Pertemuan Pertama
"Gue cuma mau ngomong sama Papa, kenapa lo larang?"
Salsabila mengepalkan tangan. Berhari-hari dia berusaha menghubungi Papa kandungnya, tapi tidak pernah terhubung. Ternyata sang Papa memblokir nomornya. Kenapa Salsabila tau? Buktinya saat menggunakan nomor baru seperti sekarang, panggilan terhubung. Miris bukan?
"Suami gue tidur." Suara perempuan di seberang sana membuat rasa kesal dan marah Salsabila semakin menjadi-jadi. Siapa perempuan yang sedang berbicara dengan Salsabila? Dia adalah istri baru sang Papa. Empat tahun yang lalu, Papanya berselingkuh dengan seorang janda muda yang sudah memiliki 2 anak. Jarak usia istri baru sang Papa dengan Salsabila adalah enam tahun. Sebenarnya Salsabila tidak ingin menghubungi Papanya, tapi entah kenapa ia tidak mau membuat Papa dan istri mudanya merasa tenang-tenang saja. Kalau perlu mereka berantem setiap hari biar segera hancur. Bagaimanapun, Papanya masih wajib memberi nafkah kepada Salsabila dan dua adik laki-lakinya.
Salsabila menjadi saksi bagaimana hancur sang Mama. Padahal Mama sudah menjadi istri dan ibu yang sangat baik. Hanya karena Ibu tidak secantik saat muda, Papanya mencari istri baru. Sampai sekarang Salsabila tidak melupakan momen dimana Papanya dengan mudah menceraikan sang Mama. Sungguh tindakan yang brengs*ek.
"Nggak usah bohong. Jam segini Papa gue belum tidur," ujar Salsabila dengan suara ketus. Dia tidak akan mau berbicara secara baik-baik dengan seorang pelakor.
"Terserah kalau lo nggak percaya. Udah deh, nggak usah minta uang. Gaji Papa lo itu nggak banyak."
Salsabila tertawa. "Lo takut gue minta uang?"
"Iyalah, Papa lo udah tua."
"Tau Papa gue tua, masih aja lo goda. Kayak nggak laku aja. Murahan banget," balas Salsabila dengan sengaja biar sadar diri.
"Salahin Mama lo, kenapa nggak menarik lagi. Makanya Papa lo kepincut sama gue."
Kepalan tangan Salsabila tambah kuat. Bahkan urat-uratnya terlihat. Ingin rasanya Salsabila mengumpat, tapi dia masih bisa menahannya. "Lo aja yang murahan, masih muda udah jadi janda eh malah goda suami orang. Apa nanti anak lo nggak malu kalau tau punya Ibu murahan?"
Salsabila tersenyum karena istri baru sang Papa berkata-kata kasar. Jelas saja istri baru Papanya itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Salsabila. Biar saja, Salsabila tidak peduli. Bahkan ia sengaja menjauhkan ponselnya dari telinga agar tidak mendengar bahasa kasar dari nenek sihir itu.
"Jangan lagi lo hubungi suami gue!"
"Serah gue dong, dia Papa gue. Lo kira gue bakal diam-diam aja gitu? Enggak lah!"
Istri baru Papanya kembali mengumpat.
"Gue jamin, sampai kapan pun lo nggak bakal bahagia. Apa yang lo-"
Tut tut tut
Salsabila tertawa miris karena panggilan terputus begitu saja. Nenek sihir itu tidak mau mendengarkan fakta-fakta. Urat malunya sudah hilang. Semoga tidak banyak perempuan seperti dirinya. Tentu saja, Salsabila juga tidak berharap ada laki-laki seperti Papanya. Salsabila tidak hanya menyalahkan nenek sihir itu, tapi juga Papanya. Kalau Papanya memang mencintai sang Mama dengan tulus serta memikirkan anak-anaknya, maka dia tidak akan tergoda sama sekali. Tapi apa? Papanya tergoda seakan-akan seperti anak remaja yang dimabuk cinta saja. Memalukan sekali, padahal sudah tua.
Salsabila menghela nafas panjang. Dia duduk di sebuah taman di pusat kota. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi dia belum pulang. Kepala Salsabila benar-benar pusing. Uang kuliah harus segera dibayar, tapi Salsabila tidak punya uang.
Salsabila tidak ingin putus kuliah. Dia sudah susah-susah lulus di salah satu kampus terbaik. Bukan mudah untuk lulus, bahkan Salsabila kekurangan jam istirahat karena belajar dan bekerja. Sejak Papanya pergi, dia membantu sang ibu. Kepergian Papa tentu saja membuat perekonomian keluarga Salsabila langsung tumbang.
Memang di pengadilan, majelis hakim memutuskan berapa nominal nafkah yang harus diberikan oleh Papa kepada Salsabila dan kedua adiknya. Tapi apa? Nafkahnya tidak sempurna dan kadang tidak ada dengan berbagai alasan. Sungguh memuakkan bukan?
Salsabila tidak bisa mendapat beasiswa untuk kalangan keluarga kurang mampu. Pekerjaan Papanya lumayan bagus. Padahal Papanya sangat sulit mengeluarkan uang untuk dirinya dan kedua adiknya. Siapa dalangnya? Pasti istri baru Papanya. Mana mereka sering liburan.
Untuk beasiswa berprestasi, Salsabila hanya dapat untuk tiga semester saja. Sedangkan untuk semester empat dan semester lima sekarang ia tidak dapat. Prestasi akademiknya menurun drastis. Mungkin karena Salsabila tidak begitu fokus belajar karena harus bekerja sehingga pihak kampus mencabutnya. Tentu saja ini kesalahan Salsabila sendiri. Biaya kuliahnya cukup tinggi, apalagi jurusannya adalah teknik robotik dan kecerdasan buatan. Dia memang tertarik dengan pengembangan teknologi.
Salsabila duduk di belakang kursi yang tersedia di taman tersebut. Salsabila sengaja duduk disana agar tidak ada yang melihat. Dia ingin menangis sebentar. Sekuat apapun Salsabila, nyatanya dia tetap bisa menangis. Terasa lelah menjalani hidup yang berat. Bahkan tangannya memerah karena alergi dengan sabun cuci piring. Salsabila melakukan pekerjaan apa saja, yang penting halal dan dapat uang. Dia tidak bisa kuliah malam karena jurusannya hanya ada untuk jenis reguler. Mau tidak mau, Salsabila mencari pekerjaan untuk waktu malam. Dia dapat pekerjaan mencuci piring dan gajinya dibayar per malam.
Salsabila hanya bisa menangis tanpa suara. Dia tidak mau menjadi pusat perhatian, apalagi masih ada beberapa orang ditaman. Kadang, Salsabila merasa tuhan tidak adil. Kenapa teman-temannya bisa begitu santai berkuliah tanpa memikirkan biaya? Sedangkan dirinya seperti dikejar banyak hal. Tapi kata sang Mama, Salsabila orang yang kuat. Dia masih bisa bertahan sejauh ini.
"Ma... Kakak capek," lirih Salsabila. Dia tidak bisa mengatakan secara langsung kepada sang Mama. Salsabila hanya bisa berbicara sendiri seperti sekarang. "Kemana harus cari uang untuk bayar kuliah kakak, Ma? Papa nggak mau ngasih," lanjut Salsabila bermonolog sendiri.
Puas menangis, Salsabila merasa sedikit lebih baik. Memang masalahnya belum selesai, tapi setidaknya rasa sesak itu sedikit berkurang. Salsabila mengusap pipinya. Dia harus segera pulang, Mamanya pasti khawatir. Apalagi sudah banyak pesan masuk dari Mama serta adiknya.
Saat ingin bangkit, ada botol minuman terulur kepada Salsabila. Tentu saja ia kaget dan langsung berdiri dengan cepat.
"Si-siapa Anda?" tanya Salsabila sedikit ketakutan.
Laki-laki itu tidak berbicara dan hanya memberi gerakan untuk menyuruh Salsabila mengambil botol minuman yang ia ulurkan. Tentu saja Salsabila tidak mau.
"Saya bukan orang jahat." Akhirnya laki-laki itu berbicara. Tapi rasa was-was Salsabila tetap tidak hilang. Ganteng sih, tapi banyak laki-laki kurang ajar zaman sekarang. Papanya saja kurang ajar.
"Saya tidak butuh," balas Salsabila dengan nada datar.
"Kamu butuh uang?"
Pupil mata Salsabila langsung membesar.
"Anda-" tunjuk Salsabila.
"Ya, saya tidak sengaja mendengarnya," potong laki-laki itu langsung.
"Saya bisa membantunya, berapa yang kamu butuhkan?" lanjut laki-laki itu lagi.
Salsabila memeluk tubuhnya sendiri. Rasa takutnya semakin besar. Bayangkan saja sekarang pukul sebelas lewat. Kemudian ada yang menawarkan bantuan, apalagi uang. Sungguh sangat mencurigakan sekali.
"Gila lo!" ujar Salsabila langsung.
"Gue bukan cewek murahan!" lanjut Salsabila dengan kemarahan menguap-nguap.
"Bu-"
"Apa lo?" potong Salsabila. Dia menatap dengan tajam seakan di depannya adalah seorang musuh. Setelah itu, Salsabila langsung kabur. Takut saja kalau sampai dia diculik.
Kepergian Salsabila membuat laki-laki yang baru saja menawarkan bantuan langsung terdiam. Dia adalah Zero, salah satu petinggi perusahaan yang bergerak dibidang teknologi. Zero tidak sengaja mendengar obrolan Salsabila dengan Mama tirinya. Zero niat untuk membantu, tapi malah disalahpahami.
"Wajah gue mirip orang b******k ya?" Zero bermonolog sendiri sambil melihat wajahnya di layar ponsel.