Sembilan

1233 Kata
Zayn menepati janji untuk memperkenalkan Belva dengan salah satu rekannya yang bekerja di sebuah Mall besar di Turki, mereka telah membuat janji sebelumnya sehingga Zayn bisa mempertemukan mereka dan Belva bisa mempersiapkan segala hal yang dia butuhkan untuk melakukan riset di negara itu. Sambil menyelam, minum air, mungkin itu adalah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kehadiran Belva saat ini. Pria tampan dengan brewok tipis dan hidung mancung di wajahnya itu, tampak menemani Belva yang mempresentasikan slide sederhana kepada beberapa orang penting pengurus mall tersebut tentang produk The R2 Company yang akan dirilis. Di sebuah ruang meeting dengan kelengkapan furniture yang canggih. Mereka membentuk sebuah lingkaran. Belva dengan antusias memperkenalkan produk pembersih pakaian milik perusahaan, lalu menyebutkan banyaknya keuntungan jika bekerja sama dengan perusahaan serta lain sebagainya. Satu jam waktu yang diberikan untuk Belva mempresentasikan produknya, besok mereka akan mengabari jika Belva diperbolehkan mengambil riset di perusahaan tersebut. Sebagai  CTO perusahaan yang berarti petinggi di perusahaan, Belva tentu saja memiliki sekretaris pribadi, namun dia meninggalkannya di Indonesia dan lebih memilih mengerjakan pekerjaannya sendiri karena sekretarisnya akan membantu menghandle pekerjaan dia yang ditinggalkan di perusahaan. Zayn sangat senang mendengarnya, itu berarti Belva akan lebih lama berada di Turki. Setelah meeting, Zayn mengajak Belva ke cafe yang cukup terkenal. Meski sederhana namun cafe ini memiliki kopi yang khas dan sangat nikmat. Mereka berdua mengambil spot di lantai atas, siang hari yang tidak terlalu terik. Selain memesan kopi, mereka pun memesan menu makan siang. “Menurut kamu, mereka akan setuju?” tanya Belva, sambil mengunyah daging yang dipesannya. “Harus setuju sih, sayang melewatkan kesempatan emas kan?” Zayn memakan makanannya. Matanya terkadang tampak kosong, entah mengapa? Sudah sejak tadi Belva perhatikan dia lebih sering melamun, ketika Belva presentasi pun tatapannya kosong. “Ada yang lagi kamu pikirkan Zayn?” tanya Belva. “Ada sedikit,” jawab Zayn. Kembali menekuri makanannya. “Apa?” “Pernikahan, aku enggak tahu kapan baba akan sadar dari komanya, atau dia harus menyerah dengan hidupnya. Bagaimana jika aku belum menikah sementara dia tidak sadar dari komanya?” ucap Zayn. “Jangan berpikir buruk, nanti justru mensugesti diri kamu lho,” ucap Belva. “Iya aku tahu, habis kamunya sih lama,” tutur Zayn. “Kamu pikir pernikahan itu semudah membalik telapak tangan Zayn, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup! Aku perlu mengenal calon suami aku juga, lagi pula ... aku masih takut dengan pernikahan,” ucap Belva yang secara jujur mengatakan apa yang ada di benaknya. “Apa yang kamu takutkan Belva? Kebahagiaan? Tidak ada yang bisa menjamin kebahagiaan seorang, memilih tidak menikah pun belum tentu membuat orang itu bahagia,” interupsi Zayn yang terdengar keras namun tidak ketika berhadapan langsung dengannya, karena pria itu mengatakannya dengan cara lembut tanpa ada nada tinggi. “Aku takut enggak bisa menjadi ibu untuk anakku kelak Zayn, bagaimana jika ternyata aku belum siap memiliki anak? Aku menyakitinya?” “Kamu butuh bantuan profesional Belva, sampai kapan kamu tenggelam dalam pemikiran kamu,” ucap Zayn sambil memegang tangan Belva. “Selama ini kamu gila kerja hanya karena ingin mengenyahkan bayangan yang mengganggu kamu, bayangan yang seharusnya kamu hadapi bukan kamu hindari. Belva lihat aku, aku janji Belva, aku akan selalu setia sama kamu, berada di samping kamu apapun yang terjadi, sampai kamu yang mengusir aku dalam hidupmu!” Belva menarik tangannya dari genggaman Zayn, sorot matanya menyiratkan luka. Dia menggeleng pelan, “maaf Zayn bisakah kita pulang sekarang, aku lelah,” ucap Belva, lalu dia beranjak dari  tempat duduknya dan mengambil tas serta berkasnya. Meninggalkan Zayn begitu saja. Zayn hanya menghela napas panjang. Meminum kopinya yang masih tersisa. Lalu dia pun meninggalkan tempat duduknya. . . Sore hari, Zayn memutuskan bermain bola bersama teman-temannya, sudah cukup lama dia tidak berkumpul dengan teman-temannya. Dia sudah menawari Belva, namun gadis itu tidak mau ikut dan memilih beristirahat. Sepanjang perjalanan pulang tadi, Belva terus saja terdiam. Bahkan sesampai di rumah Zayn dia langsung masuk ke kamar tamu dan beristirahat. Setelah mandi, Belva memutuskan keluar dari kamar, dia berjalan di sekitar rumah Zayn yang sangat luas dan tampak sepi, hingga kakinya tanpa sadar melangkah menuju kamar rawat Baba Zayn. Pintu kamar tersebut terbuka, ada dua perawat yang sepertinya sedang melakukan pergantian shift. Anne Zayn juga ada di sana, membersihkan tubuh Baba Zayn. Salah satu perawat ke luar dari kamar itu dan membungkuk hormat pada Belva. Wanita itu terpergok oleh Anne Zayn dan mau tidak mau masuk ke dalam kamar, Baba Zayn telah selesai di bersihkan tubuhnya dan diganti bajunya. Anne Zayn menghampiri Belva yang menatap Baba Zayn dari kejauhan, entah mengapa Belva merasa tidak nyaman di ruangan itu? Apa karena kemarin dia mendapat penyambutan yang membuatnya cukup panik? Anne Zayn menyadari Belva yang tampak tidak nyaman dari gestur tubuhnya yang gelisah. “Mau minum teh?” tawar Anne Zayn. Belva pun mengangguk. Anne Zayn mengajak Belva ke balkon di lantai teratas, ada ayunan kayu yang memanjang dengan atap di atasnya. Anne Zayn meminta asisten rumah tangga membawakan mereka dua cangkir teh hangat. Sementara teko unik berisi teh tersebut diletakkan di meja tak jauh dari ayunan. Lengkap dengan cemilan yang merupakan kacang-kacangan khas negara tersebut. Warna tehnya lebih pekat dibanding teh di Indonesia, aromanya pun berbeda. Turki sendiri merupakan negara dengan peringkat pertama yang paling banyak mengkonsumsi teh. “Ini namanya teh Cay, lebih enak diminum saat hangat seperti ini,” ucap Anne Zayn menyesap cangkir teh kecil itu. Belva menghirup aroma teh tersebut dan meminumnya. “Rasanya sangat khas ya Anne,” ucap Belva. “Iya setiap negara biasanya memiliki teh yang khas, di Indonesia sendiri bagaimana?” “Di negara kami banyak sekali jenis teh, biasanya orang banyak yang meminum teh dengan aroma melati.” “Nanti kalau kalian menikah, Anne akan datang ke Indonesia, dan mencoba teh aroma melati itu,” ucap wanita bernama Elif yang lebih suka dipanggil Anne Zayn. Ucapan tentang pernikahan membuat Belva kembali tertunduk. Anne Zayn memegang bahunya dan tersenyum. “Maaf jika Anne menyinggung perasaan kamu.” “Tidak kok Anne, hanya saja aku masih bimbang,” ucap Belva. “Zayn itu pria yang baik Belva. Dia memperlakukan wanita dengan sangat baik, meski Anne bukan ibu kandungnya namun Zayn sangat menghormati dan menghargai Anne. Coba kamu buka hati kamu pelan-pelan untuk dia ya, kamu pasti akan jatuh cinta dengannya. Zayn sepertinya sangat tergila-gila dengan kamu, kamu satu-satunya wanita yang dia bawa menemui baba.” Belva menoleh ke Anne Zayn. Mungkin ucapan wanita itu benar, dia harus membuka hatinya perlahan, atau mungkin sebenarnya dia sudah membuka hatinya, namun dia belum bisa membiarkan Zayn masuk terlalu dalam. Dia khawatir masa lalunya yang kelam membuat Zayn ikut merasakan kesakitannya. “Apa Anne setuju denganku? Anne tahu aku berasal dari panti asuhan, aku saja tidak tahu keberadaan orang tua aku yang ... hmmm mungkin mereka sudah tidak ada di dunia ini,” ucap Belva. “Belva,” ucap Anne dengan sorot matanya yang teduh, “Anne tidak peduli dengan suku, ras, bahasa atau asal usul kamu, masa lalu kamu adalah milik kamu, yang Anne pedulikan adalah kebahagiaan kalian berdua, kamu tidak akan pernah tahu kebahagiaan apa yang telah Tuhan siapkan di depan kamu, jika kamu tidak berani melangkah maju?” Sejenak Belva berpikir, dia kembali menunduk hingga Anne memegang tangannya membuat Belva mengangkat wajahnya dan menatap wajah wanita keibuan yang mengingatkannya akan bunda Tere. “Tanya hati kamu, ya?” ucapnya membuat Belva mengangguk, dia akan memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang pernikahan kini. . .  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN