Kalau Nggak Sama Ayang, Nggak mau nikah

1411 Kata
Jangan heran jika kondisi coffee shop milik Zero sepi. Zero juga tidak ada niat untuk membuat coffee shop itu menjadi bisnis yang menguntungkan. Setelah dipikir-pikir, coffee shop sepi juga hal baik untuk karyawannya terutama Salsabila. Mungkin rasa cinta Zero sudah sangat-sangat besar sehingga ia tidak memikirkan kerugian yang terjadi. Ia malah merasa tidak nyaman kalau melihat Salsabila kelelahan karena sibuk bekerja. Oleh karena itu, ia malah suka jia coffee shop sepi. Zero melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima lewat. Saatnya Zero meninggalkan perusahaan yang hampir merenggut banyak waktunya. Baru saja keluar dari ruangan, ada suara yang memanggil dirinya. "Kenapa?" tanya Zero langsung. Rasanya ia ingin cepat pulang saja. "Nebeng ya," pinta Lp dengan ekpresi wajah yang menjijikan bagi Zero. Bagaimana tidak, ia sampai tersenyum lebar. Bikin ilfeel saja. "Gue nggak pulang ke rumah," jelas Zero dengan wajah datar. "Ke coffee shop lagi?" Lp menatap sang teman dengan penuh kebingungan. Kenapa temannya suka sekali kesana. Apalagi kalau diperhatikan bisnis Zero tidak akan menciptakan keuntungan, tapi malah sebaliknya. Lp sudah kesana bersama anak dan istrinya. Hitung-hitung memberikan support atas bisnis baru sang teman. Tapi tidak ada hal spesial dari coffee shop tersebut. RAsanya biasa saja. Lebih baik Lp datang ke toko kue milik istrinya Hiro. Kalau disana makanan dan minuman yang dijual sangat-sangat enak. "Hm." "Lo jenuh ya akhir-akhir ini?" Wajah Lp tampak khawatir. Ia takut Zero mengalami kejenuhan atau depresi karena pekerjaan di perusahaan sehingga mencari suasana baru. "Nggak kok," jawab Zero. Malah ia sedang menikmati kehidupannya dengan baik. "Udah ada niat nikah?" Tiba-tiba saja Lp membahas soal pernikahan. Biasanya ia tidak terlalu ikut campur dalam urusan pribadi sang teman. Tapi entah kenapa Lp berpikir Zero sedang kesepian apalagi satu teman mereka yaitu Yu sedang berada di luar negeri. Kali saja ada perasaan sedih yang tidak tersampaikan. Apalagi Lp, Hiro dan Agam sudah punya keluarga. "Udah." Zero menjawab dengan jujur. "Udah ada yang buat lo tertarik" Zero terdiam. Apa ia berkata jujur saja? Apalagi Zero sudah menyembunyikan cukup lama dari teman-temannya. Tapi bagaimana kalau Zero dikira p*****l karena menyukai seseorang yang jarak usianya hampir 10 tahun? Zero benar-benar bingung. Ia juga tidak tahu kenapa bisa menyukai perempuan yang masih sangat muda dari usianya. "Kalau nggak ada, apa mau gue kenalin sama temannya Jihan?" Sebenarnya Lp takut menyinggung perasaan Zero. Tapi setidaknya Lp ingin berusaha. Apalagi beberapa teman istrinya ada yang tertarik secara terang-terangan dengan Zero. Kali saja Zero ingin coba mengenal. "Jangan!" Jelas saja Zero langsung menolaknya. "Oke, maaf." Lp tidak akan memaksa jika temannya tidak mau. Zero membuka kacamatanya sebentar. "Udah ada yang gue suka," ungkapnya. "Oh gitu," balas Lp. Tapi beberapa detik kemudian, ia hampir saja berteriak karena baru sadar apa yang dikatakan oleh sang teman. "Siapa?" tanya Lp langsung. Jelas saja dia penasaran. Zero sedikit ragu untuk mengatakannya. Tapi ia juga ingin berkonsultasi dengan salah satu temannya. Zero yakin temannya lebih punya banyak pengalaman dalam menghadapi perempuan dibanding dirinya. Bicara dengan perempuan saja jarang. "Jangan bilang sama yang lain," ujar Zero sebelum menjawab pertanyaan Lp. Lp tersenyum tipis. "Oke, gue nggak akan bilang sama siapa-siapa." Lp melihat jam di pergelangan tangannya. "Mau ngopi bentar nggak?" tawarnya. Berbicara sambil berjalan begini sangat-sangat tidak nyaman. Apalagi membahas soal orang yang disukai Zero. Ini adalah momen langka dan Lp tidak ingin melewati begitu saja. "Boleh." Lp dan Zero memilih untuk berbincang sebentar di coffee shop yang tidak jauh dari perusahaan. "Gimana?" tanya Lp setelah mereka berdua sudah duduk di dalam coffee shop. Bahkan dua cup kopi sudah ada di atas meja. Zero mengingatkan sang teman agar tidak tertawa jika ia cerita. Tentu saja Lp setuju walau ia tidak yakin apa bisa memegang perkataan sendiri atau tidak. Kalau lucu ya tentu saja dia akan tertawa. "Gue suka sama mahasiswa." Zero langsung ke poin utama. Ia menunggu bagaimana respon dari sang teman saat mengatakan menyukai seorang mahasiswa. "Cewek kan?" "Iyalah! Lo kira gue apaan?" Pupil Zero langsung melotot. Lp tertawa kecil. "Baguslah." Melihat tanggapan temannya, Zero sedikit tidak yakin. Kok responnya hanya seperti itu? Harunya Lp kaget atau mengatakan dirinya sebagai orang yang tidak benar karena menyukai seseorang yang jarak usianya jauh dibawah dirinya. "Lo nggak bilang gue aneh?" "Aneh kenapa?" Lp mengerutkan kening. "Gue suka sama mahasiswa!" Zero memberikan penekanan. Kali saja temannya belum terkoneksi. "Ya bagus," balas Lp santai. Zero mengacak rambutnya frustasi. Apa hanya ia yang terlalu berpikir berlebihan? "Lo nggak bilang gue p*****l?" Lp hanya bisa geleng-geleng kepala. "p*****l apaan? Lo suka sama perempuan yang sudah lewat sembilan belas tahun. Salahnya apa? Kecuali lo suka sama anak SMA. Kalau itu terjadi, gue langsung bawa lo ke rumah sakit." Apa yang dikatakan Lp tidak salah. Tindakan p*****l adalah jika laki-laki dewasa menyukai dan membayangkan hal-hal yang tidak lazim kepada perempuan yang usianya dibawah delapan belas atau sembilan belas tahun. Sedangkan Zero menyukai perempuan yang sudah legal untuk menikah di negara ini. "Tetap aja, dia masih umur dua puluhan sedangkan gue udah tiga puluhan." Zero sedikit insecure dengan umurnya sendiri. Sejak menyukai Salsabila, ia malah sensitif tentang umur. Padahal pada umumnya umur Zero sekarang adalah umur bagi pria matang baik secara fisik maupun emosional. Memang sih matang secara emosional tidak selalu berpatokan pada umur. Terkadang ada yang masih muda, tetapi sudah bisa mengendalikan emosi sedangkan orang yang sudah tua tidak bisa mengendalikan emosi. "Lo insecure?" Lp berusaha menahan diri untuk tidak tertawa. Bagaimana tidak, bayangkan saja sudah banyak perempuan yang begitu tertarik dengan Zero tetapi tidak mendapat respon. Lp kira Zero punya tipe perempuan yang luar biasa, sampai-sampai anak para client perusahaan saja ditolak. Zero tidak ingin menjawabnya. "Udah kenal berapa lama?" tanya Lp setelah Zero memilih bungkam atas pertanyaan sebelumnya. Gensinya juga tinggi ternyata. "Belum lama." "Udah sampai ke tahap apa?" "Cuma lihat dia dari jauh." Lagi lagi Lp dibuat pusing. Suka kok cuma diperhatiin dari jauh. Tapi susah juga sih, mana masih mahasiswa. Pasti tidak akan ingin menikah dalam waktu dekat. Lp jadi prihatin sendiri. "Semester berapa." "Lima. Sebentar lagi semester enam." Lp menghitung waktu penyelesaian pendidikan mahasiswa tersebut. Kira-kira satu tahun setengah atau dua tahun lagi baru lulus. Kalau temannya bisa menunggu sepertinya tidak masalah. Tapi yang jadi pertanyaan, perempuan itu juga suka atau tidak? Lp melewatkan satu poin penting. "Dia suka sama lo?" Wajah Zero yang tadinya sedikit murung malah tambah murung. Seakan sadar, Lp langsung menutupi mulutnya sendiri. Melihat respon sang teman, sudah jelas kasus Zero hanyalah perasaan sepihak saja. Apa yang bisa Lp lakukan untuk membantu sang teman? Lp tidak memiliki jawaban atas pertanyaan sendiri. "Usaha aja dulu," ujar Lp setelah sunyi beberapa saat. Hanya itu yang bisa Lp katakan. Gagal setelah usaha lebih mendingan daripada tidak mencoba sama sekali. Zero mengangkat wajah. Lp dapat melihat awan mendung yang mengitari kepalanya. "Gue harus gimana?" tanya Zero dengan wajah serius. "Doa." Satu kata yang mungkin terlihat biasa saja tapi satu kata itu mampu membalikkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. "Gue udah lakuin," balas Zero. "Perlakukan dia dengan baik," usul Lp. Tanpa disuruh, Zero juga akan melakukan itu. "Kalau gue ajak nikah langsung gimana?" Pupil mata Lp langsung membesar. Satu kata, gila! Teman didepannya benar-benar gila. Mana mungkin diterima, pasti langsung ditolak apalagi perempuan itu masih mahasiswa. "Jangan gila!" ujar Lp langsung. "Tapi gue mau nikah sama dia,"ucapnya. Ekspresi wajah Zero minta dikasihani, itulah pikiran Lp sekarang. "Gue tau, tapi jangan gegabah. Dia masih mahasiswa." Lp mengingatkan. "Emang kalau mahasiswa nggak boleh nikah? Gue juga nggak akan nyuruh dia berhenti kuliah. Malahan gue bakal support dia untuk mewujudkan mimpi-mimpinya." Lp geram sendiri mendengar perkataan Zero. Apa otak temannya bermasalah? Bukan masalah setelah menikah bisa kuliah atau tidak. Tapi konteksnya disini, perempuan itu masih mahasiswa. Pasti dia belum berpikir untuk nikah, apalagi dengan orang yang baru dikenal. Kalau sampai Zero nekat langsung ngajak nikah, mungkin perempuan itu akan langsung kabur karena ketakutan. "Bukan gitu, dia masih mahasiswa. Setidaknya tunggu sampai dia lulus dulu." Duh duh, wajah Zero tambah sedih. Apa Lp salah bicara? Tapi ia ingin menyadarkan sang teman agar tidak nekat. "Gue nggak bisa," jawab Lp. "Kenapa?" Zero terdiam. Dua tahun terlalu lama, ia ingin selalu melihat Salsabila. Ingin dekat dengan dirinya. Ingin mendengar ia berbicara dan ingin lainnya. Sekarang saja, Zero berusaha menahan diri untuk tidak terlalu melihat Salsabila. Ia takut jatuh ke dalam perkara dosa. "Lo kalau ngebet nikah ya cari yang udah siap nikah, jangan cari mahasiswa," ucap Lp lagi. "Kalau nggak sama dia, gue nggak mau nikah." Kini giliran Lp yang terdiam. Ia kira Zero hanya sekedar suka dan tertarik saja. Tapi ternyata temannya sudah sampai ke tahap cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN