6. DEBARAN

1619 Kata
Azka melihat satu persatu barang-barang yang diperjualbelikan di pasar tradisional tersebut sembari menunggu Anisa yang tengah memilih kebutuhan gadis itu. Tentu saja Azka lebih memilih menunggu di luar kios agar Anisa bisa dengan bebas memilih pakaian yang diinginkannya. Tampak berulang kali Azka menyapa para warga yang lewat di depannya. Postur dan wajah asing Azka yang berbeda dengan warga sekitar menjadikan dirinya pusat perhatian. Para warga sekitar pasti mengira bahwa Azka dan Anisa adalah wisatawan asing yang tengah berkunjung. Jika Azka lebih mirip dengan orang Timur Tengah yang khas dengan netra berwarna hazel Anisa beda lagi. Gadis berkulit putih dan bersih itu justru mirip dengan artis-artis dari Negeri Gingseng Korea Selatan. Setelah Anisa selesai memilih beberapa setelan pakaian Azka segera membayarnya lalu mengajak gadis itu ke kios kosmetik. "Untuk apa kita ke sini Mas?" ujar Anisa heran karena bagi Anisa pakaian yang dipilihnya tadi sudah cukup menguras kantong dokter muda tersebut. Apalagi Anisa sendiri tidak berniat membeli kosmetik. Ia tidak mau menghabiskan uang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu. "Udah pilih saja. Saya punya ibu dan adik perempuan. Jadi saya tahu semua kebutuhan wanita itu seperti apa," balas Azka sembari menarik tangan Anisa untuk masuk ke dalam kios khusus kosmetik. Meskipun Azka tidak mengenal siapa Anisa tapi tak sulit bagi Azka menilai gadis tersebut. Gadis itu berasal dari keluarga berada dan tentu saja biasa melakukan perawatan kecantikan meskipun kulitnya terlihat sedikit eksotik tapi kulit dasar Anisa adalah putih bersih. Anisa menatap Azka yang sedang berbicara dengan pemilik kios kosmetik. Dengan ramah ibu-ibu muda itu mengeluarkan produk-produk kecantikan terbaik yang tersedia di kiosnya, bahkan semua produk yang berada di dalam etalase. Dengan perasaan ragu Anisa mulai membaca label produk kecantikan tersebut satu persatu. Lalu tanpa membaca kelebihan dan kegunaan barang-barang tersebut ia memilih produk serba berwarna biru di hadapannya. Ia mengambil bedak, lipstick, dan day cream. "Sekalian satu paket saja Bu!" Azka menunjuk kosmetik dengan merk pilihan Anisa yang berada di dalam etalase. "Ah pinter Masnya ini, memang lebih hemat klo beli sepaket," ujar ibu itu dengan wajah berseri karena dagangannya laku banyak. Ibu itu menatap Anisa dengan senyuman terkembang penuh arti. Sebelum membayar tagihan belanja Azka memilih body lotion untuk Anisa. Tak lupa juga ia berbelanja keperluan mandi untuk Anisa, keluarga Pak wanto, dan keperluan dirinya sendiri. "Sebentar ya saya ingin ke apotek sebentar untuk berbelanja obat, persediaan obat-obatan saya sudah menipis," ujar Azka lalu menenteng satu kantong kresek yang dirasa berat. Anisa hanya mengekor di belakang Azka dengan perasaan sungkan. Selagi menunggu Azka memilih obat-obatan Anisa duduk di kursi yang tersedia di depan kios seraya memperhatikan para warga yang tengah berbelanja. Semuanya terasa asing. Hatinya mulai bergerimis mengingat nasibnya yang tidak ada kejelasan. Apa mungkin ia akan terjebak selamanya di dusun terpencil ini atau kembali pada keluarganya?. Tiba-tiba setetes buliran kristal jatuh di pipinya. Anisa merindukan keluarganya yang bahkan ia sendiri tak mengingatnya. Tapi Anisa bisa merasakan jika keluarganya pun kini tengah bersedih dengan kepergian dirinya. "Ayo kita pulang!" ajak Azka setelah menyelesaikan p********n dan membeli dua botol minuman dingin beserta beberapa cemilan. Anisa masih bergeming dengan derai air mata mulai berjatuhan. Azka menarik napas panjang, tentu saja Azka sangat mengerti dengan perasaan gadis amnesia itu. Andai saja ia bisa menolong pastilah sudah ia lakukan saat ini juga. Mengantarkan gadis itu pulang kembali kepada keluarganya. "Anisa, ayo kita pulang, saya janji akan mengantarkan kamu pulang, kembali pada keluarga kamu. Tenanglah, saya pasti akan menepati janji saya," hibur Azka seraya mengulas senyuman lembut. "Maaf, klo saya sudah merepotkan Mas Dokter," lirih Anisa seraya menyeka buliran kristal yang masih saja bergulir tanpa bisa ia cegah dengan kedua tangannya. Saat ini Anisa benar-benar membutuhkan teman berbicara, tempat berkeluh kesah untuk meluapkan segala perasaan ambigu yang berkecamuk di dalam dadanya. "Ayo!" sambung Anisa lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendahului Azka. Azka sengaja membisu, membiarkan gadis yang ia taksir berusia sekitar 19 tahun itu berjalan di depannya. Tampak bahu gadis itu bergetar dan Azka hanya bisa bersimpati karena ia sendiri tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk menghiburnya. Anisa berada pada posisi tersulit dalam hidupnya. Langkah kaki Azka turut mengikuti langkah kecil Anisa yang terlihat berulang kali mengusap air mata di pipi dengan punggung tangannya. Entah berapa puluh tangga yang telah mereka lalui hingga mereka sampai dipertengahan jalan. Lantas Azka mengajak Anisa untuk beristirahat sejenak. "Minum dulu." Azka menyerahkan sebotol air mineral dingin yang tadi ia beli. Mereka memilih duduk di bawah sebatang pohon rindang untuk berteduh dari sengat mentari. Tampak dari tempat mereka berada hamparan bukit hijau terbentang luas di sana bersama nyanyian merdu sang alam semesta. Musik alam yang pasti mampu menghipnotis siapapun yang menikmatinya. Azka menatap lekat gadis berambut panjang di sisinya. Sebagian anak rambut yang terlepas dari ikatannya itu menari-nari diterpa semilir angin yang menemani mereka. Segaris senyuman terlukis di bibir gadis itu dengan pandangan menerawang. Senyuman sarat akan kesedihan yang jelas terbaca dari sepasang iris hitam legam dari bola mata indahnya. "Terima kasih," balas Anisa singkat seraya menerima botol minuman yang telah terbuka tutupnya. Anisa segera meneguknya hingga menyisakan separuh. Membasahi kerongkongan yang terasa kering kerontang, selain karena haus air mineral dingin itu nyatanya mampu mendinginkan hati dan kepalanya yang terasa panas. Menerima tatapan intens dari pria di sampingnya membuat perasaan gugup mendera Anisa, jantungnya pun ikut menabuh genderang perang. Bahkan Anisa seolah bisa mendengar bagaimana detak jantungnya yang berkejaran. Tatapan tak terbaca dari sepasang iris berwarna hazel yang meneduhkan itu seolah menyeretnya ke dalam pusaran perasaan tak terdefinisi. Hatinya menghangat bersamaan dengan hadirnya desiran halus yang seolah pernah ia rasakan sebelumnya. Tak asing dan begitu nyata. Namun, hanya dalam hitungan detik desiran itu menguap begitu saja bersama dengan terik mentari yang bersiap di atas kepala. Azka segera mengalihkan perhatiannya pada dua warga yang melintasi mereka dari arah berlawanan. Azka membalas sapaan ramah dua warga tersebut lantas mengambil alih barang belanjaan Anisa untuk dibawanya. "Kita harus segera pulang, sebentar lagi waktu dhuhur datang," ucap Azka memecah keheningan di antara mereka. Azka yang selama ini memang tidak pernah memiliki hubungan dekat dengan seorang wanita menjadi bingung sendiri. Harus dengan cara apa ia bisa menghibur gadis itu?. Azka memang selama ini menjaga diri untuk tidak menjalin pertemanan akrab atau pun persahabatan dengan lawan jenis. Selain khawatir menimbulkan rasa yang tidak ia inginkan, Azka mencoba setia pada janjinya. Menjaga hatinya hanya untuk gadis yang telah menunggunya sejak mereka masih kecil. Dengan begitu lima tahun berada di Jakarta hatinya tidak pernah sekalipun tergoyahkan. Rasa simpatinya pada Anisa hanya sebatas rasa kemanusiaan semata. Biar bagaimana pun ia manusia biasa yang tak mungkin bisa tak acuh pada tragedi tragis yang menimpa gadis itu. Azka tidak akan tega, mengingat Anisa seumuran dengan adik dan gadis yang dicintainya. Setiap melihat gadis malang itu Azka selalu membayangkan jika apa yang menimpa Anisa saat ini menimpa pada dua gadis yang sangat disayanginya. Ia hanya menuruti apa kata hatinya untuk menolong semampu ia bisa hingga Anisa bisa berkumpul dengan keluarganya. Azka beranjak dari tempat duduknya, lalu membersihkan tubuh bagian belakangnya, tampak kotoran yang menempel pada celananya berjatuhan yang segera membuat Anisa turut beranjak. Lalu Azka mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana. Mengikat rambut panjangnya dengan tali karet. Anisa yang tengah memperhatikan dokter tampan itu hanya bisa membeku kala hatinya begitu mengagumi pria dewasa itu. Perempuan mana yang tidak akan terperdaya dalam pesona dokter fenomenal tersebut. Profesi sebagai bintang film atau model iklan jauh lebih cocok bagi Azka ketimbang berprofesi sebagai dokter. "An..," ucap Azka tercekat saat tanpa sengaja netra mereka bertemu. Tiba-tiba jantung Azka kembali berdebar kencang seperti dua minggu yang lalu, saat perasaan sedih dan terluka seolah-olah menghujam hatinya secara membabi buta. Tangan kanan Azka terangkat, memegang dadanya, mencoba meredam debaran yang begitu menyesakkan itu. "Mas Dokter kenapa?" tanya Anisa khawatir ketika melihat perubahan raut wajah Azka. "Nggak papa, ayo kita pulang!" Azka segera melangkahkan kaki kembali pada anak tangga yang telah menanti untuk mereka lewati. Sepanjang perjalanan Azka lebih banyak terdiam. Pria itu tengah mencoba menganalisa kondisi dan kesehatan dirinya sendiri. Selama ini ia tidak pernah mengalami sakit yang berarti. Hanya sakit ringan seperti demam, batuk, dan pilek. Penyakit umum yang biasa diderita oleh kebanyakan orang. Ia juga rutin berolahraga, menjaga pola makan, dan selalu hidup sehat. Lantas rasa sakit di bagian d**a yang akhir-akhir ini sering ia rasakan seolah menjadi pertanda jika ia sedang tidak baik-baik saja. Meskipun ia seorang dokter tetapi ia juga manusia biasa. Jadi nanti ketika masa pengabdiannya yang hanya tersisa dua minggu itu selesai ia akan melakukan pemeriksaan kesehatan secara lengkap di rumah sakit. Melihat perubahan sikap Azka seketika membuat Anisa merasa bingung sekaligus takut. Ekspresi datar dan dingin yang Azka tunjukkan sudah menjadi bukti bahwa ada yang salah dengan dirinya. Akhirnya Anisa pun turut memilih mengunci bibirnya rapat-rapat. Membiarkan kebersamaan mereka dalam diam hingga sampailah mereka pada tempat tujuan. "Mas Dokter terimakasih untuk semuanya," ujar Anisa saat pria itu hendak masuk ke dalam rumah. Anisa sedikit membungkukkan tubuhnya saat Azka menatapnya dengan sorot tak terbaca. Lalu segera berlalu meninggalkan Azka yang masih mematung di tempat. Kembali debaran itu hadir. Azka segera masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di tepi amben sembari mengusap wajahnya dengan kasar. "Sebenarnya apa yang terjadi padaku?" gumamnya dengan perasaan kesal. Ia sentuh dadanya yang masih bekerja ekstra. Lalu ia meraih ponsel miliknya yang selalu tergeletak di atas meja. Membuka galeri foto di dalamnya. "Tidak mungkin mereka berdua adalah gadis yang sama." ________________&&&_________________ Jadwal update 3 cerita on-going di bulan April 2021. 1. My Sexy Doctor : Senin-Selasa 2. Night With(out) You : Rabu-Kamis 3. Second Marriage : Jumat/Sabtu Jangan lupa follow and tap love.Oya insyallah 3 cerita ini akan aku update secara gratis hingga tamat. Kecuali sistem yang mengunci. Komentar kalian adalah mood booster aku untuk menulis. Jadi jangan sungkan-sungkan meninggalkan jejak pada setiap part yang aku update. Thanks you for my beloved readers???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN