Delapan

1702 Kata
Belva menjejakkan kaki di negara Zayn yaitu Turki, dia pernah mengunjungi negara ini sebelumnya ketika berkuliah di luar negeri, untuk berlibur bersama temannya namun dia tak pernah mengabari Zayn meski dia tahu akun sosial medianya. Saat pertama kali ke negara ini, Belva merasakan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Saat itu dia berpikir karena dia berada di bawah langit yang sama dengan cinta pertamanya, pria yang mencuri ciuman pertamanya itu. Belva menguasai beberapa bahasa dan salah satunya bahasa Turki yang kata sebagian orang termasuk bahasa yang sulit. Belva mempelajarinya dengan alasan agar kelak dia bisa berbincang nyaman dengan cinta pertamanya itu. Di bandara, Zayn dijemput oleh supir pribadinya yang tampak seusia dengannya. Pria ramah itu tersenyum menggoda Zayn ketika pria itu mengenalkannya dengan Belva. Zayn duduk di samping pengemudi sementara Belva memilih duduk di belakang, memang hari sudah cukup malam ketika mereka tiba di negara itu. Gerbang besar terbuka otomatis ketika mobil yang ditumpangi Zayn berada di depannya, Belva mencoba tidak terlalu norak melihat rumah besar nan mewah dihadapannya. Rumah tiga lantai dengan pilar-pilar besar yang sangat kokoh. Gayanya sangat klasik namun sangat indah. Halaman parkir yang sangat luas. Ada taman yang ditumbuhi rumput terawat dan juga pohon palm. Sopir membukakan pintu untuk Belva dan mengambil koper mereka berdua dari bagasi mobil, Zayn mengajak Belva masuk ke dalam rumahnya. Seorang wanita paruh baya yang masih tampak cantik menyambut Zayn. “Anne,” panggil Zayn kepada wanita yang telah merawatnya sejak dia kecil itu. Ya Anne memang ibu sambung Zayn karena ibu Zayn meninggal ketika melahirkan. “Ini Belva,” ucap Zayn kepada wanita berdarah Turki itu. Anne Zayn melihat ke arah Belva dengan kening berkernyit, aneh dia merasa wajah Belva tidak asing padahal ini pertama kalinya dia bertemu gadis itu. “Halo Belva selamat datang,” sapa Anne Zayn. “Terima kasih, Hala,” sapa Belva, Hala adalah panggilan untuk tante atau bibi. Anne Zayn memeluk Belva dan memegang kedua bahunya, “panggil Anne seperti Zayn saja,” ujarnya membuat Belva mengangguk. “Kita makan malam dulu,” ajak Anne Zayn. “Aku mau lihat baba,” tutur Zayn. “Sebentar ya,” ujarnya menoleh ke arah Belva sambil berjalan meninggalkannya namun dengan refleks tangan Belva memegang tangannya untuk menghentikan langkah Zayn. “Aku ikut, boleh?” tanya Belva. Senyum Zayn terukir, dia mengangguk dan mengajak Belva ke satu ruangan di rumahnya yang selama sepuluh tahun terakhir menjadi tempat peristirahatan sang ayah. Zayn membuka pintu ruangan besar itu, ada seorang perawat duduk di kursi khusus samping ranjang empuk nan nyaman yang mungkin membuat pria paruh baya itu kian terlelap dalam tidur panjangnya. Monitor mencetak garis turun naik, seluruhnya terlihat stabil hanya mata itu saja yang enggan terbuka. Zayn menghampiri pria berhidung mancung yang terbaring tak berdaya. Wajahnya mirip dengan wajah Zayn hanya kerutan penanda usianya yang tidak muda lagi saja yang membuatnya berbeda. Wajahnya bersih tak terlihat kesakitan, benar-benar seperti seorang yang terlelap dalam tidur panjangnya. Setiap hari anggota tubuhnya dibersihkan, pakaiannya diganti, suntik vitamin dan lain sebagainya sehingga kondisinya tetap stabil. Meski tidak murah dengan biayanya, namun ayah Zayn memiliki harta yang tak ternilai jumlahnya yang dikelola managemennya dalam pengawasan Zayn tentunya karena pria itu memang tidak terlalu tertarik dengan perusahaan itu dan lebih suka mengelola bisnisnya sendiri. Belva menggeser tubuhnya berdiri di samping Zayn, melihat pria yang terbaring lemah itu. Hati Belva terasa sakit, mungkin ikut merasakan sakit yang dirasakan ayah Zayn. “Ba, kapan mau bangun?” tanya Zayn sambil tersenyum getir. Pria itu jelas tidak meresponnya. Hingga Zayn menarik kursi untuk duduk di samping sang ayah. “Baba ingat, wanita yang mengalahkanku di olimpiade sepuluh tahun lalu, Belva Catherine dari Indonesia. Aku membawanya ke rumah, aku sudah pernah berjanji untuk mengenalkan ke Baba kan? Baba ingat, ini wanita itu Ba,” ujar Zayn menoleh ke arah Belva. Belva mengusap tangan Baba Zayn seolah bersalaman dengannya. “Hai Ba, aku Belva,” ucap Belva dengan tangan tetap menggenggam tangan Baba Zayn. Lalu monitor berbunyi dengan suara berbeda dari biasanya dan perawat yang siaga itu langsung menghampirinya. Detak jantung Baba Zayn meningkat. Belva sangat kebingungan dan melepas tangan Baba Zayn. “Ba,” panggil Zayn. Selang beberapa detik, detak jantungnya kembali normal.  “hemşire, apa yang terjadi?” tanya Zayn memanggil perawat itu. Perawat tersebut mengecek tubuh Baba Zayn. “Sepertinya dia merespon sesuatu, karena tidak pernah detak jantungnya berdetak sekencang ini. Saya akan memanggil dokter segera,” ucap perawat itu, mengambil ponsel dan menelepon dokter pribadi ayah Zayn yang memang tinggal dalam satu komplek perumahan dengan Zayn. Perawat yang bekerja di rumah Zayn memang bekerja cukup lama, menggantikan perawat sebelumnya yang sudah pensiun. Tidak sampai sepuluh menit, dokter pria paruh baya itu datang dan kembali mengecek tubuh Baba Zayn. Zayn, Anne Zayn dan Belva berdiri dengan harap cemas tidak jauh dari dokter tersebut. Lalu dokter itu menoleh ke arah Zayn. “Sepertinya Baba merespon ucapan kamu, atau dia terlalu rindu dengan kamu sehingga detak jantungnya berpacu, itu adalah hal yang baik, mungkin Baba akan terbangun dari tidur panjangnya,” ucap dokter tersebut. Anne memeluk Zayn dan menitikkan air mata. “Ini adalah berita baik,” ucap dokter itu. “Terima kasih,” ucap Anne Zayn. Dokter itu pun pamit pulang karena kondisi Baba Zayn kembali stabil. Zayn mengajak Belva ke luar dan makan malam sebelum beristirahat. Anne Zayn memilih menemani sang suami. Sementara makanan dihidangkan oleh pelayan. “Kamu pernah menceritakan tentang aku ke Baba?” tanya Belva sambil menyuap makanannya. “Iya, waktu kamu mengalahkan aku di olimpiade tingkat internasional,” kekeh Zayn. Belva tertawa menanggapinya, kala itu memang Zayn terlihat marah, mungkin dia tidak pernah terkalahkan sebelumnya, namun hari itu justru menjadi moment berharga bagi mereka. Pikiran Zayn menerawang peristiwa sepuluh tahun silam. Dia sangat kesal ketika mengetahui dirinya dikalahkan bahkan oleh perempuan. Mereka berfoto sambil memegang medali, namun Belva jelas berada di undakan tangga yang tertinggi sementara Zayn di undakan ke dua. Zayn mengirim foto itu ke ayahnya yang masih berada di rumah. (Flashback ingatan Zayn) “Siapa namanya?” tanya Baba Zayn via telepon. “Belva Ba, Belva Catherine, dia dari Indonesia, nanti aku akan mengenalkan ke baba setelah kami dewasa,” jawab Zayn dengan pipi bersemu, saat ini dia tengah beristirahat di hotel, siang tadi memang dia sangat marah, namun kecupan singkat itu merubah rasa bencinya menjadi rasa menggelitik yang disebut cinta, yang tak pernah Zayn rasakan sebelumnya. “Hmm siapa nama orang tuanya?” tanya baba Zayn. “Yang aku tahu namanya Tere, tadi ketika dipanggil mereka menyebut nama Tere dan nama ayahnya entah siapa aku kurang mendengarnya,” jawab Zayn. “Ada apa?” tanya Zayn karena ayahnya hanya terdiam. “Wajahnya seperti familiar, apa itu ibu kandungnya?” “Tadi aku mencarit tahu dan ku rasa bukan, dia tinggal di panti asuhan sejak bayi,” ucap Zayn. Lama tidak terdengar suara babanya hingga dia merasa perlu memanggil pria itu lagi karena sepertinya ayahnya melamun. “Besok setelah kamu pulang, ada yang mau baba bicarakan, baba akan menjemput kamu di bandara,” ucap Baba Zayn. “Apa baba marah karena aku kalah?” tanya Zayn, terdengar kekehan dari seberang sana. “Tidak, kamu justru harus merasakan gagal agar tahu rasanya bangkit, ini tentang, hmmm besok saja baba beri tahu,” ujarnya. Meski penasaran, Zayn tidak mau memaksa ayahnya berbicara. Karena itu dia pun membiarkan ayahnya memutuskan panggilan itu. Saat itu, Zayn juga ingin mengatakan kepada sang ayah bawa dia sepertinya jatuh cinta dengan wanita Indonesia itu, sama seperti ayahnya yang menikahi wanita Indonesia dan melahirkan Zayn di dunia ini. Ayahnya pasti senang mendengarnya. Meskipun masa depan masih panjang, namun terselip satu keinginan Zayn untuk menikahi wanita berdarah melayu, mungkin karena dia sangat ingin merasakan kasih sayang sang ibu yang berdarah melayu yang meninggal setelah melahirkannya. Namun keesokan harinya sang ayah justru kecelakaan dan tertidur sampai sekarang, sang pengemudi yang merupakan sepupu ayahnya pun meninggal di tempat. Sepupu ayahnya adalah supir sekaligus asisten dan juga managernya, bisa dibilang dia rekan kerja, saudara sekaligus sahabat sang ayah sejak kecil sehingga mereka sangat dekat. Wajah mereka pun mirip, terlebih mereka sering bersama membuat keduanya seperti kembar. Zayn tidak bisa membayangkan saat ayahnya bangun dan menyadari bahwa Faruq, sepupunya meninggal dalam kecelakaan itu. (Flashback End) “Hei, kok bengong?” tanya Belva. “Ah maaf, hanya sedang mengingat kejadian saat itu,” ucap Zayn. “Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Belva. “Kamu mau lihat foto ibu kandungku?” tanya Zayn setengah berbisik, tidak enak jika Anne Zayn mendengarnya. Belva pun mengangguk, dia juga penasaran dengan rupa ibu Zayn yang katanya berdarah Indonesia sama sepertinya. Setelah makan, Zayn mengajak Belva duduk di balkon lantai tiga, tempatnya sangat nyaman dan bersih. Zayn membawa album foto kecil yang diambil dari kamarnya. Dia duduk di samping Belva dan membuka album itu. “Ini ibuku,” ucapnya. Menunjuk satu wanita yang tengah mengandung. “Cantik,” puji Belva, dia membalik foto itu dan melihat dua wanita yang berfoto saling rangkul. “Ini siapa?” tanya Belva. “Kata baba itu sahabat ibu, tapi ... baba kehilangan jejaknya setelah ibu meninggal, baba juga enggak mau menceritakan lebih jauh, hanya dia mengatakan nama Rona,” ucap Zayn. Belva memandang lama foto itu, wajah wanita itu tampak tidak asing namun Belva tidak ingat pernah melihatnya di mana? Hanya dia merasa pernah dekat dengannya. Atau hanya perasaannya saja karena dia memang tidak pernah mendengar nama Rona sebelumnya. “Kenapa?” tanya Zayn karena Belva hanya terdiam memandangnya. “Boleh aku foto? Barang kali nanti aku bertemu dengannya, wajahnya enggak asing,” ucap Belva. Zayn mengangguk, Belva pun mengambil foto itu karena pencahayaan yang cukup gelap, dia menyalakan flash untuk membidiknya, kilatan flash itu memantul ke wajah Belva. Zayn menatapnya dengan seksama, membandingkan wajah Belva dengan foto yang dipegang Belva. “Kamu yakin enggak mengenalnya? Wajah kalian sedikit mirip,” ucap Zayn. Belva hanya terkekeh. “Apa wajahku sangat pasaran? Kemarin teman kamu berkata wajah kita mirip, sekarang kamu berkata wajahku mirip dengan ibu Rona ini, dasar!” sungut Belva membuat Zayn tertawa. “Benar, mungkin wajah kamu pasaran!” godanya, lalu Belva memukul lengan Zayn dengan album kecil yang dia pegang. Mereka tertawa setelahnya, tanpa menyadari dari arah dalam, Anne Zayn memandang mereka dengan pandangan datar tidak terbaca, seolah mengenyahkan pikiran yang mengganggunya. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN