Keheningan menyergap. Seakan-akan rasa tidak percaya itu masih membekas.
“Satu lagi, kami juga sempat membicarakan suatu rahasia.”
“Rahasia soal apa?” tanya Peter.
“Soal Maggie.”
“Oh, ya. Bukankah dia kembali menampakkan batang hidungnya saat itu?”
“Saat itu, kami tak melihatnya. Tapi sesaat setelah teriakan gol itu, baru ada berita mengenai munculnya Maggie sudah kembali. Kami melihatnya. Dia ada di dekat bench bersama para pelatih yang lain. Masih tetap dengan baju merah mereka. Dengan gestur tubuh yang dingin. Tangan di dalam saku sambil seolah masih mengawasi anak asuhnya bermain. Detik itu juga, kami merasa benci melihat mereka.”
“Ya, hari itu sudah menjadi pertandingan antara kami dengan mereka. Kami sudah tak mempedulikan Golden Spurs,” kata Nelson.
“Aku tak akan pernah melupakan pemandangan hari itu. Pemandangan di mana Maggie dan para asistennya tampak bak p*****r di pinggir lapangan. Pun hingga detik ini, aku tak mengerti alasan mereka ada di sana,” kata Munez.
“Mereka diminta untuk menjauhi bench,” kata Denis.
“Siapa yang minta?”
“Tim.”
“Mengapa?”
Nelson memutar tombol pengeras suara. Terdengar suara Brian Moore mulai sedikit parau bersamaan dengan semangatnya yang sudah mencapai puncak. Menit-menit yang krusial. Brian berbicara lebih keras. Seperti merasakan bahwa menit-menit akhir itu adalah milik anak-anak Lambeth, dan mengharapkan mereka bisa mencetak gol lagi dan memenangkan pertandingan. Tapi dari suaranya, dia terlihat lelah. Pertandingan dilanjutkan dalam babak tambahan waktu. Tiga puluh menit yang krusial.
Pertandingan pada hari ini menyajikan drama luar biasa yang pernah ada dalam sejarah Major League. Kita patut mengapresiasi keduanya. Memang tak ada yang serba pasti di dalam sepak bola. Kita lihat saja sendiri, tiga gol tanpa balas di babak pertama yang menciutkan harapan para pendukung sepak bola Lambeth. Tapi anak-anak Lambeth mampu membalasnya dengan tiga gol pula di babak kedua sebelum memasuki waktu normal pertandingan. Dalam waktu normal, mereka sama kuatnya. Mereka luar biasa. Tuhan memberkati kita sebagai pecinta sepak bola dengan bonus tiga puluh menit di pertandingan ini. Kita akan sama-sama menantikan pertandingan mereka setelah ini.
“Aktingmu bagus sekali, Brian,” kata Leo.
“Ya, dia tak jauh lebih terpukul daripada kita, Karena dia harus melihat kita tertatih-tatih lebih lama,” kata Denis.
Pintu gerbang utama berdecit. Sebuah mobil putih bersana. “Aku rasa, David kembali lagi,” kata seseorang. Ya, David turun dari mobilnya. Dengan gaya kalemnya, dia menggeliat, melirik lapangan sebentar dan kios yang ada di sekeliling. Kemudian dia menyulut rokok. Kepulan asap yang terlihat jelas dari barisan bangku tribun.
“Jeda sebentar rekamannya.”
“Seharusnya tadi kau membawa bir lebih banyak.”
Dari gerbang, David Stone menikmati rokoknya sambil memandang kerumunan mantan punggawa Red Circle yang bertebaran di tengah bangku tribun. Dari tempatnya, dia bisa mendengar suara radio dan mengenali suara Brian Moore, tapi dia tidak tahu pasti tentang pertandingan mana yang dibawakan Brian di rekaman itu. Namun sepertinya dia mendapatkan firasat. Dia menghembuskan asap rokoknya dan pergi mencari Diego.
Semua punggawa Red Circle, baik yang ada di lapangan maupun yang ada di bench berkumpul di pinggir lapangan. Tangan mereka saling bergandengan erat satu sama lain. Mereka memberikan sambutan pada para penggemar untuk semua dukungan.
David Stone tiba di bawah tribun dan mulai menaiki tangga secara perlahan-lahan. Tanpa semangat, dan sapaan, khas dari dirinya. Hampir sampai dia di kerumunan para punggawa yang lain, Nelson mematikan tape dan suasana berubah menjadi senyap.
“Hei!” katanya dengan suara pelan. “Pelatih telah pergi.”
Dari keremangan itu muncul Diego yang tengah berlari-lari di running track. Mereka yang ada di tribun mengawasinya yang tengah menuju sudut lapangan. Dan beberapa detik kemudian sesudah dia sampai di sana, lampu-lampu tiang itu padam seluruhnya.
Maggie Field tersapu kegelapan.
Mereka yang duduk di bangku tribun Maggie Field saat itu, sebagian besar dipastikan tak akan pernah mengenal Lambeth tanpa sosok James Maggie. Dan bagi mereka yang lebih tua merasa bahwa dulu ketika Maggie pertama kali datang ke Lambeth sebagai pelatih sepak bola di usia 28 tahun, pengaruhnya terhadap kota ini sungguh luar biasa. Hingga mereka beranggapan bahwa Maggie telah berdiam di kota ini sejak lama. Bagaimana pun juga, mau tidak mau harus diakui bahwa Lambeth sebagai kota tak akan dikenal oleh banyak orang tanpa kehadiran sosok James Maggie. Kota ini bahkan tak mempunyai titik koordinat di peta.
Lampu-lampu baru saja dipadamkan itu artinya penantian semua orang sudah berakhir.
Entah bagaimana perasaan mereka. Meskipun mereka sudah tahu bahwa kabar mengenai kematian itu tak akan terelakkan, tapi ketika kabar itu terdengar dari mulut David, rasanya sungguh menyakitkan. Selama beberapa saat, para punggawa Red Circle itu itu diserang oleh setiap kenangan yang terbesit di dalam hidup mereka. Leo meletakkan botol bir yang semula digenggamnya dan mengetuk-ngetuk ujung botol bir itu sambil melamun. Denis menyapu lapangan luas itu dengan tatapan nanarnya, seolah dia melihat Maggie masih berdiri di sana, masih bermain dengan peluitnya sambil mengamuk keras-keras. Dan saat pertandingan berlangsung sengit, tak ada satu pemain pun yang berani mendekatinya. Nicki bisa melihat pemandangan di mana Maggie sedang menyelinap ke dalam salah satu ruang di rumah sakit, tetap dengan topi merah khas Red Circle, berbicara dengan penuh kelembutan dan wajah yang kikuk pada mantan jagoan London-nya, dia merasa prihatin dengan lutut dan masa depannya. Dia mencoba untuk minta maaf.
Nelson mulai duduk mematung, keduanya matanya mulai basah. James Maggie adalah manusia yang paling penting dalam hidupnya, khususnya sesudah masa-masa dia menjadi pemain berlalu. Beruntung sekarang sudah gelap, pikirnya. Tapi dia tahu bahwa yang lain juga menangis.
Di suatu tempat di seberang lembah kecil, dari arah kota, terdengar lonceng gereja yang berdentang dengan lembut. Tiba waktunya Lambeth mendapatkan kabar yang paling dia takutkan.
“Aku sangat ingin menyelesaikan pertandingan ini. Kita telah menunggu selama lima belas tahun lamanya.”
“Aku setuju dengan Munez. Kami membanjir di tengah lapangan untuk memulai doa,” kata Denis.
“Mereka pasti meraih angka jika Davis tidak menghalau umpan silang itu. Jika saja dia gagal menyundul bola itu, dia akan aku hajar di ruang ganti,” kata Leo dengan nada khasnya yang kasar.
“Mereka sangat percaya diri. Strategi utamanya adalah menyerang. Tapi Nicki adalah jagoan kami. Kami mengandalkannya untuk menahan ambisi serangan mereka.”
“Itu mustahil. Bahkan untuk jogging saja aku nyaris tidak sanggup.”
“Tidak. Kau satu-satunya yang memiliki dua jantung di antara kami. Kalian bertiga maju ke pertahanan lawan. Leo masih berdiam di belakang. Dia yang ngasih komando bertahan,” kata Denis.
“Aku ingat itu. Dan itu ciri khas kalian.”
“Aku sama sekali tak mencemaskan Leo,” kata Nicki.
“Kejam sekali kau,” canda Leo.
“Opsi serangan individual diizinkan jika hanya mereka bertiga yang tersisa di depan. Tapi apabila semuanya menyerang, kerja kolektif adalah kewajiban,” kata Nelson.
“Lalu Nicki melewati tiga orang pemain mereka. Menyusul beberapa pemain lawan yang lain yang mengakibatkan Kalvin dan Denis dalam posisi yang bebas,” kata Munez.
“Itu momen epic.”
“Setelah itu, umpan terobosanku digagalkan oleh kiper mereka. Sungguh usaha yang tak terduga. Aku kira, kiper itu percaya dengan rekan-rekannya,” kata Nicki.
“Tidak, dia sudah melakukan banyak riset soal dirimu. Kiper itu percaya padamu. Bahwa kau akan mampu melewati zona pertahanan mereka,” kata Leo.
“Setelah p*********n yang gagal itu, kami berunding.”