicki mengambil bagian yang kecil. “Kau sendiri yang membuatnya?” tanya Nicki. “Ya, setiap pagi aku membuatnya. Aku membeli dalam keadaan beku, kemudian aku memanggangnya di oven. Tak ada yang tahu bedanya.” “Lumayan untuk kue pastri dari seorang mantan atlet. Kau pernah bertemu Vincent?” Nelson tiba-tiba menghentikan aktivitas mengunyahnya dan menatap Nicki dengan pandangan bingung. “Apa kau penasaran dengannya?” “Well, tak seperti itu. Aku cuma mau tahu. Kalian berdua berteman.” “Aku berharap nuranimu mengganggumu. Dan aku ingin itu akan menyakitkanmu.” “Memang. Terkadang seperti itu.” “Kami masih saling balas-membalas surat. Dia baik-baik saja, sekarang dia tinggal di Swansea. Dia telah menikah dan dikaruniai dua orang putri yang cantik-cantik. Sekali lagi, mengapa kau tanya soal dia?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN