Dikira Maling

1413 Kata
Eka sudah seperti asisten pribadi saja. Bahkan diluar jam kerja ia masih bersama dengan Zero. Lihat saja sekarang, Eka bersama sang atasan sedang berada di toko kue milik istri Hiro (CEO perusahaan). Eka begitu semangat memilih kue yang ada di toko tersebut. Begitupun dengan Zero. Entah untuk apa kue tersebut, Eka tidak banyak bicara. Padahal sang atasan tidak terlalu suka makan sesuatu yang manis apalagi di malam hari. Jam segini istri Hiro sudah pulang. Paling hanya ada karyawan saja. Zero sudah selesai memilih kue dan membawanya ke kasir. "Jangan pakai diskon," ujar Zero. Biasanya istri Hiro kalau teman-teman suaminya yang beli diberi diskon khusus. "Baik, Pak." Karyawan hanya menurut saja. Setelah selesai membeli, mereka segera masuk ke dalam mobil. "Kita kemana, Pak?" tanya Eka tidak tahu tujuan atasannya kemana. "Kamu sibuk?" Eka menggeleng. "Ke coffee shop," ujar Zero. Eka mengangguk. Ia langsung mengarahkan mobil menuju ke coffee shop milik sang bos. Sampai sekarang Eka tidak tahu tujuan sang bos membuka bisnis tersebut. Apalagi yang didapat hanya kerugian saja dan buang-buang waktu. "Kue ini untuk siapa bos?" tanya Eka sambil melihat sang atasan dari kaca spion depan. "Karyawan," jawab Zero dengan wajah memerah. Memikirkan Salsabila saja sudah membuat jantungnya berdebar. Eka menggaruk leher yang tidak gatal. "Bos yakin?" "Kenapa?" "Bukannya di coffee shop ada menu kayak dessert gitu ya, Pak?" Seingat Eka ada tambahan menu seperti chocolate cake, red velvet cake dan sebagainya. Kalau kue ini dibawa, apa tidak terjadi rasa minder bagi karyawan? Eka berpikir ke arah sana. "Apa iya?" "Iya, Bapak. Ada menu kayak kue coklat gitu." "Kenapa baru bilang sekarang?!" ujar Zero langsung. Ia tidak ingat sama sekali. Hanya karena ingin membelikan makanan yang enak untuk Salsabila, Zero tidak ingat menu baru di coffee shopnya. Pembicaraannya dengan Lp beberapa saat yang lalu juga mengganggu pikirannya. Apa Zero bisa menunggu selama dua tahun? Kenapa rasanya berat sekali. "Maaf, Pak." Eka hanya bisa meminta maaf. Padahal bukan salah dia juga. Zero mengacak rambutnya frustasi. Alasan apa yang Zero berikan untuk memberikan kue-kue yang sudah ia beli? Dia benar-benar lupa. Seharusnya Zero membeli yang lain. "Bukan salah kamu," ucap Zero. Orang yang pantas disalahkan adalah dirinya sendiri. Pikiran Zero sedikit kacau. "Eka," panggilnya. "Iya, Pak." "Saya tidak jadi ke coffee shop, antar saya pulang saja." Sebaiknya Zero tidak bertemu dengan Salsabila. Nanti pikirannya tambah kacau. "Baik, Pak." Eka hanya menuruti perintah sang atasan padahal mereka hampir sampai ke coffee shop. Padahal dalam hati Eka sedikit kesal dengan sang atasan. Tapi mau bagaimana lagi. Atasannya memang aneh akhir-akhir ini. Zero sudah sampai dirumah. Eka juga sudah pulang menggunakan mobil Zero. Hal ini atas keinginan Zero sendiri, apalagi ia sudah sangat merepotkan sekretarisnya itu. Zero mulai membersihkan diri. Plastik yang berisi kue masih ada diatas meja. Tidak tersentuh sama sekali dan masih sangat utuh. Zero menjalani aktivitas sepulang kerja seperti biasa. Tidak ada yang berbeda. Walaupun ia berada di coffee shop, Zero lebih memilih berada di ruangan pribadi miliknya. Melihat Salsabila terlalu sering dapat mengganggu pikirannya sendiri sehingga Zero memilih menghindar. Lantas kenapa dia tetap sering ke coffee shop?Jawabannya adalah karena Zero ingin memastikan Salsabila bekerja dengan nyaman dan tidak ada yang mengganggu. Ia juga ingin memastikan Salsabila tidak pulang larut malam. Pukul sepuluh lewat, Zero tengah diliputi rasa bimbang. Kok ia tidak nyaman untuk mengerjakan sesuatu padahal pekerjaan masih banyak. Otaknya masih memikirkan tentang Salsabila. Apa dia sudah selesai bekerja? Takutnya karena ingin mendapatkan gaji yang banyak memilih untuk memperbanyak jam kerja. Zero tidak bisa hanya diam begini saja. Ia bangkit dari kursi dan langsung mengambil jaket. Zero memutuskan untuk melihat Salsabila sebentar. Ia hanya memastikan saja apa Salsabila sudah selesai bekerja apa belum. Zero kebingungan mencari kunci mobil. Biasanya ada di atas nakas samping ranjangnya. Tapi kok tidak ada? Zero sibuk mencari kemana-mana. Tidak lama setelah itu, ia baru sadar bahwa mobilnya dibawah oleh Eka. Bisa-bisanya Zero lupa. Apa dia sudah sangat tua sehingga mudah lupa? Sungguh mengenaskan sekali. Zero memilih untuk memesan gojek saja. Tidak mungkin ia pergi dengan jalan kaki, bisa-bisa ia sampai pukul dua belas malam. Sebelum keluar dari rumah, Zero mengambil plastik yang berisi kue yang tadi ia beli dari toko istri temannya. Zero akan melakukan sebagaimana niat awalnya saja. Kalau ditolak, Zero harus melapangkan d**a. Gojek sudah datang, Zero langsung naik. Menikmati suasana malam ternyata juga cukup bagus. Mungkin karena Zero jarang menggunakan motor seperti sekarang. Zero juga tidak punya motor sendiri. Ia hanya punya satu mobil dan satu sepeda saja. Sesampainya di coffee shop, Zero malah berdebar tidak jelas. Apa-apaan dengan jantungnya ini? Sungguh hal yang baru pertama kali Zero rasakan. Cafe sudah sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Lampu di dalam cafe juga sudah mati. Hanya penerangan minim yang tidak begitu jelas terlihat dari luar. Apa semua orang sudah pulang? Mungkin saja. Sepertinya Zero terlambat. Ia ingin masuk ke dalam coffee shop yang pintunya sudah tertutup itu. Akses masuk ke sana cukup menggunakan kode akses saja. Sistem keamanan coffee shop sudah diganti oleh Zero. Zero menekan beberapa angka yang menjadi kode akses. Suara khas juga terdengar. Ketika kode akses berhasil diinput, pintu bisa dibuka. Zero langsung masuk ke dalam. Sepertinya para karyawan sudah pulang. Baguslah, itu yang dipikirkan Zero. Zero melangkah dengan pelan karena pencahayaan yang minim. Takut saja kalau ia salah melangkah dan menabrak sesuatu. Zero ingin mencari remot kontrol untuk menghidupkan lampu. Ia meraba-raba meja kasir. Entah dimana karyawannya meletakkan remot tersebut. Sedang asyik mencari, ia malah mendengarkan suara langkah kaki. Tidak mungkin ada malingkan? Apalagi sistem keamanan di coffee shop ini lumayan bagus. Kok jadi horor begini? Zero mulai was-was sendiri. Apa ia sedang takut? Tidaklah, tidak mungkin. Zero melangkah dengan penuh ketelitian. Bayang orang terlihat, Zero mulai siaga. Ini tidak bisa dibiarkan, Zero harus menangkapnya. Belum sempat ia melakukan aksi, kepala Zero sudah disambut dengan pukulan yang sangat kuat. Zero kaget sembari meringis kesakitan. Pukulan demi pukulan kembali dilayangkan. "Maling!!!" Teriakan perempuan terdengar. Apa ia menganggap Zero maling sampai dipukul begini? "Stop stop stop!" teriak Zero yang sudah tidak tahan lagi. "Saya bukan maling," ucap Zero memberi penjelasan. Pukulan tetap ia dapatkan. "Saya Zero, Salsabila!" ungkapnya. Tidak lama setelah itu, pukulan terhenti. Zero mengambil ponsel di saku celana dan menghidupkan lampu diponselnya tersebut. Dari suara saja Zero sudah tahu bahwa yang memukul dirinya adalah Salsabila. "Lihat lihat," ujar Zero sambil menyinari wajahnya sendiri. "Ma-maaf, Pak." Salsabila langsung panik. Ia kira maling sehingga langsung memukulnya. Ternyata orang yang ia kira maling adalah bosnya sendiri. "Saya kira maling," jelas Salsabila lagi. Zero mengusap dahi yang tadi terkena pukulan. Dahinya sedikit membengkak dan cukup sakit. Salsabila mengambil remot dan langsung menghidupkan lampu. Darisana baru ia sadar efek pukulannya seperti apa. Salsabila benar-benar ketakutan. Bagaimana kalau dirinya dipecat? Salsabil menatap sang bos dengan raut wajah panik dan juga khawatir. "Pak, saya minta maaf." Salsabila menunduk dengan rasa bersalah. Melihat hal tersebut, diam-diam Zero tersenyum. "Ayo ke rumah sakit, Pak. Saya siap tanggung jawab." Mendengar kata tanggung jawab, jantung Zero berdetak dengan cepat. Kenapa tanggung jawab Salsabila dengan membawa dirinya ke rumah sakit, kenapa tidak menikah saja? Pikiran Zero tidak jauh-jauh dari pernikahan. Apa ia terlalu ngebet nikah? Kalau orangnya Salsabila iya, tapi kalau orang lain tidak. "Tidak perlu, kamu pulang saja." Zero tidak ingin terlalu lama dekat dengan Salsabila. Tentu saja ini tidak baik untuk dirinya. Wajah Salsabila bertambah panik. Ia pikir sang bos marah sehingga menyuruhnya untuk segera pulang. "Kita ke rumah sakit saja ya, Pak?" "Tidak perlu, Salsabila! Silahkan pulang." Zero memasang wajah serius. Nyali Salsabila langsung menciut dan tidak berani untuk berbicara lagi. Zero sedikit menjaga jarak agar Salsabila tidak mendengar detak jantungnya. Pasti wajahnya sekarang memerah, Zero tidak ingin tampak memalukan di depan sang pujaan hati. Harus stay cool biar sang pujaan terpesona. "Sekali lagi, saya minta maaf, Pak. Tolong jangan pecat saya,Pak." Salsabila sangat-sangat memohon sekali. Tidak mungkin Zero memecat Salsabila. Walaupun coffee shop ini bangkrut besar sekalipun karena Salsabila, ia tidak akan memecatnya. "Tenang saja, saya tidak akan pecat kamu." "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak." Raut wajah Salsabila sedikit tampak lebih lega dibanding sebelumnya. "Silahkan pulang," ujar Zero. Sebenarnya niat Zero baik, tetapi bagi Salsabila hal itu malah sebaliknya. Ia kira sang bos kesal kepada dirinya. Mana wajahnya tampak datar begitu. Bikin takut saja. "Baik, Pak. Saya pamit pulang dulu." Salsabila mulai melangkah meninggalkan coffee shop. Seakan baru ingat, Zero langsung mengejar Salsabila. Ia tidak peduli dengan sakit di dahinya sama sekali. "Salsabila," panggil Zero. Langkah Salsabila langsung terhenti. Jantungnya berdetak dengan cepat, jangan bilang sang atasan berubah pikiran. Salsabila takut sekali. "A-ada apa, Pak?" tanyanya dengan gugup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN