Enam

1054 Kata
Belva sangat tidak suka menunggu, lagi pula siapa orang yang gemar menunggu? Menunggu itu membosankan dan menyebalkan. Itu sebabnya Zayn pun datang tepat waktu di bandara. Bahkan dia datang lebih cepat lima menit dari jam perjanjian dengan Belva. Hingga wanita itu datang dan membawa bungkusan roti yang biasa tersedia di bandara. Zayn duduk di kursi tunggu bandara dan melihat jam tangannya, “Aku pikir aku yang sampai lebih dulu,” ujar Zayn sambil mendengus sebal karena ternyata Belva yang sudah tiba lebih awal darinya. “Mau?” tawar Belva menyodorkan bungkusan rotinya. Zayn mengambil satu roti berbentuk bulat memipih dengan aroma khas itu yang membangkitkan selera pemakannya. Dia menggigit roti, merasakan kelembutan dari setiap gigitannya. “Belum sarapan?” tanya Zayn. “Aku jarang sarapan,” ucap Belva, mengambil satu roti dan memakannya. “Kamu harus sarapan biar bertenaga,” ucap Zayn, Belva hanya terdiam memandang lurus ke depan sambil mengunyah makanannya. “Kamu sudah booking kamar? Kita pisah kamar kan?” ujar Belva. Zayn memasang wajah terkejut. “Lho aku pikir kamu mau kita sekamar?” ujarnya yang langsung mendapat tinjuan dari Belva di lengannya. “Aku bercanda, tentu saja kita pisah kamar, aku enggak mau diperk0sa kamu,” ucap Zayn membuat Belva tertawa. “Kebalik!” kekehnya. “Senang lihat kamu enggak berkutat dengan pon-,” ucapan Zayn terputus karena dia harus menarik kata-katanya lagi. Belva kini jelas menerima panggilan telepon dan meminta waktu menjauh dari Zayn. “Ya selamat pagi,” ucap Belva yang masih sempat di dengar Zayn. Dia pikir Belva akan terlepas dari ponsel namun sepertinya ponsel adalah nyawa keduanya yang tidak boleh terlepas sedetik saja dari genggamannya. Zayn mengerti Belva adalah orang sibuk di perusahaan alat kebersihan itu sehingga dia harus memaklumi ketika Belva hampir tidak bisa memikirkan dirinya sendiri di atas pemikiran tentang perusahaan. *** Belva mengangkat sebelah alisnya ketika melihat kursi penerbangan yang dipesan oleh Zayn. Dia mengambil unit first class yang terdiri dari dua seat dengan sekat penutup yang sangat private. Bukankah ini seperti bulan madu? “Apa kamu semesum ini?” sindir Belva bahkan mereka mendapatkan pelayanan yang sangat prima dari awak pesawat sejak mereka memasuki ruangan itu. “Lama penerbangan sampai delapan jam, waktu yang cukup panjang, lumayan jika dipakai untuk istirahat kan? Kamu juga bisa bekerja dengan nyaman.” Jawaban Zayn memang cukup masuk akal. Namun seat ini tampak dikhususkan untuk pasangan suami istri. Dua seat lengkap dengan bantal dan selimut, televisi ukuran besar dan ruangan yang tertutup. Belva akui pesawat ini memang sangat bagus dan lain dari biasanya. Tapi bukankah semuanya bertujuan sama saja? Mengapa Zayn harus mengocek uang lebih hanya untuk penerbangan saja? “Ayo masuk, aku juga mau melakukan pekerjaan,” ucap Zayn sambil tersenyum jahil. Sungguh ada seat-seat first class lainnya di pesawat ini namun Zayn justru memilih private seat khusus dua orang. Belva meletakkan tas laptopnya di atas meja, selang beberapa menit pramugari memberinya minuman dan juga cemilan pembuka. Belva tidak mau membuang waktu percuma, setelah menikmati minuman dingin dan cemilan khusus, dia pun langsung membuka laptopnya. Mengerjakan beberapa hal lalu larut akan pekerjaannya. Dia harus menyiapkan slide penawaran yang menarik dan bahan untuk penelitian besok. Zayn juga memakai laptopnya, sama seperti Belva, dia pun diburu pekerjaan, salah satu alasan dia memilih first class adalah karena dia butuh konsentrasi khusus dalam pemecahan beberapa kode untuk akses smartsystem yang sedang dia kembangkan. Mereka berdua larut dalam pekerjaan masing-masing. Setelah hampir satu jam berkutat dengan pekerjaannya, Zayn melirik laptop Belva, gadis itu tampak menunggu sebuah balasan email. “Pulang dari Qatar, kamu mau singgah ke Turki? Mungkin kamu mau melihat kondisi baba?” ucap Zayn, baba adalah panggilan terhadap ayahnya yang saat ini masih terbaring koma meski sudah sepuluh tahun berlalu. “Hmmm, tapi kalau kamu enggak mau enggak apa-apa, aku hanya menawarkan. Barangkali kamu juga bisa melihat pasar potensial di sana untuk perusahaan kamu?” lanjut Zayn. “Iya boleh, Turki adalah negara yang belum pernah aku kunjungi, mungkin menyenangkan. Dan benar kata kamu Turki bisa menjadi target penjualan The R2 Company,” ucap Belva diiringi senyuman ambisiusnya. “Kamu serius?” ujar Zayn tanpa menutupi raut bahagia di wajahnya. Belva pun mengangguk. “Terima kasih Belva,” ucap Zayn. “Sama-sama,” tutur Belva, kembali melanjutkan pekerjaannya. Zayn mengerti Belva memang tampak dingin di luar namun hatinya pasti hangat. Bisa saja dia membuat alasan di atas pekerjaan, padahal hatinya sangat baik untuk mempertimbangkan menemani Zayn pulang.   Zayn mulai merasa bosan, dia pun memutuskan menutup laptopnya dan berbaring. Dia mengganti saluran televisi di layar besar. Salah satu siaran berita menarik perhatiannya, setidaknya mengalihkan dari rasa bosannya. Belva menunggu balasan email, lalu dia melihat ke layar yang menunjukkan salah satu kolom berita tentang anak yang dibuang, sejujurnya Belva terusik dengan berita itu. Namun Zayn tidak menyadarinya karena matanya yang mulai mengantuk. Belva terus memperhatikan berita yang mentrigger perasaannya. Bahkan di era modern ini masih saja ada orang yang tega membuang bayi. “Kamu tahu kan Zayn, aku tinggal di panti sejak kecil. Aku enggak tahu orang tuaku siapa? Di mana? Apa ... kamu tetap menyukai aku?” tanya Belva seraya menunduk. Zayn yang semula mengantuk pun langsung tegar, menyadari bahwa mungkin dia melakukan kesalahan karena tidak mengganti channel berita tersebut yang topiknya menyinggung perasaan Belva. “Ah, itu .. maaf Belva,” ucap Zayn seraya mengganti channel di depannya. “Enggak, bukan itu maksudku. Hanya saja aku berpikir kamu memiliki keluarga besar yang baik, semuanya terhormat dan dari kalangan terpandang. Sementara aku?” “Aku enggak pernah peduli tentang latar belakangan kamu. Ya aku tahu kamu berasal dari panti, kamu pernah menceritakannya dulu. Justru aku kagum, kamu yang tidak mendapat sokongan dari keluarga kamu, namun kamu berhasil membuktikan bahwa kamu mampu. Bersaing dengan banyak orang dan keluar sebagai juaranya.” “Ya itu kan pendapat kamu. Bagaimana dengan pendapat keluarga kamu?” “Va, meskipun laut berapi, dan tanah terbelah, aku tetap akan memperjuangkan kamu,” ujar Zayn sok puitis membuat Belva tertawa. “Gombal!” decih Belva. Zayn ikut tertawa melihat tawa Belva yang cerah sungguh membuat hatinya berbunga. “Pokoknya kalau keluarga kamu enggak merestui, aku enggak akan mau ya Zayn. Apalah arti hubungan tanpa restu, hanya akan membuat kita tersandung banyak masalah.” “Jadi, kalau aku mendapat restu. Apa kamu mau menerima perasaan aku?” “Maybe, entahlah kita lihat nanti,” kekeh Belva. ***              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN